Sebuah Definisi Cinta

Sabtu, 02 Januari 2010

Oleh : Arvan Pradiansyah

Dua sahabat wanita bertemu sesudah bertahun-tahun terpisah. “Bagaimana kabar putramu?” tanya yang satu.

”Putraku? Kasihan dia!” jawab yang lain mengeluh. ”Ia menikah dengan seorang gadis yang tak mau bekerja sedikit pun: tak mau memasak, mencuci dan membereskan rumah. Yang dilakukannya hanya makan dan tidur. Anakku yang malang bahkan harus mengantar sarapannya ke tempat tidur. Apa kamu bisa percaya itu?”

”Kasihan! Dan bagaimana putrimu?”

”Oh, ia itu sungguh beruntung! Ia menikah dengan malaikat yang tak membiarkannya mengerjakan apa pun. Ia punya banyak pembantu untuk memasak, mencuci dan membereskan rumah. Dan setiap pagi suaminya mengantarkan sarapan ke ranjang. Yang ia kerjakan hanyalah tidur, beristirahat dan bersantai-santai sepanjang hari.

Para pembaca yang budiman, apa pendapat Anda mengenai cerita di atas? Ternyata, sesuatu yang persis sama dapat dilihat dari sudut pandang yang sama sekali berbeda tergantung pada posisi dan kepentingan kita sendiri. Kita memang cenderung mementingkan diri sendiri dan selalu melihat sesuatu dari kepentingan kita. Bahkan, baik- buruk suatu peristiwa sangat tergantung pada terganggu-tidaknya kepentingan kita. Inilah sumber segala permasalahan yang kita hadapi.

Perubahan yang besar, revolusioner dan menakjubkan akan terjadi begitu kita mampu melihat sebuah masalah dari sudut pandang orang lain, terutama dari sudut pandang pihak-pihak yang berseberangan dengan kita. Inilah definisi saya mengenai cinta. Menurut saya, cinta adalah kemampuan kita melihat dari sudut pandang orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain, bahkan menghayati suasana kehidupan orang lain.

Definisi ini sangat sederhana, tetapi amat sulit dipraktikkan. Yang pertama harus kita kalahkan adalah ego. Kita sering menganggap penderitaan kita sebagai masalah terpenting di dunia. Misalnya, Anda sedang menderita sakit gigi, sementara di saat yang bersamaan banyak orang yang tertimpa musibah banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan sebagainya. Pertanyaannya, masalah apakah yang menurut Anda paling penting? Tentu, sakit gigi Anda, bukan?

Jadi, pertama-tama, kita harus menyadari kecenderungan kita yang selalu menganggap masalah kita sendiri sebagai masalah terpenting. Hal ini tak akan pernah melahirkan cinta. Cinta hanya dapat lahir dari kesadaran bahwa masalah yang dihadapi orang lain juga amat sangat penting. Kita harus mampu merasakan, menyelami dan menghayati situasi orang lain. Kemampuan inilah yang saya sebut dengan cinta.

Kalau Anda memiliki masalah dengan bawahan, cobalah bayangkan diri Anda yang berada pada posisinya. Pasti Anda akan menemukan berbagai kejutan yang mencerahkan. Suatu pekerjaan yang sangat sederhana bagi Anda, bagi bawahan mungkin membutuhkan waktu berjam-jam untuk memikirkannya. Kalau Anda memiliki masalah dengan atasan, cobalah tempatkan diri Anda di posisinya. Boleh jadi, atasan Anda sedang menghadapi tekanan yang hebat dari atasannya lagi yang membuatnya begitu tertekan.

Kalau Anda memiliki masalah dengan pasangan, cobalah bayangkan kalau Anda bertukar posisi. Lihatlah masalah dari sudut pandang pasangan Anda. Saya yakin, Anda akan lebih menghargai, mencintai dan memaafkannya. Begitu juga dengan pembantu Anda di rumah. Beberapa waktu lalu, pembantu saya kehilangan saudaranya yang sangat ia sayangi yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Ia sangat bersedih, sebentar-sebentar air matanya menetes. Ia benar-benar merasa kehilangan dan sangat sulit memercayai kejadian tersebut. Saya bisa berempati, merasakan apa yang ia rasakan, dengan cara masuk ke dalam situasinya. Saya bukannya membayangkan apa yang terjadi bila salah seorang saudara saya meninggal dunia. Situasi seperti itu tidak pararel dan tidak akan seimbang dengan apa yang ia alami. Alih-alih, saya membayangkan diri saya yang sedang bekerja jauh dari rumah, di sebuah tempat yang relatif asing bagi saya. Saya merasakan betapa beratnya merasakan duka sendirian di perantauan, di mana kita tak memiliki kesempatan yang cukup untuk berbagi perasaan dengan orang-orang terdekat kita.

Dengan melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, kita akan senantiasa diliputi perasaan cinta dan belas kasih yang tak pernah putus. Kita juga akan merasa bahwa sesungguhnya – terlepas dari begitu besarnya perbedaan di antara kita – kita adalah satu. Kita benar-benar merupakan suatu kesatuan. Inilah yang disebut cinta dan inilah sebenarnya hakikat spiritualitas.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan cerita menarik. Ini tentang seorang anak SD yang miskin bernama Joni yang hanya memiliki seorang sahabat di kelasnya. Joni sering diejek dan dihina teman-temannya. Suatu ketika menjelang ulang tahun Joni, sahabatnya membayangkan betapa hari itu akan merupakan hari yang paling menyedihkan bagi Joni. Betapa tidak, tak ada orang yang akan mengucapkan selamat ulang tahun. Tak ada kue ulang tahun, tak ada hadiah, tak ada yang peduli. Karena itu, si sahabat menceritakan hal ini kepada ibunya dengan harapan sang ibu dapat menolongnya.

Dan di hari berbahagia itu, sang ibu membuat kejutan. Ia muncul di pintu kelas anaknya sambil membawakan kue dengan lilin yang menyala, menyanyikan lagu ulang tahun kemudian menyalami Joni yang hanya tertegun meneteskan air mata menyaksikan kejutan tersebut. Berpuluh tahun kemudian peristiwa ini dikenang sahabatnya sebagai salah satu peristiwa yang paling indah dalam hidupnya. Ia mengatakan, ”Aku hampir tak bisa mengingat lagi nama teman-temanku yang ikut merayakan ulang tahun itu. Aku pun tak tahu lagi di mana Joni sekarang berada. Tapi setiap kali aku mendengar lagu yang sangat kukenal itu, aku ingat hari itu, saat nada-nadanya berbunyi sangat indah: di dalam suara Mama yang lembut, cahaya dalam mata seorang anak laki-laki dan kue yang paling manis.”
Sumber:
http//laxita.multiply.com/journal/item/61/kumpulan_tulisan_Arvan_PradiansyahSebuah_Definisi_CInta

0 komentar:

Posting Komentar