Cermin Terus, Mujaddid, dan Perubahan Budaya

Senin, 20 Juli 2009

Cermin Terus, sebuah risalah yang dibuat Haji Rasul pada awal abad ke-20. Sang tokoh pembaharu Minangkabau itu memang tidak henti-hentinya bergiat. Ia memang tokoh yang tidak saja pandai berbicara, khas seorang orator, juga rajin menulis. Risalah itu berisi ajakan agar kaum muslimin kembali kepada Islam dan memahaminya secara utuh. Sebagai kelanjutan dari risalah itu ia menulis Palito: Penerangan bagi Saudara Kami. Risalah itu lebih teknis lagi sifatnya, mengajak setiap muslimah untuk berpakaian “Islami”. Tentu istilah “Islami” ketika itu sesuatu yang dipandang benar menurut syara’, pandangan khas para mujaddid itu.Tentu kita juga ingat bagaimana perdebatannya dengan angku Mohammad Sjafei tentang teologi seperti yang terekam dalam koran Soeara Islam 1930-an. Perdebatan itu begitu sengit, keras, tapi santun. Informasi itu saya dapatkan di perpustakaan nasional Jakarta dalam upaya melacak sejarah penerbitan di Minangkabau.

Dalam konsepsi ajaran Islam, mujaddid itu berarti pembaharu. Orang yang teguh berpikir untuk kemajuan umatnya. Mereka yang terus menerus berpikir untuk membangkitkan umat dari keterpurukan. Umat yang sudah kehilangan ghirah beragama dan hasrat untuk maju. Ada dua hal yang dapat dicermati dari gerak langkah para mujaddid itu, berpikir untuk pembaharuan sekaligus kembali ke akar.

Pembaharuan itu berarti melakukan sesuatu yang baru dari sesuatu yang lama. Dalam bahasa kaum sunni, al-muhafazhotu ‘ala al-qodiim ash-sholih wal-akhdzu bil jadid al-ashlah, memelihara sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dalam adat Minang dikatakan pembaharuan itu dalam adagium “alam nan takambang jadi guru”. Dalam konsepsi Islam kembali ke akar itu sebetulnya kembali ke dasar, yakni aqidah. Mafhum mukhalafah dengan itu dalam tradisi Minang dikatakan Kembali ke Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Beberapa puluh tahun sesudah risalah Haji Rasul, sang anak, HAMKA, menulis Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Karena tulisannya itu, HAMKA harus menghadapi kemarahan ninik mamak yang tersinggung adatnya dikritik. HAMKA sebetulnya ingin mengatakan adat yang statis akan ditinggalkan orang dan tergerus zaman. Tulisannya kemudian menjadi trigger diselenggarakannya Musyawarah Adat Minangkabau pertama di Bukittinggi. Kata A.A. Navis di Minangkabau dalam siklus 100 tahun muncul orang-orang pembaharu. Ia membandingkan dengan generasi Padri angkatan pertama Tuanku Nan Tuo, kemudian Imam Bonjol, Haji Rasul, HAMKA, dan seterusnya. Dalam hadits Nabi dikatakan “Dalam setiap seratus tahun akan datang mujaddid yang akan memperbaharui urusan agamanya”.

Kini orang Minangakabau memasuki era baru “kembali ke nagari” yang dianggap sebagai mambangkik batang tarandam untuk kemajuan. Sudah 2-3 tahun kebijakan itu dijalankan. Sejalan itu pula, kegamangan dan optimisme menjalin menjadi satu. Sistem sosial yang sempat diporakporandakan Orde baru itu kini menggeliat kembali. Muncul euphoria di masyarakat, khususnya elit masyarakat yang sadar atau berharap kembalinya peran mereka seperti dulu.

Sekarang muncul kritik yang cukup kuat bahwa apa yang dikatakan banagari itu baru sebatas berpemerintahan nagari. Belum sampai pada pelaksanaan secara sistem sosial budaya. Kritik itu bukan saja disampaikan Mochtar Naim, sang pakar merantau itu, juga praktisi seperti Gamawan Fauzi. Bupati Solok tersebut mengatakan dalam Peluncuran buku “Nagari dalam Perspektif Sejarah” di Solok 10 ada sebelas nagari yang LPJ wali nagarinya ditolak BPN. Penolakan itu bak penolakan DPRD terhadap LPJ Gubernur. Ini memang dilema kebijakan itu. Kalau kenyataan tersebut dianggap sebagai sebuah keprihatinan, pertanyaannya, mengapa terjadi demikian?

Kalau kita berkaca kepada cermin terus-nya Haji Rasul, sekarang memang tidak ada lagi institusi dan pranata sosial yang melestarikan nilai-nilai adat dan agama. Kalau dulu surau dan lapau begitu berperan, apakah sekarang sekolah menggantikan peran lembaga itu. Ini pertanyaan yang agak sumir memang, karena zaman telah berubah. Lagi pula tiada lagi ulama berpengaruh tempat umat mengadu. Lebih memprihatinkan lagi, buya panutan sudah menjadi tersangka kasus korupsi.

Mujaddid zaman sekarang barangkali tidak lagi berjasad buya-buya saja, tetapi intelektual, profesional, dan pemuda yang mendedikasikan dirinya untuk kemajuan masyarakat. Mujaddid berarti wali-wali nagari yang memiliki motivasi yang kuat untuk membangun nagarinya. Komunitas mujaddid berarti pula masyarakat nagari yang punya komitmen yang kuat untuk melaksanakan nilai-nilai agama, adat, gotong royong, kebersamaan, dan kecintaan kepada nagari.

Saya jadi ingat dengan lembaga tempat saya dahulu mengabdi, BPSNT Padang. Nilai-nilai moral Cermin Terus pernah dikaji BPSNT Padang. Yang jelas di zaman yang terus berubah, BPSNT Padang harus progresif mengambil peran strategis ke depan. Meski tidak perlu menjadi mujaddid, cukuplah menunjukkan sumbangsihnya bagi dinamika masyarakat Sumbar. Hit et nunc !****

0 komentar:

Posting Komentar