Guru dalam Tarikan “Kuasa dan Moral”

Senin, 20 Juli 2009

“Masa muda saya sama saja dengan masa muda anda. Meskipun dilahirkan dalam keluarga yang beragama, dan dibesarkan dengan mendapat pendidikan agama, dalam waktu singkat saya sudah kehilangan kepercayaan. Kepandaian sekolah mengganti kepandaian hidup. Penghidupan pelajar, tanpa tanggung jawab sungguh-sungguh, memudahkan pergantian itu. Dan keadaan itu akan berlangsung selama waktu singkat sesudah kita meninggalkan bangku sekolah”.

Demikianlah nasihat H. Agus Salim terhadap para pemuda dalam Kongres Jong Islamieten Bond di Yogyakarta, 1926. Sang grand old man itu dengan penuh antusias menekankan pentingnya pendidikan sebagai bagian dari cita-cita menuju Indonesia merdeka. Memang, para guru yang mendidik orang muda ketika itu adalah intelektual generasi baru sekaligus aktivis politik. Mereka adalah guru bagi para yuniornya di berbagai kelompok pergerakan kebangsaan yang tumbuh dengan suburnya.

Di ranah Minang tempat bersemainya kemajuan-kemajuan lahir anak bangsa yang kemudian menjadi pemimpin nasional melebihi proporsi penduduknya secara nasional. Sekedar menyebut nama tercatat Mohammad Natsir, H. Agus Salim, HAMKA, dan lain-lain. Natsir putra Alahan Panjang misalnya sebelum menjadi ketua Masjumi dan Perdana Menteri RI adalah guru sekaligus pendiri HIS partikelir di Bandung. Mereka melakukan lompatan dari “guru sekolah” menjadi “guru bangsa”. Demikian pula, sejumlah tokoh lokal yang menonjol pada masa revolusi juga pendidik.

Pada masa penjajahan para guru berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang berat. Pemerintah Hindia Belanda melalui Schoolen Ordonantie membatasi gerak aktivitas para guru, terutama sekolah partikelir. Namun untunglah, para pembaharu, seperti Inyiak Djambek, Inyiak Parabek, Haji Rasul, dan H. Abdullah Ahmad menolak pemberlakuan Ordonansi Guru di Minangkabau tahun 1925.

****

Di provinsi Jiran kita, Kepulauan Riau, dahulu terjadi demonstrasi besar-besaran para guru yang menuntut pengunduran diri Jeffri Noer sebagai Bupati Kampar sebagai akibat pelecehan martabat guru. Ketiganya juga menjadi isu nasional dilihat dari besaran minat publik terhadapnya.

Sementara itu, kasus ketiga yang terjadi di provinsi yang kaya dengan minyak tersebut mencerminkan betapa rendahnya apresiasi profesi guru di mata penguasa jajaran birokrasi. Meski ada perbedaan teknis diantara ketiga kasus tersebut, namun ada persamaannya. Pendidik dengan berbagai tingkatannya mengalami pemiskinan imajinasi sosial oleh sebab tarikan kuasa dan moral yang tidak pernah selesai.

Meminjam pendapat Robert R. Jay (Dawam Rahardjo, 1993) guru –penulis menyebut dosen juga sebagai guru semata-mata untuk memudahkan kategorisasi- merupakan learned professions (kelompok profesi terpelajar). Mereka adalah kelompok yang karena profesinya berkewajiban melakukan noblesse oblige (panggilan luhur). Karena profesinya itu, setiap perilaku mereka di luar tanggung jawab formal mereka selalu menjadi perhatian komunitasnya. Apalagi jika hal itu menyangkut susila dan etika. Ada nilai-nilai sosial yang harus mereka pegang teguh tanpa melihat bahwa sebagai anggota masyarakat tiada memiliki persoalan sehari yang sama saja: perjuangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sayangnya, apresiasi birokrasi kita terhadap profesi pendidik masih berada dalam kata-kata saja. Di tingkat kebijakan, meski banyak juga orang pintar dari kalangan perguruan tinggi yang masuk jajaran birokrasi, tidak mampu memberikan kesejahteraan yang lebih memadai kepada para guru. Coba tengok alokasi pendidikan dalam APBD. Apalagi guru honorer yang pekerjaannya begitu berat dihargai dengan upah yang rendah. Belum lagi menyangkut hak-hak mereka di sekolah yang kerapkali dipicingkan sebelah mata.Mudah-mudahan peningkatan kesejahteraan guru melalui sertifikasi benar-benar kebijakan yang berpihak pada pendidikan kita (Iim Imadudin)****

0 komentar:

Posting Komentar