“Ibu Menyumpahi, Ibu Menyayangi”

Senin, 20 Juli 2009

“Saya menjaga jangan sampai mengeluarkan perkataan sumpah yang akan membuat anak saya menderita dunia-akhirat”, demikian ucapan ibu seorang artis muda yang menikah tanpa restunya. Berita tersebut ditayangkan berkali-kali serentak di beberapa stasiun televisi swasta belakangan ini. Berita itu menambah deretan konflik ibu-anak di kalangan artis yang terjadi sebelumnya. Ibu yang merasa telah membesarkan anak dengan segenap jiwa dan curahan kasih sayang yang tak terbatas merasa kecewa, marah, tercampakkan. Jerih payahnya sama sekali tidak dihargai anaknya. Meski, dalam hatinya, ibu tidak mengharapkan balas jasa, karena menjadi ibu adalah fitrah.

Menyebut persumpahan ibu, pikiran kita memusat pada legenda asal Sumatra Barat yang sudah klasik namun tetap populer, Malin Kundang. Lakonnya sering dijadikan sandiwara, drama, bahkan parodi. Sekarang ceritanya disinetronkan salah satu televisi swasta. Inti dari legenda itu, Malin yang sudah menjadi saudagar kaya tidak mengakui ibunya, seorang janda miskin. Ibunya begitu kecewa sampai berdoa kepada Tuhan agar Malin dikutuk. Akhirnya, dalam perjalanan, kapal Malin diterjang badai sehingga karam, dan menjadi batu karang. Sekarang tinggalan kapalnya lengkap dengan relief cerita Malin Kundang ada di Pantai Air Manis Kota Padang.

Mungkin kita akan berkata persumpahan itu dicipta untuk menguatkan basis kultural Minangkabau yang matrilineal. Di sana Posisi perempuan sangat penting karena ia menjadi ambun puruak, limpapeh rumah nan gadang (tonggak rumah gadang). Bundo Kanduang merupakan pusat dari kehidupan di rumah gadang. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam legenda itu, meski berangkat dari kelokalan (tradisi lisan), namun memiliki universalitas nilai. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang sangat heterogen kaya dengan cerita rakyat yang sarat dengan pesan moral serupa. Ada jaringan ingatan kolektif yang mengintegrasikan etnik-etnik Nusantara.

Menyumpah memiliki arti yang sama dengan mengutuk, yakni mengharapkan keburukan terjadi kepada seseorang. Akan tetapi bagi ibu, menyumpah sebenarnya menyayangi. Air mata kesedihan yang keluar merupakan refleksi dari rasa sayangnya yang mendalam. Rasa sayang tumbuh dari keterikatan emosionalnya dengan sang anak yang lahir dari rahimnya. Rahim sendiri berasal dari sifat Tuhan, Ar-Rahim yang artinya “Maha Penyayang”. Sejarawan Bandung, Mansur Suryanegara yang juga seorang da’i sering berkata jika kita menyakiti ibu, rahim akan menjerit. Rahim yang menjerit itu menggetarkan ‘arasy (Semesta). Maka, Tuhan akan mendengar dan mengabulkan jerit sang ibu. Dalam kondisi yang demikian, yang dikhawatirkan jatuhnya laknat Allah karena murkanya ibu.

Sering kita jumpai dalam berita di media massa ada anak yang menganiaya, bahkan membunuh ibunya karena masalah sepele. Perkara uang seribu yang tidak diberikan atau karena sang ibu memarahinya. Ini masalah yang sangat merisaukan. Demikian pula, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melupakan kebaikan-kebaikan ibu. Kita lebih memahami keberadaan ibu hanya karena ia yang melahirkan. Status ibu bukan given saja, tetapi merupakan wujud tanggung jawabnya terhadap suami, keluarga besarnya, bahkan kepada Tuhan.

Legenda Malin Kundang masih dan akan terus hidup dalam ingatan kultural masyarakat. Legenda itu akan lestari sepanjang pesan moral yang terkandung di dalamnya berkesesuaian dengan pranata sosial yang ada dalam masyarakat. Siapa saja yang menyakiti ibu, hidupnya akan menderita. Siapapun orangnya, dari status sosial apapun, jika membuat hati ibu terluka, hidupnya tidak akan bahagia. Dalam Islam dikatakan hidup yang bahagia itu penuh keberkahan. Berkah artinya bertambah kebaikan (ziyadah al-khoiri). Maka membahagiakan ibu sama artinya dengan menjamin surga bagi masa depan kita. Sabda Nabi, “Surga berada di bawah tapak kaki ibu”. Bukankah Rasul yang mulia suatu ketika ditanya oleh sahabat, kepada siapa sikap khidmat harus dihaturkan. Jawab Rasul, “Ibumu, ibumu, ibumu”.

Kasus artis di atas sesungguhnya merupakan cermin dari kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat. Media massa telah menggeser persoalan personal menjadi masalah publik. Konflik ibu dengan anak menimbulkan pro kontra di masyarakat antara yang menyayangkan sikap ibu yang tidak juga mencair dan sikap anak yang tidak mematuhi ibu. Perdamaian dan kesediaan berkorban adalah cara untuk mencairkan ketegangan-ketegangan psikologis tersebut.

Dari ibu kita belajar bagaimana mengasihi. Ibu pula yang menjadi guru pendidikan moral pertama di rumah. Sebentar lagi kita menyambut “Hari Ibu” (Mothers Day). Mengapa harus ada “Hari Ibu”? Hari ibu bukan sekedar seremoni, minimal kita diingatkan untuk lebih menaruh perhatian lebih banyak kepada ibu. William James, sang mpu eksistensialis yang tersohor berkata, “Perhatian menentukan tindakan”.

Banyak cara dilakukan orang untuk merayakan tanggal 22 Desember. Ada yang mengerjakan semua pekerjaan ibu pada hari tersebut. Ada juga yang memberi ibu cindera mata yang berharga. Ada yang menyiapkan acara khusus. Ada pula yang berjanji mengubah sikapnya kepada ibu menjadi lebih santun. Memang tanpa ibu rasanya tidak lengkap, meski ibu menyumpahi, sebenarnya ia menyayangi. (Iim Imadudin)****

0 komentar:

Posting Komentar