‘Renesans’ Ramadhan dan Logoterapi

Sabtu, 25 Juli 2009

Oleh Iim Imadudin

Setiap manusia kan diuji dengan sesuatu yang dicintai

Dan setiap manusia tak ada yang sempurna menjalani hidup di dunia,

Allah maha pengasih, Allah maha penyayang

Allah akan maafkan bila kita memohon ampunan

Sebulan lagi kita memasuki Ramadhan. Kegairahan Ramadhan mulai terlihat. Ada yang bersiap mengurangi kegiatan di bulan yang mulia. Ada yang mulai menghitung kebutuhan finansial di bulan Ramadhan. Adapula, sebagian ormas Islam yang menangkapi PSK dan membubarkan tempat-tempat hiburan. Pemerintah mulai mempersiapkan pasokan pangan dan meyakinkan masyarakat bahwa stok beras sudah mencukupi. Pokoknya, semua kalangan menyiapkan dirinya untuk menyambut syahrul mubarok (bulan yang penuh berkah).

Kesiapan fisik dan finansial memang penting, karena momen ini bukan saja ritualitas ukhrawi saja, tetapi bagian dari ekspresi budaya yang profan. Di Sumatera Barat, orang melakukan tradisi balimau (membersihkan diri dengan cara mandi di sumber air). Jika dahulu, bersih-bersih dilakukan dengan limau; sekarang sudah ada sabun mandi yang lebih praktis. Kebiasaan yang sebetulnya berakar dari pemahaman kerohanian bersenyawa dengan perkembangan zaman. Banyak pula masyarakat yang nyekar ke makam orang tua. Sebuah permohonan restu sebelum memasuki kawah candradimuka kemusliman.

Terminal akhir dari puasa di bulan Ramadhan adalah la’allakum tattaqun (agar kamu menjadi orang yang bertakwa), kata Tuhan. Ramadhan, artinya membakar. Membakar dosa-dosa, membunuh hawa nafsu, dan memerangi kejahilan diri. Dalam bulan suci, ada tiga faset kesempatan yang dibukakan Allah. Sepertiga yang pertama turunnya rahmat Allah, sepertiga yang kedua Allah akan ampuni dosa-dosa hamba, dan sepertiga ketiga Allah akan bebaskan hamba dari api neraka.

Masalahnya hamba tahu tentang keutamaan Ramadhan, namun sering melalaikannya. Kata Nabi yang mulia, rubba shoimin laisa lahu min shiyamihi illal ju’ wal ‘aths (Begitu banyak dari orang yang berpuasa, tapi dia tidak mendapatkan apa, kecuali lapar dan dahaga). Dari mana akar soalnya? Victor L. Frankl, seorang psikiater ternama, menganjurkan logoterapi. Logoterapi bertujuan mencari makna hidup. Kata Frankl, Makna hidup seperti bayang-bayang. Ia jangan dicari; tetapi merupakan efek dari sebuah dedikasi. Kebahagian muncul karena pekerjaan-pekerjaan yang membuat seorang dengan sukarela melakukannya, tanpa beban bagai burung yang bebas.

Bahkan, lanjut Frankl, dalam penderitaan ada makna hidup. Seorang yang mengalami derita, akan berakhir dengan bahagia, jika ia menghayati maknanya. Penderitaan harus dilalui dengan sifat ksatria. Kekuatan jiwa akan membuat orang yang teraniaya secara fisik nampak bahagia. Wajahnya memancarkan kepasrahan sekaligus ketabahan dan ketangguhan.

Para pewaris singgasana pada masa kerajaan tradisional harus menjalani ritual dibuang. Para bhiksu tinggal di hutan-hutan mengasingkan diri untuk lepas dari samsara. Rasul yang agung menyepi di gua Hira untuk introspeksi dan memohon petunjuk Allah.

Apa memang kebahagian itu harus melalui derita? Kata Tuhan manusia belum dianggap beriman, sampai dia diuji. Derita adalah katarsis kehidupan yang membuat seseorang menjadi lebih bijak dan lebih cerdas memahami diri dan lingkungannya.

Tentu saja akan menimbulkan debat yang panjang jika puasa dianggap derita. Masih banyak orang di negeri ini yang terbiasa hidup susah. Sehari makan, sehari tidak. Itupun dengan nilai gizi yang rendah. Bagi kita yang biasa makan enak, mungkin hari pertama berat, tapi hari-hari berikutnya akan lebih mudah. Apalagi hari-hari menjelang lebaran, hampir-hampir tidak terasa, karena sebagian kita sibuk mempercantik rumah, diri, dan keluarga menyambut lebaran raya.

Frankl mengutip Dostoevsky- menegaskan kekuatan orang-orang yang terpenjara di kamp-kamp konsentrasi. Katanya, “Manusia dapat hidup dalam kondisi apapun”. Jika tidak makan tidak minum relatif bukan dianggap sebuah derita, maka derita itu merupakan efek dari membebaskan hawa nafsu. Sebagian dari kita –bahkan kebanyakan manusia karena fitrahnya- suka pada kesenangan. Perilaku konsumtif dan hidup yang hedonis mempertuhan materi adalah tantangan kemanusiaan abad kini. Memperturutkan hawa nafsu laiknya binatang membuat manusia kehilangan esensi kemanusiaannya. Akal berjalan, tetapi harus dibimbing dengan hati. Kata Al-Gazali, “Qolbun hayyun, wanafsun maituhu” (Hati dihidupkan, dan nafsu dibunuh).

Pertempuran bulan Ramadhan merupakan perjuangan ruhaniah. Mengutip buya Muhammad Natsir, “Kita boleh kalah dalam pertempuran-pertempuran (kecil), tetapi jangan kalah dalam peperangan (besar)”. Satu dua kali kita mungkin tergelincir, karena tidak ada manusia yang sempurna, untuk kemudian membangun kesadaran baru menjadi muslim yang lebih saleh.

Sahabat sempat terkaget-kaget, ketika Rasul mengatakan bahwa peperangan hebat yang baru saja dimenangkannya masih kalah oleh peperangan yang lain (roja’na min jihadil ashgori ila jihadil akbari). Seraya tersenyum Rasul menenangkan sahabat bahwa yang dimaksud peperangan besar itu memerangi hawa nafsu.

Bagaiman caranya? Komitmen kemusliman yang teguh. Kita hidup pada masa dimana, hitam dan putih tidak terpetakan dengan baik. Kita hidup dalam dunia yang samar. Seorang muslim tidak cukup mengaku dirinya muslim. Namun, harus terpancar dari akhlaknya yang tumbuh dari keyakinan individualnya.

Kultur masyarakat kita memang masih feodal. Keteladanan dari tokoh-tokoh, orang tua, penguasa menjadi hal yang menentukan. Apa yang dilakukan mereka biasanya ditiru. Masalahnya tentu saja kita tidak mengharapkan orang lain untuk berbuat. Teladan harus dimulai dari diri sendiri (ibda’ binafsik). Setelah itu keluarga, masyarakat, bangsa, dan umat secara keseluruhan. Kesalehan sosial harus dimulai dari kesalehan individual. Bukankah kaidah ushul menyatakan, “La yudraku kulluhu, la yutroku kulluhu”(Apa yang tidak bisa dikerjakannya seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya).****

0 komentar:

Posting Komentar