Workshop dan Festival Komunitas Adat

Selasa, 21 Juli 2009

Komunitas adat sebagai entitas kultural telah memberikan corak tersendiri terhadap kekayaan budaya bangsa. Namun, dalam perkembangannya kemudian, terdapat kecenderungan makin termarginalkannya entitas tersebut. Maka muncul istilah “pemberdayaan” suatu istilah yang pada masa lalu (khususnya masa Orde Baru) memperoleh stigma yang kurang positif. Komunitas adat sering diposisikan sebagai “masyarakat terasing”, “masyarakat terasing yang kuno, sebagai the otherness. Workshop yang berlangsung pada tanggal 22 Juni 2009 tersebut bertempat di aula Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Kegiatan yang mengundang guru, siswa, LSM, dan kalangan pemerintah dibuka secara resmi dibuka oleh Direktur Kepercayaan Depbudpar, Drs. Gendro Nurhadi, M.Pd. Pak Gendro mengatakan bahwa komunitas adat merupakan benteng terakhir dalam berperilaku dan bersopan santun.

Workshop yang dipandu Drs. Nandang Rusnandar menghadirkan Pak Ade Suherlin (kuncen Kampung Naga), Muhtarom Sumakerti (PAMAPUJA), Drs. Eddy Sunarto (Disparbud Jabar), dan Dr. Ade Makmur K, M.Phil (akademisi). Masalah-masalah yang mengemuka dalam kegiatan tersebut, antara lain kelangkaan minyak tanah di Kampung Naga, dampak pariwisata terhadap perubahan nilai-nilai, perlunya regulasi tentang pelindungan hak-hak komunal masyarakat adat, krisis budaya di komunitas baduy, dan lain-lain. Berkaitan dengan tema “Indonesia kreatif” dalam hubungannya dengan komunitas adat, Dr. Ade M.K. menjelaskan berpikir kreatif dalam konteks komunitas adat artinya melindungi warisan leluhur dengan kontribusi yang diperoleh. Memang, kembali ke akar harus menumbuhkan kebanggaan. Pak Ade Suherlin mengatakan, kami bangga disebut ortodoks, karena meletarikan dan menghayati nilai-nilai leluhur. Salut!!!!

0 komentar:

Posting Komentar