Keluar dari “Kepompong Sejarah”

Jumat, 11 September 2009

Oleh Iim Imadudin


Ada banyak keberuntungan dalam hidupku yang harus dirayakan dengan penuh rasa syukur. Keberuntungan diberi umur panjang hingga kesehatan yang terpelihara. Keberuntungan dikaruniai orang-orang tercinta hingga hidup terasa berwarna. Keberuntungan diberikan kemudahan dalam situasi sulit. Keberuntungan mendapat pekerjaan yang baik. Keberuntungan memperoleh sesuatu di luar kapasitas yang kumiliki. Keberuntungan bertemu dengan orang-orang yang inspiratif. Banyak dan masih banyak lagi keberuntungan yang kualami selama ini. Keberuntungan itu tidak lain adalah nikmat yang tak terkira. Benar kata Tuhan, betapapun kamu bersibuk-sibuk menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Dari semua itu, keberuntungan terbesar adalah adanya berkah dalam kehidupan.

Berkah itu tidak lain adalah bertambahnya kebaikan. Orang yang diberikan nikmat dan ia terus menyukuri apa yang diperolehnya, berarti ia mengabadikan karunia Allah. Sifat dari kebaikan itu berarti perubahan ke arah yang baik. Aku ingin terus menerus mentransformasi diri untuk selalu menjadi lebih baik. Lebih baik dan lebih baik lagi merupakan spirit ke arah kemajuan. “Dunia kemajuan” hanya bisa diraih dengan semangat untuk menjadikan hari-hari bahkan detik per detik hidupku sebagai persemaian kemajuan. Dalam perjalananku menuju kemajuan itu, banyak sekali virus-virus yang harus ku lawan. Virus-virus itu kadang dapat aku scanning dengan baik hingga menjadi heal atau clean. Namun tidak jarang sebagian virus itu terpaksa aku karantina (move to vault). Sebagian lagi bahkan tak dapat aku deteksi sama sekali. Inilah tiga dari beberapa virus yang aku hadapi.

Virus pertama, aku hidup untuk hari ini. Sering aku merasakan bahwa untuk apa berpikir hari esok, hari ini pun belum kulalui sepenuhnya. Anggapan demikian sering membuatku melupakan visi hidup yang sesungguhnya. Aku ada, karena hari ini aku sungguh-sungguh ada, dan bukannya ada pada masa kemudian. Pemikiran eksistensialis ini membuatku jumud dan stagnan. Aku seperti menjadi budak masa kini.

Virus kedua, paradigm berpikir materialisme. Ini mungkin kenyataan yang paling telanjang terjadi sekarang ini. Kesuksesan semata-mata diukur dari kemampuannya mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Orang dianggap sukses apabila ia telah kaya karena memiliki fasilitas hidup yang mewah. Orang menjadi berhasil bila mampu mengumpulkan capital dalam jumlah besar. Paradigma ini sering membuat salah arah. Kemajuan itu bukan hanya secara material, tetapi juga rohaniah (batiniah). Banyak pengalaman batin yang luput dari list kesuksesan hidupku.

Virus ketiga, aku dapat, karena usahaku sendiri, tidak ada campur tangan Tuhan. Beberapa kali aku merasakan pengalaman ini hingga Tuhan menegurku dengan caranya sendiri. Beberapa tahun ini aku berpikira terlalu rasional. Mungkin ini pengaruh dari bacaanku yang cenderung liberal dan sangat toleran dengan wacana-wacana alternatif hingga loss control.

Masih banyak lagi virus-virus lain yang belum sempat aku tuliskan. Aku percaya pengalaman sejarah yang kualami memberi banyak kearifan. Banyak cara dan jalan untuk keluar dari “kepompong sejarah”. Meski hukum alam selalu menunjukkan pentingya proses, namun Tuhan memberi jalan pintas (by pass) untuk kembali kepada kesejatian yang fitri dan putih. Dalam dua belas bulan setahun, ada bulan mulia. Dalam tujuh hari ada hari yang istimewa. Bahkan saat-saat kita ibadah pun menjadi saat yang spesial. Ada sholat malam yang merupakan SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh) yang relatif minim dengan high trafficking (lalu lintas yang sibuk). Saat itu dimana hamba sepenuhnya berpasrah kepada Allah. Intinya, memang, hidup terlalu sayang untuk dijalani apa adanya. Banyak hal yang kuperoleh andai aku mau mengusahakannya. Mari rayakan hidup dengan penuh rasa syukur. Ya, Allah aku bermohon kepada-Mu atas taubat-taubatku terdahulu. Sungguh, aku ingin selalu mengingat-Mu dengan penuh cinta!!!!!!!
Cinambo, 11 September 2009
Selengkapnya