Pergeseran Konsep Jihad dan Sikap Umat Islam Indonesia

Sabtu, 25 Juli 2009

Oleh Iim Imadudin


Menyimak perkembangan kasus teror bom akhir-akhir ini semakin dinamis. Berdasarkan temuan vcd oleh polisi pada saat penyerbuan ke markas teroris di Batu, Malang, tiga tahun lalu terekam pengakuan sejumlah pengikut Azahari. Mereka mengakui teror bom bunuh diri yang dilakukan semata-mata karena jihad melawan musuh Allah. Dalam tayangan vcd tersebut, seorang dengan penutup kepala yang ditengarai polisi adalah Noordin Mohd Top menyatakan mereka akan terus berjihad melawan Amerika, Australia, Inggris, dan Italia sampai mereka hengkang dari Irak dan Afganistan.

Perdebatan tentang makna sesungguhnya dari jihad memang sudah menjadi klasik. Secara garis besar debat tersebut dapat dipetakan menjadi dua, yaitu mereka yang memahami jihad sebagai perang melawan musuh Allah sebagaimana terjadi zaman Rasulullah SAW dan kelompok yang memahami jihad secara lebih luas.

Kelompok pertama sudah terang mengambil nash Al-Qur’an, “walan tardho ‘ankal yahudu walannashoro hatta tattabi’a millatahum” (Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridlo sampai kaum muslimin mengikuti agama mereka). Oleh karena itu peperangan melawan kaum musyrikin akan terus terjadi sepanjang sejarah.

Kelompok kedua menyebut jihad mengangkat senjata hanyalah sebahagian dari pengertian jihad. Nabi Muhammad ketika kembali dari sebuah peperangan mengatakan kepada sahabat, “Roja’na min jihadil ashgor ila jihadil akbar” (Kami kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Sahabat bertanya apa yang dimaksud jihad besar. Jawab Rasulullah, “Memerangi hawa nafsu”. Jihad itu artinya bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu yang baik. Sebagian menyebut ada tiga tahapan, yaitu jihad, ijtihad, dan mujahadah.

Menarik sekali komentar Ahmad Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, tentang jihad ala kelompok pelaku peledakan bom. Ia mengatakan orang-orang itu memahami jihad secara salah. Tegasnya, lanjut Syafi’i, mereka telah mengkhianati seluruh ajaran Islam. Buya yang urang awak itu menyitir ayat Al-Qur’an, “Barangsiapa membunuh satu jiwa sama artinya dengan membunuh seluruh umat manusia”. Para teroris itu telah membunuh kemanusiaan.

Tarik menarik mengenai konsep jihad akarnya memang tidak semata-mata soal teologis. Konstruksi sosial telah membentuk pandangan dunia individu dan kelompok. Di dalamnya terdapat realitas kemiskinan, ketersingkiran, dan ketidakberdayaan. Para pelaku merupakan orang-orang biasa yang hidup seadanya. Mereka bukannya tidak mengerti agama. Malahan mampu membaca Al-Qur’an dengan fasihnya. Indoktrinasi menurut sebuah informasi yang berlangsung beberapa bulan oleh Noordin Mohd Top kepada calon pengikutnya menggambarkan besaran daya pikat gerakan teror ini.

Pengalaman historis umat Islam dalam persentuhannya dengan (kolonialisme) Barat memang terus membuka luka. Setelah perang Salib terjadi kolonialisme Barat terhadap negara-negara dunia ketiga yang notabene adalah umat Islam. Kemerdekaan negara-negara jajahan diraih dengan terlebih dahulu Barat mencabik-cabik negara kaum muslim menjadi negara-negara yang lebih kecil. Pada perkembangan selanjutnya bantuan Barat terhadap negara-negara Islam telah menciptakan tesis ketergantungan dan keterbelakangan. Gerakan intifadah umat Islam di Palestina melawan Yahudi terus berlangsung walau proses perdamaian dengan AS sebagai mediator tidak lantas menciptakan ketentraman. Intervensi AS di Afganistan dan Irak terus mengejar pejuang Islam radikal. Ujungnya muncul organisasi Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden sebagai pelaku teror paling ditakuti di seluruh dunia. Karyanya terbesarnya adalah peledakan Gedung WTC di Amerika Serikat beberapa tahun silam.

Sekarang pertanyaan adalah kapankah gerakan teror yang dilakukan (Sebagian kecil) umat Islam radikal akan berakhir? Jawaban terhadap persoalan itu artinya sama saja dengan pertanyaan kapan kolonialisme Global yang disponsori AS selesai. Sepanjang AS terus menerapkan standar ganda dalam kebijakan luar negerinya, perlawanan akan terus berlangsung. Pada satu sisi mereka memberi bantuan jutaan dolar, di sisi lain mencipta kelompok-kelompok radikal.

Selanjutnya, bagaimana sikap umat Islam di Indonesia? Sebagai bangsa dengan komunitas muslim terbesar di dunia tentu saja jelas. Tindak teror meski mengatasnamakan agama tidak dapat ditoleransi. Apalagi beberapa tahun belakang ini negara kita menjadi medan teror bom Bom Bali I, peledakan Hotel J.W. Marriot, dan Bom Bali II, dan Ritz Charlton sudah lebih dari cukup menyentuh rasa kemanusiaan kita. Tentu saja sekarang cara terbaik tidak selesai dengan mengutuk dan sikap apologetik. Polisi terus memburu Noordin Mohd Top dan beberapa pengikutnya yang belum tertangkap. Pemerintah melalui Wapres Jusuf Kalla mengajak ulama memberi penerangan (pemahaman) kepada masyarakat tentang pengertian jihad yang benar.

Kita harus melihat sikap yang melahirkan teror dari akarnya. Rasa frustasi, bosan, dan ketersingkiran memang seperti ranting kering yang siap dibakar. Radikalisasi yang tercipta dalam struktur yang tidak berkeadilan jelas akan sangat berbahaya. Ketika krisis ekonomi akibat kenaikan BBM kian menghebat muncul orang-orang miskin baru yang makin menambah beban sosial. Cara terbaik tentu dengan mengangkat ekonomi umat Islam sebagai mayoritas bangsa. Pelaku teror jelas tidak merepresentasikan meningkatnya radikalisme umat Islam Indonesia.****

Selengkapnya

‘Renesans’ Ramadhan dan Logoterapi

Oleh Iim Imadudin

Setiap manusia kan diuji dengan sesuatu yang dicintai

Dan setiap manusia tak ada yang sempurna menjalani hidup di dunia,

Allah maha pengasih, Allah maha penyayang

Allah akan maafkan bila kita memohon ampunan

Sebulan lagi kita memasuki Ramadhan. Kegairahan Ramadhan mulai terlihat. Ada yang bersiap mengurangi kegiatan di bulan yang mulia. Ada yang mulai menghitung kebutuhan finansial di bulan Ramadhan. Adapula, sebagian ormas Islam yang menangkapi PSK dan membubarkan tempat-tempat hiburan. Pemerintah mulai mempersiapkan pasokan pangan dan meyakinkan masyarakat bahwa stok beras sudah mencukupi. Pokoknya, semua kalangan menyiapkan dirinya untuk menyambut syahrul mubarok (bulan yang penuh berkah).

Kesiapan fisik dan finansial memang penting, karena momen ini bukan saja ritualitas ukhrawi saja, tetapi bagian dari ekspresi budaya yang profan. Di Sumatera Barat, orang melakukan tradisi balimau (membersihkan diri dengan cara mandi di sumber air). Jika dahulu, bersih-bersih dilakukan dengan limau; sekarang sudah ada sabun mandi yang lebih praktis. Kebiasaan yang sebetulnya berakar dari pemahaman kerohanian bersenyawa dengan perkembangan zaman. Banyak pula masyarakat yang nyekar ke makam orang tua. Sebuah permohonan restu sebelum memasuki kawah candradimuka kemusliman.

Terminal akhir dari puasa di bulan Ramadhan adalah la’allakum tattaqun (agar kamu menjadi orang yang bertakwa), kata Tuhan. Ramadhan, artinya membakar. Membakar dosa-dosa, membunuh hawa nafsu, dan memerangi kejahilan diri. Dalam bulan suci, ada tiga faset kesempatan yang dibukakan Allah. Sepertiga yang pertama turunnya rahmat Allah, sepertiga yang kedua Allah akan ampuni dosa-dosa hamba, dan sepertiga ketiga Allah akan bebaskan hamba dari api neraka.

Masalahnya hamba tahu tentang keutamaan Ramadhan, namun sering melalaikannya. Kata Nabi yang mulia, rubba shoimin laisa lahu min shiyamihi illal ju’ wal ‘aths (Begitu banyak dari orang yang berpuasa, tapi dia tidak mendapatkan apa, kecuali lapar dan dahaga). Dari mana akar soalnya? Victor L. Frankl, seorang psikiater ternama, menganjurkan logoterapi. Logoterapi bertujuan mencari makna hidup. Kata Frankl, Makna hidup seperti bayang-bayang. Ia jangan dicari; tetapi merupakan efek dari sebuah dedikasi. Kebahagian muncul karena pekerjaan-pekerjaan yang membuat seorang dengan sukarela melakukannya, tanpa beban bagai burung yang bebas.

Bahkan, lanjut Frankl, dalam penderitaan ada makna hidup. Seorang yang mengalami derita, akan berakhir dengan bahagia, jika ia menghayati maknanya. Penderitaan harus dilalui dengan sifat ksatria. Kekuatan jiwa akan membuat orang yang teraniaya secara fisik nampak bahagia. Wajahnya memancarkan kepasrahan sekaligus ketabahan dan ketangguhan.

Para pewaris singgasana pada masa kerajaan tradisional harus menjalani ritual dibuang. Para bhiksu tinggal di hutan-hutan mengasingkan diri untuk lepas dari samsara. Rasul yang agung menyepi di gua Hira untuk introspeksi dan memohon petunjuk Allah.

Apa memang kebahagian itu harus melalui derita? Kata Tuhan manusia belum dianggap beriman, sampai dia diuji. Derita adalah katarsis kehidupan yang membuat seseorang menjadi lebih bijak dan lebih cerdas memahami diri dan lingkungannya.

Tentu saja akan menimbulkan debat yang panjang jika puasa dianggap derita. Masih banyak orang di negeri ini yang terbiasa hidup susah. Sehari makan, sehari tidak. Itupun dengan nilai gizi yang rendah. Bagi kita yang biasa makan enak, mungkin hari pertama berat, tapi hari-hari berikutnya akan lebih mudah. Apalagi hari-hari menjelang lebaran, hampir-hampir tidak terasa, karena sebagian kita sibuk mempercantik rumah, diri, dan keluarga menyambut lebaran raya.

Frankl mengutip Dostoevsky- menegaskan kekuatan orang-orang yang terpenjara di kamp-kamp konsentrasi. Katanya, “Manusia dapat hidup dalam kondisi apapun”. Jika tidak makan tidak minum relatif bukan dianggap sebuah derita, maka derita itu merupakan efek dari membebaskan hawa nafsu. Sebagian dari kita –bahkan kebanyakan manusia karena fitrahnya- suka pada kesenangan. Perilaku konsumtif dan hidup yang hedonis mempertuhan materi adalah tantangan kemanusiaan abad kini. Memperturutkan hawa nafsu laiknya binatang membuat manusia kehilangan esensi kemanusiaannya. Akal berjalan, tetapi harus dibimbing dengan hati. Kata Al-Gazali, “Qolbun hayyun, wanafsun maituhu” (Hati dihidupkan, dan nafsu dibunuh).

Pertempuran bulan Ramadhan merupakan perjuangan ruhaniah. Mengutip buya Muhammad Natsir, “Kita boleh kalah dalam pertempuran-pertempuran (kecil), tetapi jangan kalah dalam peperangan (besar)”. Satu dua kali kita mungkin tergelincir, karena tidak ada manusia yang sempurna, untuk kemudian membangun kesadaran baru menjadi muslim yang lebih saleh.

Sahabat sempat terkaget-kaget, ketika Rasul mengatakan bahwa peperangan hebat yang baru saja dimenangkannya masih kalah oleh peperangan yang lain (roja’na min jihadil ashgori ila jihadil akbari). Seraya tersenyum Rasul menenangkan sahabat bahwa yang dimaksud peperangan besar itu memerangi hawa nafsu.

Bagaiman caranya? Komitmen kemusliman yang teguh. Kita hidup pada masa dimana, hitam dan putih tidak terpetakan dengan baik. Kita hidup dalam dunia yang samar. Seorang muslim tidak cukup mengaku dirinya muslim. Namun, harus terpancar dari akhlaknya yang tumbuh dari keyakinan individualnya.

Kultur masyarakat kita memang masih feodal. Keteladanan dari tokoh-tokoh, orang tua, penguasa menjadi hal yang menentukan. Apa yang dilakukan mereka biasanya ditiru. Masalahnya tentu saja kita tidak mengharapkan orang lain untuk berbuat. Teladan harus dimulai dari diri sendiri (ibda’ binafsik). Setelah itu keluarga, masyarakat, bangsa, dan umat secara keseluruhan. Kesalehan sosial harus dimulai dari kesalehan individual. Bukankah kaidah ushul menyatakan, “La yudraku kulluhu, la yutroku kulluhu”(Apa yang tidak bisa dikerjakannya seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya).****

Selengkapnya

Tantangan Demokratisasi Kultural Sunda

Jumat, 24 Juli 2009

Oleh: Iim Imadudin

Kesadaran etnisitas bergerak secara dinami tumbuh dari adanya krisis identitas dan eksistensi. Krisis tersebut muncul akibat gerak sejarah menyangkut eksistensi etnis tersebut antara yang bergerak secara legal formal dan mengikuti alur kultur yang alamiah. Budaya Sunda yang pada dasarnya bersifat terbuka mengalami ujian sejarah. Di dalam kalangan internal kebudayaannya muncul kehendak untuk lebih mengeksistensikan dirinya. Namun, kesadaran baru yang tumbuh pada masyarakat Sunda kemudian ialah pemahaman bahwa kelompok-kelompok etnis hidup dan saling berinteraksi dalam ruang kemajemukan.

Pendahuluan

Jika meminjam istilah Indra Jaya Piliang, elit Sunda sekarang sedang memegang “bola api demokrasi”. “Bola api” diandaikan sebagai sejenis permainan yang sangat membahayakan pemainnya. Secara peristilahan “bola api demokrasi” didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mengganggu kehidupan demokrasi yang sedang berlangsung. Liputan Kompas (15,16,17/12/2005) dan Pikiran Rakyat (12/12/2005) menyebutkan beberapa tokoh Sunda yang tergabung dalam Paguyuban Pasundan (PP) memprotes kebijakan Presiden SBY mengganti dua menteri putra Sunda dalam Kabinet Indonesia Bersatu, Yusuf Anwar dan Andung Nitimiharja. Kebijakan itu dinilai sebagai meminggirkan kiprah elit Sunda di pentas nasional. Selanjutnya muncul pro dan kontra terhadap reaksi pengurus PP. Apabila disimpulkan terdapat dua “arus utama” pandangan yang mencuat. Pertama, mereka yang tetap menganggap penting prinsip keterwakilan etnis dalam perpolitikan nasional. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa mengedepankan semangat primordialisme hanya akan kontraproduktif bagi pembangunan bangsa.

Sejarawan Nina H. Lubis menyebut respon pengurus PP sebagai fenomena baru dalam tradisi elit Sunda yang berani menyatakan sikap secara terbuka. Pada dasarnya, budaya politik orang Sunda itu siger tengah (mencari posisi yang aman). Antropolog Budi Rajab menyebutnya sebagai ketidakmampuan elit Sunda mengadaptasi visi dan misi perubahan. Budayawan Sunda, Saini K.M. mengatakan kapabilitas personal tidak ada hubungannya dengan etnisitas. Oleh karena itu, orang Sunda harus lebih terbuka sehingga tidak emosional.

Diskursus tentang eksistensi Ki Sunda agaknya sudah menjadi klasik, namun tetap menarik diperbincangkan. Di dalamnya terdapat kecemasan-kecemasan dan harapan sekaligus. Perdebatan yang tidak pernah lebih maju dari kurun waktu sebelumnya membuktikan minimnya momentum untuk mengekspresikan diri. Dialognya hanya melingkupi orang-orang yang itu-itu saja dengan topik yang terbatas.

Menurut hemat penulis, pernyataan di atas tidak cukup membantu mengangkat peran politik orang Sunda di pentas nasional. Pernyataan tersebut lebih merupakan otokritik terhadap kondisi-kondisi internal. Apalagi ketika profesionalitas menjadi ikon zamannya, “protes” seperti itu cenderung dimaknai sebagai resistensi terhadap sistem yang berlaku. Padahal dalam beberapa budaya politik yang pernah dijalankan, meski dalam posisi yang menguntungkan, etnis Sunda tidak mengambil peran yang terlalu dominan. Tulisan di bawah ini mencoba mendeskripsikan beberapa persoalan internal, demokratisasi budaya, dan aktualisasi politik ki Sunda.

Krisis-krisis Internal

Pada dasarnya sejak konsep negara-bangsa ditegakkan sudah ada kesepakatan untuk menjadikan Indonesia sebagai “rumah baru” menggantikan rumah-rumah lokal yang sudah ada sebelumnya. Sutatdji Calzoum Bachri (2001) menyebut posisi pemimpin bangsa waktu itu sebagai Malin Kundang yang “durhaka” dengan meninggalkan”ibu kandung lokal” beralih ke “ibu nasional”. Hanya saja, eksistensi kelompok etnik kerap mengalami dinamika yang cukup drastis sebagai akibat intervensi negara. Formasi sosial politik yang mengepung eksistensi kelompok etnik sangat “cair”, karena dinamika sejarah yang sering berubah.

Mewacanakan soal representasi etnik dalam politik nasional hari ini lebih merupakan peneguhan sikap yang berangkat dari krisis-krisis internal dalam alam pikiran kelompok etnik. Sebagai contoh, dahulu etnik Minangkabau pernah mengalami krisis internal yang nyaris menggoncangkan seluruh sendi kehidupan secara keseluruhan akibat penumpasan PRRI (Pemerintah Revolusional Republik Indonesia). Ketika itu muncul stigma “Orang Minang kalah perang”. Terjadi krisis psikologis yang berakibat adanya perasaan inferioritas. Kelompok etnik yang pernah menyumbangkan putra terbaiknya dalam pencarian identitas bangsa dan perjuangan kemerdekaan, menjadi etnik yang dikalahkan. Gubernur Harun Sumatera Barat Harun Zain mengerek “Strategi Harga Diri” dalam rangka memulihkan martabat orang Minang. Dalam perjalanan sejarahnya, usaha mempertanyakan eksistensi etnik Minang dalam pergaulan antar sukubangsa terus berlangsung sampai hari ini. Suatu ketika Gus Dur melempar “bola Panas” dengan menyebut pemikiran orang Minang mandek. Reaksi yang positif dan negatif pun bermunculan.

Agaknya proses yang sama dialami orang Sunda dengan irama dan aksentuasi yang berbeda sesuai dengan tipikal Sunda yang lembut. Orang-orang Sunda yang pernah mempunyai tokoh nasional sekaliber Iwa Kusuma Sumantri, Djuanda Kartawidajaja, Otto Iskandardinata, Mochtar Kusumaatmaja, dan lain-lain agaknya risau dengan kenyataan politik yang tidak menguntungkan. Komposisi anggota DPRD Tk. I Jawab Barat, seperti yang disebut Setia Permana (2004), didominasi oleh orang non Sunda sungguh mengkhawatirkan sebagian elit Sunda. Demikian pula, pada jajaran birokrasi di pusat dan daerah terjadi kecenderungan yang sama. Pelan-pelan mereka tidak lagi menjadi tuan di ranahnya sendiri. Maka, jika sebagian elit Sunda memunculkan isu primodial dalam proses politik dapat dibaca sebagai upaya mencari keseimbangan dalam konstruksi bangunan kehidupan antar kelompok etnik dalam wadah kebangsaan. Bandung yang mewakili daerah Sunda seolah-olah terjepit dalam poros Jakarta-Yogyakarta. Terdapat kegamangan dalam mereposisikan peran sosiologis pada masyarakat yang terus berubah. Sunda seolah-olah sudah lebur dalam konsepsi nasionalitas kultur yang memusat sentripetal ke Jakarta.

Etnisitas sejatinya bersifat askriptif, tidak dapat dihilangkan, namun bisa tidak dipakai. Soal etnis tergantung bagaimana negara mengelolanya. Dahulu masa Orde Baru soal etnis (SARA) menjadi hantu yang menakutkan. Berbicara SARA berarti mengancam kestabilan negara. Orang menjadi takut untuk menegaskan identitas sukubangsanya. Kebudayaan berbagai sukubangsa dikumpulkan dalam etalase kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah. Maka, dibangunlah Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII) yang berdiri dengan megahnya sebagai simbol ketundukan etnik terhadap negara. Kelompok etnik diredupkan peranannya dalam ruang-ruang sosial politik. Meski, misalnya pada masa itu sulit untuk tidak mengatakan Jawa sebagai “arus besar” dalam budaya politik nasional.

Masyarakat Sunda dikenal suka makan lalab-lalaban (sayur-sayuran). Konsumsi makan yang sebenarnya menyehatkan itu ditengarai mengembangkan masyarakat dengan karakter budaya yang lembut dan kurang kompetitif. Pendapat itu mungkin mengadopsi mentah-mentah pemikiran Aristoteles yang mengatakan bangsa-bangsa yang maju berasal dari masyarakat yang menghadapi tantangan alam yang berat.

Tantangan terbesar terletak pada kemampuan komunitasnya dalam mengadaptasi perubahan-perubahan. Dalam konteks ini, masyarakat Sunda harus mampu mentransformasikan kebudayaannya. Dahulu selalu ada ungkapan, “Jika kelompok mayoritas mapan, maka minoritas aman”. Sekarang, ungkapan itu agaknya sudah terpinggirkan secara wacana. Meski, dalam kenyataannya, terutama menyangkut hal yang strategis, dominasi tetap terasa. Ada semacam sentimen emosional menjadi tuan di tanahnya sendiri. Istilah populernya “Putra Asli Daerah”. Salah satu diktum dari teori fungsional struktural menurut van den Berghe dalam Lauer (1993) adalah integrasi sempurna tak pernah terwujud, setiap sistem mengalami ketegangan dan penyimpangan, namun cenderung dinetralisir melalui institusionalisasi.

Bandung sebagai pusat kekuasaan politik orang Sunda sekarang adalah kota metropolitan tempat berseminya ide-ide baru fashion, “kawah candradimuka” grup Band terkenal, dan budaya pop lainnya. Apa yang sedang trend di Bandung dengan segera diikuti daerah-daerah lain di Indonesia. Ada semacam gengsi sosial ketika mengikatkan diri kita dengan Bandung. Saya yang pernah bekerja di Padang selama lima tahun selalu berkata dari Bandung, meski sebenarnya orang Cikampek. Rekan-rekan yang orang Padang dengan bangga menyebutkan bahwa saya kawannya dari Bandung.

Bandung secara kultural sulit mengklaim dirinya sebagai pusat kebudayaan Sunda, seperti halnya Yogyakarta bagi kebudayaan Jawa. Secara kultural yang ada hanya konsep wilayah Priangan, yang meliputi Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, dan Sukabumi. Ada konsep Priangan (pusat) dan Pantai Utara/Selatan (Pesisir). Otoritas kultural amat terbatas ada pada wilayah berkesenian. Dengan ketiadaan primus inter pares itu, masing-masing daerah di Jawa Barat menegaskan identitasnya sendiri: wargi Karawang, wargi Sumedang, dan seterusnya.

Tumbuhnya gengsi sosial selalu menimbulkan kejenuhan ketika tidak diiringi dengan usaha meningkatkan kualitas. Masyarakat yang berasal dari berbagai daerah mengadu nasib ke Bandung. Sebagian dari mereka termasuk kelas menengah yang terdidik dan terampil. Dalam waktu yang tidak lama mereka mengambil peran penting menggeser orang-orang Sunda. Dalam jangka panjang sangat mungkin timbul resistensi sosial yang tercipta melalui radikalisasi massa dan ekspresi weapon of the weakness-nya James C. Scott (senjatanya orang-orang kalah). Radikalisasi dapat muncul mungkin melalui simbol-simbol keagamaan, kultur, bahkan kemiskinan. Radikalisasi tidak harus kekerasan fisik, dapat juga agresifitas dan sikap yang ofresif. Ketersingkiran sosial –meminjam istilah Scott- akan menciptakan sikap ekstrim yang lain: malas, tidak disiplin, dan maunya sendiri. Pokoknya sikap yang merusak keberaturan.

Tantangan cukup kuat memang terletak pada prestise di bidang pendidikan. Perguruan tinggi yang ada di Bandung dianggap kurang mampu menciptakan mazhab keilmuan yang menjadi kiblat bagi perguruan tinggi lain di Indonesia. Sementara tradisi intelektualnya tertahan dalam sekat-sekat materialisme dan hedonisme.

Dalam sistem internal orang Sunda terjadi pergeseran cara pandang. Sebuah penelitian yang dilakukan Yus Rusyana dan kawan-kawan (1988/1989) menyiratkan gambaran tersebut. Dahulu orang Sunda menganut bengkung ngariung bongkok ngaronyok (hidup bersama agar tidak jauh dari keluarga), sekarang mereka berusaha agar selalu sejahtera bersama keluarga. Dahulu orang Sunda harus bersabar walau sikap orang lain tidak wajar, sekarang mereka akan berterima sepanjang sikap orang lain wajar. Dahulu orang Sunda menganut sineger tengah, yaitu hidup layak tidak bermewah-mewahan juga tidak berkekurangan, sekarang mereka harus meraih apa yang bisa didapat. Jika tidak dapat, cukup dengan apa yang terjangkau.

Orang Sunda sebetulnya memiliki pengalaman kehidupan multietnik yang berjalan dengan damai. Migrasi orang-orang non etnik Sunda relatif berlangsung mulus karena penerimaan yang terbuka dari masyarakat setempat. Sebagian besar orang-orang perantau itu datang ke pusat-pusat kota sebagai jantung pemerintahan, ekonomi, dan menggeliatnya industrialisasi. Jika terjadi pergesekan antara warga setempat dengan pendatang jumlahnya tidak terlalu signifikan. Dengan demikian, hal tersebut tidak merepresentasikan adanya konflik antar warga.

Dohrenwend dan Smith dalam (Lauer, 1993: 406) mengemukakan empat kemungkinan arah perubahan yang dapat dihasilkan dari kontak dua kebudayaan :

1. Pengasingan, menyangkut pembuangan cara-cara tradisional oleh anggota pendukung satu kebudayaan tanpa menerima cara-cara kebudayaan lain;

2. Reorientasi, menyangkut perubahan ke arah penerimaan strujktur normatif kebudayaan lain;

3. Penguatan kembali (reaffirmation) kebudayaan tradisional diperkokoh kembali;

4. Penataan kembali, kemunculan bentuk-bentuk baru seperti yang ditemukan dalam gerakan utopia.

Orang Sunda meminjam penelitian Ajip Rosyidi (1984) terhadap karya Sastra Sunda adalah orang-orang percaya diri, terbuka terhadap kritik, taat terhadap pemerintah, pembawaan sungguh-sungguh, dan jujur. Sebagian peneliti menyebut bahwa orang Sunda itu optimistis, berwawasan terbuka, namun perasa. Kiranya karakteristik tersebut dapat dijadikan sebagai modal untuk mengangkat derajat kemanusiaan dan kesejahteraannya.

Agenda Kultural dan Politik

Ada beberapa agenda yang penting yang perlu dilakukan memperkuat tumbuhnya kepemimpinan Sunda dalam berbagai bidang.

Pertama, pelestarian nilai-nilai kepeloporan yang terkandung dalam tradisi Sunda hendaknya tidak dilakukan secara defensif. Harus ada proses kreatif yang terus ditransformasikan ke dalam ruang-ruang budaya. Selama ini melestarikan seolah-olah berarti tidak menerima unsur-unsur baru yang dapat memperkaya nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal.

Kedua, pendidikan kesukubangsaan hendaknya diarahkan pada upaya mencari nilai-nilai positif dalam tradisi dengan menghindari sikap yang memupuk etnosentrisme. Warisan sejarah dan budaya dalam perjalanan bangsa menunjukkan adanya jaringan kolektif antar daerah dan etnik di Indonesia.

Ketiga, secara lebih luas masa depan sebuah entitas kultural ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusianya. Tantangan di masa depan hanya dapat dimenangkan oleh pemilik dari budaya unggul. Meski etnisitas tidak berkorelasi dengan keunggulan, namun stereotip etnis yang positif harus dikembangkan.

Keempat, era otonomi daerah hendaknya dimaknai sebagai proses meneguhkan identitas etnik dan menyesuaikannya dalam situasi yang terus berubah. Etnisitas yang sifatnya askriptif itu harus mampu mendorong tergalinya potensi-potensi lokal.

Kelima, perlu ada dukungan yang kuat dari kolektif orang Sunda yang dapat menopang anggotanya mencapai prestasi yang mengangkat pamor kesundaan. Dukungan tentu harus diberikan dengan memperhitungkan kemampuan seseorang.

Penutup

“Demokrasi lokal” dapat menjadi alternatif bagi demokrasi nasional yang sedang mengalami disfungsi sosial akibat hegemoni Orde Baru. Orang Sunda memiliki banyak kesempatan untuk merekonstruksikan nilai-nilai kelokalannya dalam hidup bersama kelompok etnik-etnik lain. Inilah mementum terbaik untuk meneguhkan kembali identitas etnik di tengah tantangan kehidupan yang semakin kompleks.

Perspektif kepemimpinan Sunda hendaknya tidak selalu dilihat sebagai kembali ke masa lalu. Banyak kelompok etnik yang berupaya membangkitkan batang terendam kebudayaan lokalnya dengan mengadaptasinya dalam perspektif modern. Orang Sunda meski tidak dapat lagi menetapkan garis teritorial-genealogisnya secara jelas, memiliki kesanggupan menegaskan identitas etnik tanpa terjebak dengan inward looking (pandangan yang terlalu ke dalam).****

Daftar Sumber

Harsojo. 1983. “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Lauer, Robert H. 1993. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Permana, Setia. “Konsep Kepemimpinan Sunda di Persimpangan Jalan, Makalah dalam Diskusi Kepemimpinan Sunda dalam Perspektif Sejarah, 17-18 September 2003, Museum Mandala Wangsit Bandung.

Rusyana, Yus dkk. 1988/1989. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa ini Tahap III. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Bagpro Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Depdikbud.

Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Selengkapnya

Workshop dan Festival Komunitas Adat

Selasa, 21 Juli 2009

Komunitas adat sebagai entitas kultural telah memberikan corak tersendiri terhadap kekayaan budaya bangsa. Namun, dalam perkembangannya kemudian, terdapat kecenderungan makin termarginalkannya entitas tersebut. Maka muncul istilah “pemberdayaan” suatu istilah yang pada masa lalu (khususnya masa Orde Baru) memperoleh stigma yang kurang positif. Komunitas adat sering diposisikan sebagai “masyarakat terasing”, “masyarakat terasing yang kuno, sebagai the otherness. Workshop yang berlangsung pada tanggal 22 Juni 2009 tersebut bertempat di aula Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Kegiatan yang mengundang guru, siswa, LSM, dan kalangan pemerintah dibuka secara resmi dibuka oleh Direktur Kepercayaan Depbudpar, Drs. Gendro Nurhadi, M.Pd. Pak Gendro mengatakan bahwa komunitas adat merupakan benteng terakhir dalam berperilaku dan bersopan santun.

Workshop yang dipandu Drs. Nandang Rusnandar menghadirkan Pak Ade Suherlin (kuncen Kampung Naga), Muhtarom Sumakerti (PAMAPUJA), Drs. Eddy Sunarto (Disparbud Jabar), dan Dr. Ade Makmur K, M.Phil (akademisi). Masalah-masalah yang mengemuka dalam kegiatan tersebut, antara lain kelangkaan minyak tanah di Kampung Naga, dampak pariwisata terhadap perubahan nilai-nilai, perlunya regulasi tentang pelindungan hak-hak komunal masyarakat adat, krisis budaya di komunitas baduy, dan lain-lain. Berkaitan dengan tema “Indonesia kreatif” dalam hubungannya dengan komunitas adat, Dr. Ade M.K. menjelaskan berpikir kreatif dalam konteks komunitas adat artinya melindungi warisan leluhur dengan kontribusi yang diperoleh. Memang, kembali ke akar harus menumbuhkan kebanggaan. Pak Ade Suherlin mengatakan, kami bangga disebut ortodoks, karena meletarikan dan menghayati nilai-nilai leluhur. Salut!!!!

Selengkapnya

Jatinangor yang Terus Berubah

Senin, 20 Juli 2009

Beberapa waktu yang lalu saya silaturahmi ke jurusan sejarah di Jatinangor. Sudah hampir tujuh tahun saya tidak pernah lagi ke sana. Waktu tujuh tahun rupanya sudah mengubah wajah kampus tercinta: lingkungannya yang semakin rimbun dengan pepohanan, kemacetan ruas jalan Jatinangor menuju kampus, orang-orangnya yang tidak lagi saya kenal. Kelihatannya terjadi pembangunan di sudut-sudut kota (pantaskah istilah kota?) Jatinangor. Mal baru, gedung fakultas baru, dan kos-kosan baru. Jatinangor yang sepuluh tahun lalu tidak begitu dikenal, sekarang menjadi tempat perantauan orang-orang dari daerah bahkan luar provinsi. Apa yang saya pikirkan dan rasakan tentang kawasan tersebut malah semakin regresif. Jatinangor yang sudah semakin bercorak urban dan menanggung beban demografis dan mobilitas sosial yang berat. Mulanya saya mengira hanya ruas Cinunuk-Cibiru saja di pinggiran kota Bandung kemacetan terjadi tiap hari. Ternyata di Jatinangor kemacetan tidak kalah hebatnya. Saya beruntung atau tidak merasa beruntung! Dulu lingkungan Jatinangor meski gersang menawarkan ketenangan. Kondisi yang masih alami menyegarkan semangat untuk menimba ilmu, meski ada saja yang saya dan teman-teman sesalkan: jarak ke kota yang lumayan jauh. Sekadar mencari hiburan, ke perpustakaan, atau aktivitas kemahasiswaan di Dipati Ukur perlu waktu yang lumayan panjang. Dengan bis kota kita terpaksa bergelantungan berjejal dengan penumpang yang lain.

Saya belum sepenuhnya terbebas dari sindrom padangitis. Kota Padang yang relatif kecil, mobilitas penduduk yang sedang-sedang saja, dan kekhasan budaya Minangkabau yang bagi saya eksotis. Kota yang damai, namun diam-diam menyimpan konflik yang hebat. Konflik adat dan agama, tradisi dan kemodernan, matrilineal dan patrilineal, dan sebagainya. Saanin Dt. Tan Pariaman menyebutnya Phratry Dualism. Orang Minang selalu berada dalam kemenduaan. Namun, yang tetap saya kagumi sampai sekarang adalah prinsip egaliteriannya dan tradisi keilmuannya yang tetap lestari. Meski kesan egaliter tidak begitu tampak dalam kehidupan sehari-hari, terutama di birokrasi, namun spirit untuk menyuburkannya tetap kuat. Waktu lima tahun meski tidak lama, telah memberikan dasar-dasar pandangan bagaimana saya mencoba memahami dunia.

Nah, dengan situasi seperti itu agaknya wajar saja jika saya terkaget-kaget melihat wajah Jatinangor sekarang; dari desa menjadi kota. Kesemrawutan yang bagi saya mengganggu. Kadang saya bertanya dalam hati apakah para mahasiswa, dosen, dan orang-orang yang tinggal di sekitar kampus tidak merasa terasing dalam dunia mereka sendiri. Pusat-pusat kampus yang sempat saya datangi sebelumnya malah memiliki kesan yang berbeda. Di Depok meski aroma kekotaan begitu kuat, tetap tidak sesesak Jatinangor. Bulaksumur kampus baru UGM sami mawon. Limau Manih kampus Universitas Andalas malahan cukup lengang. Mahasiswanya sangat fashionable, sesuatu yang sudah genuine dalam watak orang Bandung.

Pusat industri otak seharusnya tetap dibiarkan alami dan diserakkan lokasi kampusnya untuk menghindari penumpukkan massa. Bagaimana mungkin mereka dapat memahami persoalan masyarakat jika setiap kali keseharian mereka dihimpit oleh perjuangan mengejar kemajuan dan prestise. Lingkungan yang kondusif tetap harus dijaga untuk menciptakan bukan saja mereka yang cerdas secara intelektual tetapi sensitif pula terhadap soal-soal di lingkungannya. Bangunan perumahan dan pendidikan yang semakin mirip dengan mal-mal hanya akan menciptakan lulusan yang mengalami dehumanisasi, sebab bagi mereka pergulatan hidup hanya satu, yaitu kompetisi dunia materialisme.****

Selengkapnya

“Ibu Menyumpahi, Ibu Menyayangi”

“Saya menjaga jangan sampai mengeluarkan perkataan sumpah yang akan membuat anak saya menderita dunia-akhirat”, demikian ucapan ibu seorang artis muda yang menikah tanpa restunya. Berita tersebut ditayangkan berkali-kali serentak di beberapa stasiun televisi swasta belakangan ini. Berita itu menambah deretan konflik ibu-anak di kalangan artis yang terjadi sebelumnya. Ibu yang merasa telah membesarkan anak dengan segenap jiwa dan curahan kasih sayang yang tak terbatas merasa kecewa, marah, tercampakkan. Jerih payahnya sama sekali tidak dihargai anaknya. Meski, dalam hatinya, ibu tidak mengharapkan balas jasa, karena menjadi ibu adalah fitrah.

Menyebut persumpahan ibu, pikiran kita memusat pada legenda asal Sumatra Barat yang sudah klasik namun tetap populer, Malin Kundang. Lakonnya sering dijadikan sandiwara, drama, bahkan parodi. Sekarang ceritanya disinetronkan salah satu televisi swasta. Inti dari legenda itu, Malin yang sudah menjadi saudagar kaya tidak mengakui ibunya, seorang janda miskin. Ibunya begitu kecewa sampai berdoa kepada Tuhan agar Malin dikutuk. Akhirnya, dalam perjalanan, kapal Malin diterjang badai sehingga karam, dan menjadi batu karang. Sekarang tinggalan kapalnya lengkap dengan relief cerita Malin Kundang ada di Pantai Air Manis Kota Padang.

Mungkin kita akan berkata persumpahan itu dicipta untuk menguatkan basis kultural Minangkabau yang matrilineal. Di sana Posisi perempuan sangat penting karena ia menjadi ambun puruak, limpapeh rumah nan gadang (tonggak rumah gadang). Bundo Kanduang merupakan pusat dari kehidupan di rumah gadang. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam legenda itu, meski berangkat dari kelokalan (tradisi lisan), namun memiliki universalitas nilai. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang sangat heterogen kaya dengan cerita rakyat yang sarat dengan pesan moral serupa. Ada jaringan ingatan kolektif yang mengintegrasikan etnik-etnik Nusantara.

Menyumpah memiliki arti yang sama dengan mengutuk, yakni mengharapkan keburukan terjadi kepada seseorang. Akan tetapi bagi ibu, menyumpah sebenarnya menyayangi. Air mata kesedihan yang keluar merupakan refleksi dari rasa sayangnya yang mendalam. Rasa sayang tumbuh dari keterikatan emosionalnya dengan sang anak yang lahir dari rahimnya. Rahim sendiri berasal dari sifat Tuhan, Ar-Rahim yang artinya “Maha Penyayang”. Sejarawan Bandung, Mansur Suryanegara yang juga seorang da’i sering berkata jika kita menyakiti ibu, rahim akan menjerit. Rahim yang menjerit itu menggetarkan ‘arasy (Semesta). Maka, Tuhan akan mendengar dan mengabulkan jerit sang ibu. Dalam kondisi yang demikian, yang dikhawatirkan jatuhnya laknat Allah karena murkanya ibu.

Sering kita jumpai dalam berita di media massa ada anak yang menganiaya, bahkan membunuh ibunya karena masalah sepele. Perkara uang seribu yang tidak diberikan atau karena sang ibu memarahinya. Ini masalah yang sangat merisaukan. Demikian pula, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melupakan kebaikan-kebaikan ibu. Kita lebih memahami keberadaan ibu hanya karena ia yang melahirkan. Status ibu bukan given saja, tetapi merupakan wujud tanggung jawabnya terhadap suami, keluarga besarnya, bahkan kepada Tuhan.

Legenda Malin Kundang masih dan akan terus hidup dalam ingatan kultural masyarakat. Legenda itu akan lestari sepanjang pesan moral yang terkandung di dalamnya berkesesuaian dengan pranata sosial yang ada dalam masyarakat. Siapa saja yang menyakiti ibu, hidupnya akan menderita. Siapapun orangnya, dari status sosial apapun, jika membuat hati ibu terluka, hidupnya tidak akan bahagia. Dalam Islam dikatakan hidup yang bahagia itu penuh keberkahan. Berkah artinya bertambah kebaikan (ziyadah al-khoiri). Maka membahagiakan ibu sama artinya dengan menjamin surga bagi masa depan kita. Sabda Nabi, “Surga berada di bawah tapak kaki ibu”. Bukankah Rasul yang mulia suatu ketika ditanya oleh sahabat, kepada siapa sikap khidmat harus dihaturkan. Jawab Rasul, “Ibumu, ibumu, ibumu”.

Kasus artis di atas sesungguhnya merupakan cermin dari kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat. Media massa telah menggeser persoalan personal menjadi masalah publik. Konflik ibu dengan anak menimbulkan pro kontra di masyarakat antara yang menyayangkan sikap ibu yang tidak juga mencair dan sikap anak yang tidak mematuhi ibu. Perdamaian dan kesediaan berkorban adalah cara untuk mencairkan ketegangan-ketegangan psikologis tersebut.

Dari ibu kita belajar bagaimana mengasihi. Ibu pula yang menjadi guru pendidikan moral pertama di rumah. Sebentar lagi kita menyambut “Hari Ibu” (Mothers Day). Mengapa harus ada “Hari Ibu”? Hari ibu bukan sekedar seremoni, minimal kita diingatkan untuk lebih menaruh perhatian lebih banyak kepada ibu. William James, sang mpu eksistensialis yang tersohor berkata, “Perhatian menentukan tindakan”.

Banyak cara dilakukan orang untuk merayakan tanggal 22 Desember. Ada yang mengerjakan semua pekerjaan ibu pada hari tersebut. Ada juga yang memberi ibu cindera mata yang berharga. Ada yang menyiapkan acara khusus. Ada pula yang berjanji mengubah sikapnya kepada ibu menjadi lebih santun. Memang tanpa ibu rasanya tidak lengkap, meski ibu menyumpahi, sebenarnya ia menyayangi. (Iim Imadudin)****

Selengkapnya

Guru dalam Tarikan “Kuasa dan Moral”

“Masa muda saya sama saja dengan masa muda anda. Meskipun dilahirkan dalam keluarga yang beragama, dan dibesarkan dengan mendapat pendidikan agama, dalam waktu singkat saya sudah kehilangan kepercayaan. Kepandaian sekolah mengganti kepandaian hidup. Penghidupan pelajar, tanpa tanggung jawab sungguh-sungguh, memudahkan pergantian itu. Dan keadaan itu akan berlangsung selama waktu singkat sesudah kita meninggalkan bangku sekolah”.

Demikianlah nasihat H. Agus Salim terhadap para pemuda dalam Kongres Jong Islamieten Bond di Yogyakarta, 1926. Sang grand old man itu dengan penuh antusias menekankan pentingnya pendidikan sebagai bagian dari cita-cita menuju Indonesia merdeka. Memang, para guru yang mendidik orang muda ketika itu adalah intelektual generasi baru sekaligus aktivis politik. Mereka adalah guru bagi para yuniornya di berbagai kelompok pergerakan kebangsaan yang tumbuh dengan suburnya.

Di ranah Minang tempat bersemainya kemajuan-kemajuan lahir anak bangsa yang kemudian menjadi pemimpin nasional melebihi proporsi penduduknya secara nasional. Sekedar menyebut nama tercatat Mohammad Natsir, H. Agus Salim, HAMKA, dan lain-lain. Natsir putra Alahan Panjang misalnya sebelum menjadi ketua Masjumi dan Perdana Menteri RI adalah guru sekaligus pendiri HIS partikelir di Bandung. Mereka melakukan lompatan dari “guru sekolah” menjadi “guru bangsa”. Demikian pula, sejumlah tokoh lokal yang menonjol pada masa revolusi juga pendidik.

Pada masa penjajahan para guru berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang berat. Pemerintah Hindia Belanda melalui Schoolen Ordonantie membatasi gerak aktivitas para guru, terutama sekolah partikelir. Namun untunglah, para pembaharu, seperti Inyiak Djambek, Inyiak Parabek, Haji Rasul, dan H. Abdullah Ahmad menolak pemberlakuan Ordonansi Guru di Minangkabau tahun 1925.

****

Di provinsi Jiran kita, Kepulauan Riau, dahulu terjadi demonstrasi besar-besaran para guru yang menuntut pengunduran diri Jeffri Noer sebagai Bupati Kampar sebagai akibat pelecehan martabat guru. Ketiganya juga menjadi isu nasional dilihat dari besaran minat publik terhadapnya.

Sementara itu, kasus ketiga yang terjadi di provinsi yang kaya dengan minyak tersebut mencerminkan betapa rendahnya apresiasi profesi guru di mata penguasa jajaran birokrasi. Meski ada perbedaan teknis diantara ketiga kasus tersebut, namun ada persamaannya. Pendidik dengan berbagai tingkatannya mengalami pemiskinan imajinasi sosial oleh sebab tarikan kuasa dan moral yang tidak pernah selesai.

Meminjam pendapat Robert R. Jay (Dawam Rahardjo, 1993) guru –penulis menyebut dosen juga sebagai guru semata-mata untuk memudahkan kategorisasi- merupakan learned professions (kelompok profesi terpelajar). Mereka adalah kelompok yang karena profesinya berkewajiban melakukan noblesse oblige (panggilan luhur). Karena profesinya itu, setiap perilaku mereka di luar tanggung jawab formal mereka selalu menjadi perhatian komunitasnya. Apalagi jika hal itu menyangkut susila dan etika. Ada nilai-nilai sosial yang harus mereka pegang teguh tanpa melihat bahwa sebagai anggota masyarakat tiada memiliki persoalan sehari yang sama saja: perjuangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sayangnya, apresiasi birokrasi kita terhadap profesi pendidik masih berada dalam kata-kata saja. Di tingkat kebijakan, meski banyak juga orang pintar dari kalangan perguruan tinggi yang masuk jajaran birokrasi, tidak mampu memberikan kesejahteraan yang lebih memadai kepada para guru. Coba tengok alokasi pendidikan dalam APBD. Apalagi guru honorer yang pekerjaannya begitu berat dihargai dengan upah yang rendah. Belum lagi menyangkut hak-hak mereka di sekolah yang kerapkali dipicingkan sebelah mata.Mudah-mudahan peningkatan kesejahteraan guru melalui sertifikasi benar-benar kebijakan yang berpihak pada pendidikan kita (Iim Imadudin)****

Selengkapnya

Cermin Terus, Mujaddid, dan Perubahan Budaya

Cermin Terus, sebuah risalah yang dibuat Haji Rasul pada awal abad ke-20. Sang tokoh pembaharu Minangkabau itu memang tidak henti-hentinya bergiat. Ia memang tokoh yang tidak saja pandai berbicara, khas seorang orator, juga rajin menulis. Risalah itu berisi ajakan agar kaum muslimin kembali kepada Islam dan memahaminya secara utuh. Sebagai kelanjutan dari risalah itu ia menulis Palito: Penerangan bagi Saudara Kami. Risalah itu lebih teknis lagi sifatnya, mengajak setiap muslimah untuk berpakaian “Islami”. Tentu istilah “Islami” ketika itu sesuatu yang dipandang benar menurut syara’, pandangan khas para mujaddid itu.Tentu kita juga ingat bagaimana perdebatannya dengan angku Mohammad Sjafei tentang teologi seperti yang terekam dalam koran Soeara Islam 1930-an. Perdebatan itu begitu sengit, keras, tapi santun. Informasi itu saya dapatkan di perpustakaan nasional Jakarta dalam upaya melacak sejarah penerbitan di Minangkabau.

Dalam konsepsi ajaran Islam, mujaddid itu berarti pembaharu. Orang yang teguh berpikir untuk kemajuan umatnya. Mereka yang terus menerus berpikir untuk membangkitkan umat dari keterpurukan. Umat yang sudah kehilangan ghirah beragama dan hasrat untuk maju. Ada dua hal yang dapat dicermati dari gerak langkah para mujaddid itu, berpikir untuk pembaharuan sekaligus kembali ke akar.

Pembaharuan itu berarti melakukan sesuatu yang baru dari sesuatu yang lama. Dalam bahasa kaum sunni, al-muhafazhotu ‘ala al-qodiim ash-sholih wal-akhdzu bil jadid al-ashlah, memelihara sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dalam adat Minang dikatakan pembaharuan itu dalam adagium “alam nan takambang jadi guru”. Dalam konsepsi Islam kembali ke akar itu sebetulnya kembali ke dasar, yakni aqidah. Mafhum mukhalafah dengan itu dalam tradisi Minang dikatakan Kembali ke Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Beberapa puluh tahun sesudah risalah Haji Rasul, sang anak, HAMKA, menulis Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Karena tulisannya itu, HAMKA harus menghadapi kemarahan ninik mamak yang tersinggung adatnya dikritik. HAMKA sebetulnya ingin mengatakan adat yang statis akan ditinggalkan orang dan tergerus zaman. Tulisannya kemudian menjadi trigger diselenggarakannya Musyawarah Adat Minangkabau pertama di Bukittinggi. Kata A.A. Navis di Minangkabau dalam siklus 100 tahun muncul orang-orang pembaharu. Ia membandingkan dengan generasi Padri angkatan pertama Tuanku Nan Tuo, kemudian Imam Bonjol, Haji Rasul, HAMKA, dan seterusnya. Dalam hadits Nabi dikatakan “Dalam setiap seratus tahun akan datang mujaddid yang akan memperbaharui urusan agamanya”.

Kini orang Minangakabau memasuki era baru “kembali ke nagari” yang dianggap sebagai mambangkik batang tarandam untuk kemajuan. Sudah 2-3 tahun kebijakan itu dijalankan. Sejalan itu pula, kegamangan dan optimisme menjalin menjadi satu. Sistem sosial yang sempat diporakporandakan Orde baru itu kini menggeliat kembali. Muncul euphoria di masyarakat, khususnya elit masyarakat yang sadar atau berharap kembalinya peran mereka seperti dulu.

Sekarang muncul kritik yang cukup kuat bahwa apa yang dikatakan banagari itu baru sebatas berpemerintahan nagari. Belum sampai pada pelaksanaan secara sistem sosial budaya. Kritik itu bukan saja disampaikan Mochtar Naim, sang pakar merantau itu, juga praktisi seperti Gamawan Fauzi. Bupati Solok tersebut mengatakan dalam Peluncuran buku “Nagari dalam Perspektif Sejarah” di Solok 10 ada sebelas nagari yang LPJ wali nagarinya ditolak BPN. Penolakan itu bak penolakan DPRD terhadap LPJ Gubernur. Ini memang dilema kebijakan itu. Kalau kenyataan tersebut dianggap sebagai sebuah keprihatinan, pertanyaannya, mengapa terjadi demikian?

Kalau kita berkaca kepada cermin terus-nya Haji Rasul, sekarang memang tidak ada lagi institusi dan pranata sosial yang melestarikan nilai-nilai adat dan agama. Kalau dulu surau dan lapau begitu berperan, apakah sekarang sekolah menggantikan peran lembaga itu. Ini pertanyaan yang agak sumir memang, karena zaman telah berubah. Lagi pula tiada lagi ulama berpengaruh tempat umat mengadu. Lebih memprihatinkan lagi, buya panutan sudah menjadi tersangka kasus korupsi.

Mujaddid zaman sekarang barangkali tidak lagi berjasad buya-buya saja, tetapi intelektual, profesional, dan pemuda yang mendedikasikan dirinya untuk kemajuan masyarakat. Mujaddid berarti wali-wali nagari yang memiliki motivasi yang kuat untuk membangun nagarinya. Komunitas mujaddid berarti pula masyarakat nagari yang punya komitmen yang kuat untuk melaksanakan nilai-nilai agama, adat, gotong royong, kebersamaan, dan kecintaan kepada nagari.

Saya jadi ingat dengan lembaga tempat saya dahulu mengabdi, BPSNT Padang. Nilai-nilai moral Cermin Terus pernah dikaji BPSNT Padang. Yang jelas di zaman yang terus berubah, BPSNT Padang harus progresif mengambil peran strategis ke depan. Meski tidak perlu menjadi mujaddid, cukuplah menunjukkan sumbangsihnya bagi dinamika masyarakat Sumbar. Hit et nunc !****

Selengkapnya

Kebangkitan Nasional dan Kesadaran Sejarah

Minggu, 19 Juli 2009

Seorang filsuf berkata, "Hidup dilalui ke depan, tetapi dipahami ke belakang". Maknanya, cara agar masa depan menjadi lebih baik adalah dengan menemukan kearifan dari peristiwa yang yang telah dialami.

Keberhasilan, kemenangan, kegagalan, kekalahan, bencana, dan seterusnya merupakan bagian dari kelampauan yang tidak mungkin diubah, karena terjadi hanya satu kali (einmalig). Dengan kata lain, pelajaran itu adalah hikmah. Sabda nabi, "Sesuatu yang hilang dari kaum muslimin adalah hikmah, ambillah di manapun ia berada".

Belajar sejarah itu ibarat orang naik kereta. Ia hanya melihat perjalanan dan stasiun yang telah dilewati. Melihat ke depan hanya sebatas pada mata memandang. Namun, dengan pengalaman dan kenangan, ia dapat memprediksi ke stasiun terakhir mana kereta akan berhenti.

Berkenaan dengan itu, pada tanggal 20 Mei kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Hari yang mulai diperingati sejak tahun 1938. Saat itu bertepatan dengan didirikannya Partai Indonesia Raya (Parindra) setelah dibubarkannya Boedi Oetomo (selanjutnya disingkat BO) dan tiga partai lainnya.

Peringatan kedua berlangsung pada tahun 1948, ketika Republik yang masih amat muda berada dalam intaian Agresi Militer Belanda. Praktis, terkecuali tahun 1949, Hari Kebangkitan Nasional selalu dirayakan setiap tahunnya.

Dinamika Pergerakan Kebangsaan

Fase permulaan pergerakan nasional dimulai oleh adanya krisis terhadap identitas lama. Tradisi mencipta moralitas, moralitas mendukung konservatisme, yang prostatus quo. Setiap penyimpangan dari kemapanan dianggap sebagai perlawanan terhadap tradisi. Namun, penetrasi sistem kolonial dan dinamika internal masyarakat Hindia membuat perubahan sosial tidak terelakkan lagi.

Orang-orang pribumi dapat belajar di sekolah Barat. Kesempatan yang hampir-hampir mustahil bagi rakyat kebanyakan. Kesempatan bergaul dengan bangsa lain, mengenal adat istiadat dan peradaban lain, dan seterusnya.

Hal-hal demikian menimbulkan persepsi baru terahdap keterbatasan dan relativitas kebudayaan. Dalam kondisi tersebut--meminjam ungkapan Sartono Kartodirdjo (1990)--kejutan-kejutan kultural terjadi. Nilai-nilai lama digugat dan banyak lambang kehilangan makna dan relevansinya. Dan, tentu saja pendidikan menjadi motor dari segala perubahan yang terjadi.

Kaum Terpelajar Menjadi Agent of Social Change.

Pada tahun 1906/1907, Dokter Wahidin mengambil inisiatif mengumpulkan dana untuk beasiswa (studiefonds). Sejumlah siswa Stovia di Kwitang membentuk asosiasi. Tentu saja, tidak dapat dilupakan berdirinya BO pada tanggal 20 mei 1908 yang berlangsung secara sederhana.

Hal yang patut dicermati ketika itu ialah munculnya pertentangan antara kelompok konservatif yang terdiri dari kaum priyayi ningrat atau aristokrat dengan kaum terpelajar yang mewakili kelompok progresif. Kenyataan itu terekam dalam Kongres Jong Java pada tanggal 5 Oktober 1908 di Yogyakarta.

Pada kesempatan itu berlangsung perdebatan antara pemakaian bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Di BO, konflik tersebut diwakili oleh sosok Dokter Radjiman Wediodiningrat dan Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo.

Radjiman, dokter Kraton Surakarta, berpendirian bahwa peradaban Timur dan Barat memiliki perbedaan yang tidak dapat dipertemukan. Semboyannya, "Bangsa Jawa tetap Jawa".

Menurut Tjipto, bangsa Hindia perlu menyerap kemajuan dari peradaban Barat. Sejak Tjipto meninggalkan BO, tidak ada kontroversi mengenai sikap kultural tersebut. Namun, BO kehilangan watak progresifnya. Selanjutnya, BO didominasi oleh kaum priyayi. BO terkungkung dalam subkultur regional (Jawa) dan priyayi.

Dinamika yang terjadi dalam BO kemudian direspons dengan munculnya organisasi sejenis yang merupakan manifestasi dari identitas golongan, subkultur etnis, kelas, atau golongan sosial, seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan lain-lain pada satu pihak; dan Sedio Tomo, Narpo Wandowo, Paguyuban Pasundan, Sarekat Islam (SI), dan lain-lain di pihak lain (Kartodirdjo, 1990: 105).

Sarekat Islam mengambil peran yang progresif dalam memobilisasi massa. Berbeda dengan BO, meski memanifestasikan golongan sosial, Sarekat Islam terbuka bagi semua strata sosial.

Aktivitasnya mencakup banyak bidang mulai dari ekonomi, sosial, politik, dan kultural. Setelah keluar dari BO, Tjipto mendirikan Indische Partij pada tahun 1922, bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat.

Partai ini tidak mendapat restu pemerintah, tetapi gagasan yang ditinggalkannya--terutama definisi komunitas--penting dalam kerangka perjuangan bangsa, khususnya pencarian identitas nasional. "Tiga Serangkai" yang dibuang ke Belanda memengaruhi sikap politik Indische Vereeniging menjadi radikal.

Hatta berperan besar ketika pada tahun 1924, mengubah Indische Vereeniging menjadi Perhimpunan Indonesia, dengan slogannya "Indonesia Merdeka, Sekarang". Berturut-turut kemudian berdiri Indonesische Studieclub, yang pada tahun 1927 berganti menjadi Perserikatan Nasional Indonesia. Klimaksnya, Oktober 1928, berlangsung Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda.

Kontekstualisasi Nilai Sejarah

Mempelajari sejarah harus memperhatikan zeitgeist (jiwa zaman). Sejarahwan Kuntowijoyo menyebutnya sebagai sense of sensibility. Pemahaman demikian diperlukan agar tidak terjadi anakronisme historis. Sekarang ini berlangsung pemitosan terhadap tanggal 20 Mei. Seolah-olah hanya tanggal itulah yang membangkitkan kesadaran nasional. Akan tetapi, itulah sejarah. Ada yang diingat dan dilupakan.

Katakanlah semacam kesepakatan bersama anak bangsa. Ada momen yang harus dikenang. Sejarah memang berbeda dengan mitos. Namun, mitos integratif diperlukan untuk mengukuhkan keyakinan dalam kehidupan berbangsa-bernegara.

Bahwa pada masa lalu, kita menghadapi common enemy secara kolektif, yaitu kolonialisme. Beberapa dekade lalu berlangsung perdebatan sesama sejarahwan, Abdurahman Surjomihardjo dan Ahmad Mansur Suryanegara. Debat keduanya berpumpun pada organisasi mana yang sejatinya menjadi pelopor pergerakan nasional, apakah BO yang mengusung "nasionalisme etnis" atau SI yang membawa bendera "nasionalisme religius".

Dari sisi kepeloporan, BO telah merintis jalan bagi kesadaran berorganisasi di kalangan pribumi. Meski, akhirnya BO menjadi semakin elitis. Sementara, SI telah menyelaraskan kebangsaan dan agama dalam satu tarikan napas.

Bagi yang berminat melanjutkannya, polemik tersebut sebaiknya dihentikan saja karena akan menjadi kontraproduktif bagi sosialisasi nilai-nilai sejarah. Sekarang, yang lebih penting, adalah bagaimana kita menghayati dan memaknai nilai sejarah yang terkandung dalam spirit kebangkitan nasional.

Meski memiliki banyak momen nasional yang diperingati setiap tahunnya, kita sering kehilangan momentum untuk memaknainya sebagai cara untuk mencari solusi keluar dari krisis yang mendera bangsa.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kita berharap kemerdekaan merupakan akhir dari proses kebangkitan nasional. Kenyataannya, pada masa Demokrasi Terpimpin, ekonomi terpuruk, keadilan sosial tidak tewujud karena instabilitas politik. Pada masa Orde Baru, ekspektasi akan segera tumbuhnya "Kebangkitan Nasional Kedua" membuncah.

Percepatan pembangunan di berbagai bidang mulai membawa kemajuan dan kesejahteraan. Sentralisme, krisis ekonomi, dan kekerasan politik meruntuhkan cita kebangkitan itu. Pesawat baru saja take off, dan tidak lama kemudian jatuh menghunjam bumi.

Orde baru tumbang, berganti Orde Reformasi yang dipelopori mahasiswa dan pemuda. Asa kebangkitan menyeruak kembali. Presiden silih berganti, tetapi harapan tidak kunjung menuai hasil. Pada masa kepemimpinan SBY-JK belum ada tanda-tanda kebangkitan yang nyata. "Bersama kita maju, bersama kita bisa" masih merupakan slogan yang tidak memiliki daya gugah.

Sebagai bangsa, kita pandai merangkai kata-kata menjadi kalimat yang indah. Barangkali, bangsa kita termasuk bangsa dengan perbendaharaan slogan dan pamflet terkaya di dunia. Kata kunci yang dapat diambil dari peringatan Hari Kebangkitan Nasional adalah "kemandirian" dan "kepeloporan".

Kemandirian lahir dari jiwa-jiwa yang merdeka. Pembebasan dari belenggu intervensi dan hegemoni kekuatan di luar dirinya. Dahulu, dalam telikung politik rust en Orde Belanda, kaum terpelajar mampu mengidentifikasi masalah dan menjawab tantangan zamannya.

Mereka mampu membebaskan jiwa mereka, meski raga terpenjara atau dibuang ke pengasingan. Bagi kita yang hidup di alam demokrasi sekarang ini, spirit kemandirian memiliki makna yang kontekstual. Bagi aparatur pemerintahan, kemandirian berarti keberanian untuk bersikap konsisten berpihak pada kepentingan rakyat.

Bagi anak bangsa, kemandirian bermakna kesanggupan mengurus diri sendiri tanpa harus bergantung pada kekuasaan. Kemandirian merupakan lahan bagi tumbuh suburnya kepeloporan. Orang-orang muda terpelajar dengan kemandirian dan kreativitasnya niscaya dapat membuat perubahan-perubahan besar. Minoritas kreatif memang sedikit jumlahnya. Tidak jarang kehadiran mereka dianggap sebagai ancaman, meski kiprah mereka bergerak di akar rumput.

Kemandirian dan kepeloporan menjadi barang berharga yang sulit dijumpai sekarang. Mindset anak-anak muda sudah serba rutin dan bergerak menurut alur suprastruktur.

Seperti halnya era kebangkitan nasional pertama, kualitas pendidikan memegang peranan penting dalam mendidik manusia-manusia merdeka. Mereka harus dilepaskan dari keharusan textbook thinking. Pendidikan solving problem yang hendaknya ditekankan.

Kehidupan di luar sekolah sarat dengan tantangan yang sering tidak sejalan dengan teori dan konsep. Selain sekolah, tentu yang diharapkan berperan adalah lembaga-lembaga sosial-budaya dan keagamaan yang mendorong tumbuhnya local genious. Nilai-nilai lokal akan membantu orang muda bagaimana memahami kemajemukan sekaligus mencerna kemodernan.

Pada akhirnya, kesadaran sejarah membantu orang memahami masa lalu, memaknai masa kini, dan merumuskan masa depan. "Menjadi tua itu pasti, tetapi menjadi dewasa adalah pilihan", demikian bunyi iklan sebuah produk. Jangan sampai seperti iklan lain yang sedang populer, "Yang muda yang gak bisa dipercaya". Kalau itu yang terjadi, bangsa ini bergerak kembali ke titik nol.

(Iim Imadudin, Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung)

Selengkapnya

Mengungkap Nasionalisme "kolonel Pembangkang"

Judul : Perlawanan Seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein,
Penulis: Mestika Zed dan Hasril Chaniago,
Penerbit : Sinar Harapan, Jakarta 2001,
Tebal : (xvi + 489) halaman

SALAH satu sisi menarik dari kajian sejarah adalah aspek dinamis dari interpretasi sejarawan. Seorang sejarawan memiliki kebebasan untuk memperlakukan fakta berdasarkan sudut pandangnya sendiri.
Di atas itu semua, kajian sejarah kontemporer umumnya ditulis dengan suatu misi yang sarat beban.

Pertama, keinginan untuk menempatkan sejarah sebagai ilmu yang bebas dari kepentingan dan konflik. Itu mengacu pada objektivitas.
Kedua, meluruskan sejarah dengan sumber dan interpretasi si pelaku. Ini sifatnya inward looking.
Demikian halnya dengan buku ini. Sebagai sebuah biografi, ia ingin menghadirkan sejarah menurut pelakunya sendiri.

Dalam penulisan sejarah Orde Baru, peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diberi stigma "pemberontakan"; sesuatu yang setidaknya hingga akhir tahun 1970-an menimbulkan perasaan traumatik dalam diri masyarakat Sumatera Barat. Perasaan rendah diri sebagai komunitas yang telah dikalahkan dan dengan sendirinya selalu dipojokkan. Mentor dari peristiwa itu, Ahmad Husein, dalam pelajaran di sekolah-sekolah dicap sebagai "pemberontak".
***

BUKU Perlawanan Seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein yang sarat dengan misi ini terdiri dari dua belas bagian. Pada prolog dipaparkan bahwa biografi ini disusun untuk menjawab pertanyaan siapakah Ahmad Husein; pahlawan ataukah pemberontak? Dan segera ditutup dengan suatu harapan buku ini dapat menjadi salah satu jendela untuk memahami sejarah Sumatera Barat pada umumnya.

Bagian pertama, kedua, dan, ketiga dari buku ini membicarakan sang tokoh dari riwayat masa kecil, remaja, hingga karier awalnya dalam militer. Ahmad Husein dilahirkan di Padang pada 1 April 1925, dalam lingkungan keluarga usahawan Muhammadiyah. Pada tahun 1943 di usia yang masih sangat muda (18 tahun), Husein bergabung dengan Gyugun.

Berkat kecerdasan dan keterampilannya, ia menjadi perwira termuda Gyugun di Sumatera Barat. Pada saat revolusi, Husien aktif merekrut anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menjadikan rumah orangtuanya sebagai markas sementara BKR.

Selanjutnya, perannya dalam perjuangan makin menonjol ketika ia menjadi Komandan Kompi Harimau Kuranji dan kemudian Batalyon I Padang Area. Pasukan Harimau Kuranji begitu populer karena keberaniannya di medan pertempuran menghadapi Inggris dan Belanda.
Bagian keempat dan kelima mengungkap meroketnya Divisi IX/banteng sebagai kesatuan terbaik di Sumatera pada masa revolusi fisik. Pada pertengahan tahun 1947 terjadi reorganisasi tentara, Husein dipromosikan menjadi Komandan Resimen III/Harimau Kuranji yang membawahi tiga ribu pasukan.

Kekecewaan Ahmad Husein dan kawan-kawan bermula ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Konsekuensinya, terjadi efisiensi berupaya penyusutan jumlah anggota besar-besaran.
Husein sendiri merelakan dirinya turun pangkat dari Letkol ke Mayor. Pada masa agresi militer Belanda II, Husein bersama anak buahnya berhasil mengamankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari serangan Belanda. Kontak bersenjata menghadapi Belanda beberapa kali terjadi. Dalam pertempuran di Lubuak Selasih 11 Januari 1949, pasukan Husein memperoleh kemenangan.

Di sela-sela perjuangan itulah pada tahun 1951 Husein memasuki fase kedua kehidupannya dengan menyunting Desmaniar, putri Jaksa Idroes.
Bagian keenam dan seterusnya lebih banyak mengungkap Dewan Banteng dan keterlibatan Ahmad Husein dalam PRRI. Prakondisi Peristiwa PRRI yang terjadi sesungguhnya dapat dilacak ketika terjadinya polarisasi Jawa-luar Jawa, dalam realitas politik nasional waktu itu.
Hasil Pemilu 1955 menunjukkan bahwa hanya empat partai saja yang memiliki suara yang cukup signifikan, yakni PNI 22 persen, Masyumi 21 persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen.
Tiga partai rulling minorities, PNI, NU, dan PKI adalah partai yang memiliki basis massa yang kuat di Jawa. Sementara, Masyumi untuk sebagian besar memiliki banyak pendukung di luar Jawa.
Konfigurasi dan polarisasi politik Indonesia hasil Pemilu 1955 ini, kelak dapat memberikan penjelasan ketika terjadi pergolakan daerah, di mana terjadi konflik politik-dan juga militer-antara pemerintah pusat di Jawa dengan daerah-daerah di Sumatera dan Sulawesi (PRRI/ Permesta) (hlm 147).

Dewan Banteng adalah jembatan yang mengantarkan Husein masuk ke jajaran elite daerah yang memiliki akses ke tingkat nasional. Reuni eks Divisi Banteng beralih pada persoalan yang lebih luas. Peserta menuntut dilaksanakannya segera perbaikan-perbaikan yang progresif dan radikal di segala lapangan, terutama di dalam pimpinan negara dengan jaminan-jaminannya demi keutuhan Negara Republik Indonesia.

Ahmad Husein mengambil alih kekuasaan pemerintahan di Sumatera Tengah pada tanggal 20 Desember 1956. Tindakan Husein segera memancing daerah lain; Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi, dan Kalimantan, untuk melakukan langkah serupa.
Tanggal 10 Februari 1958, Ahmad Husein atas nama Dewan Perjuangan mengeluarkan "Piagam Perjuangan" yang ditujukan kepada pemerintah pusat. Di dalamnya, ada limit waktu yang harus diperhatikan oleh pusat.

Setelah limit waktu yang diberikan terlewati, lima hari kemudian melalui siaran RRI Husein mengumumkan PRRI. Eksperimentasi Dewan Banteng dalam menjalankan roda pemerintahan secara darurat dalam beberapa hal meningkatkan perekonomian masyarakat.
Perlawanan Husein terhadap pemerintah pusat bukanlah untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membentuk negara sendiri. Sebagaimana dilaporkan Kedutaan Besar Amerika di Jakarta kepada Departemen Luar Negeri di Washington, Husein mengatakan kepada Hatta, "Kami di Sumatera Tengah, akan berjuang terus untuk mencari Indonesia yang adil dan makmur. Kami akan membuktikan kepada mereka yang tidak percaya bahwa gerakan ini justru mendukung Negara Kesatuan Indonesia (hlm 209).
***

SESUNGGUHNYA yang terpenting dari biografi Ahmad Husein ini adalah bahwa nasionalisme bukanlah merupakan sikap membabi buta tanpa reserve. Nasionalisme dapat ditunjukkan melalui sikap kritis terhadap ketidakbenaran dan kesewenang-wenangan. Dalam bahasa yang lebih keras, pembangkangan Ahmad Husein terhadap pemerintah pusat merupakan kewajiban patriot manakala amanah telah diselewengkan pimpinan negara.

Pertanyaan yang sampai sekarang masih menggelayuti pikiran orang adalah: kalau begitu siapakah Ahmad Husein? Pahlawankah atau pemberontak?
Pertanyaan itu sungguh menarik karena berbicara tentang aspek normatif. Apalagi di tengah kuatnya daerah-sebagai konsekuensi otonomi daerah-menampilkan tokoh-tokoh lokalnya.
Dalam buku ini jawaban atas pertanyaan itu tidak dibaca secara eksplisit. Penulis menawarkan bacaan yang berdasarkan fakta. Soal interpretasi diserahkan pada diri masing-masing. Mendudukkan peran seseorang dalam bingkai sosial politik tertentu memang terkadang menyesatkan.

Buku ini menarik untuk dibaca karena ditulis dengan bahasa populer tanpa meninggalkan bobot keilmiahannya. Apalagi penggalian sumber informasi begitu ekstensif, dan penulisannya pun tidak tergesa-gesa: perlu waktu dua tahun, 1999-2001.
Sebagai sebuah biografi, buku ini menceritakan konflik-konflik psikologis yang dialami Husein. Di sini dapat kita lihat bahwa Husein bersetia dengan kawan-kawannya. Suatu ketika, setelah gerakan PRRI dilumpuhkan oleh pusat, dia dipanggil Presiden Soekarno yang akan membebaskan dan memberikannya jabatan. Husein menjawab, kalau dia dibebaskan seluruh teman-temannya harus juga dibebaskan (hlm 385).

Nilai yang dapat diambil dari sosok Husein adalah konsistensi dalam menegakkan nilai-nilai. Hal ini mengingatkan kita pada sosok Mohammad Natsir. Pada suatu ketika Buya Natsir ditanya orang tentang kegagalannya dalam politik riil, ia mengatakan, "Kita boleh kalah dalam pertempuran-pertempuran, tetapi tidak boleh kalah dalam peperangan".

Term "pertempuran" yang digunakan Mohammad Natsir itu bukanlah kontak senjata, melainkan suatu tahap perjuangan. Dalam satu dua tahap boleh kalah, tetapi pada akhirnya perjuangan mesti berhasil juga. Berjuang itu butuh seni dan kesabaran. Apalagi di alam yang kian demokratis ini.

(Iim Imadudin, staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang )
Selengkapnya