Beberapa waktu yang lalu saya silaturahmi ke jurusan sejarah di Jatinangor. Sudah hampir tujuh tahun saya tidak pernah lagi ke sana. Waktu tujuh tahun rupanya sudah mengubah wajah kampus tercinta: lingkungannya yang semakin rimbun dengan pepohanan, kemacetan ruas jalan Jatinangor menuju kampus, orang-orangnya yang tidak lagi saya kenal. Kelihatannya terjadi pembangunan di sudut-sudut kota (pantaskah istilah kota?) Jatinangor. Mal baru, gedung fakultas baru, dan kos-kosan baru. Jatinangor yang sepuluh tahun lalu tidak begitu dikenal, sekarang menjadi tempat perantauan orang-orang dari daerah bahkan luar provinsi. Apa yang saya pikirkan dan rasakan tentang kawasan tersebut malah semakin regresif. Jatinangor yang sudah semakin bercorak urban dan menanggung beban demografis dan mobilitas sosial yang berat. Mulanya saya mengira hanya ruas Cinunuk-Cibiru saja di pinggiran kota Bandung kemacetan terjadi tiap hari. Ternyata di Jatinangor kemacetan tidak kalah hebatnya. Saya beruntung atau tidak merasa beruntung! Dulu lingkungan Jatinangor meski gersang menawarkan ketenangan. Kondisi yang masih alami menyegarkan semangat untuk menimba ilmu, meski ada saja yang saya dan teman-teman sesalkan: jarak ke kota yang lumayan jauh. Sekadar mencari hiburan, ke perpustakaan, atau aktivitas kemahasiswaan di Dipati Ukur perlu waktu yang lumayan panjang. Dengan bis kota kita terpaksa bergelantungan berjejal dengan penumpang yang lain.
Saya belum sepenuhnya terbebas dari sindrom padangitis. Kota Padang yang relatif kecil, mobilitas penduduk yang sedang-sedang saja, dan kekhasan budaya Minangkabau yang bagi saya eksotis. Kota yang damai, namun diam-diam menyimpan konflik yang hebat. Konflik adat dan agama, tradisi dan kemodernan, matrilineal dan patrilineal, dan sebagainya. Saanin Dt. Tan Pariaman menyebutnya Phratry Dualism. Orang Minang selalu berada dalam kemenduaan. Namun, yang tetap saya kagumi sampai sekarang adalah prinsip egaliteriannya dan tradisi keilmuannya yang tetap lestari. Meski kesan egaliter tidak begitu tampak dalam kehidupan sehari-hari, terutama di birokrasi, namun spirit untuk menyuburkannya tetap kuat. Waktu lima tahun meski tidak lama, telah memberikan dasar-dasar pandangan bagaimana saya mencoba memahami dunia.
Nah, dengan situasi seperti itu agaknya wajar saja jika saya terkaget-kaget melihat wajah Jatinangor sekarang; dari desa menjadi kota. Kesemrawutan yang bagi saya mengganggu. Kadang saya bertanya dalam hati apakah para mahasiswa, dosen, dan orang-orang yang tinggal di sekitar kampus tidak merasa terasing dalam dunia mereka sendiri. Pusat-pusat kampus yang sempat saya datangi sebelumnya malah memiliki kesan yang berbeda. Di Depok meski aroma kekotaan begitu kuat, tetap tidak sesesak Jatinangor. Bulaksumur kampus baru UGM sami mawon. Limau Manih kampus Universitas Andalas malahan cukup lengang. Mahasiswanya sangat fashionable, sesuatu yang sudah genuine dalam watak orang Bandung.
Pusat industri otak seharusnya tetap dibiarkan alami dan diserakkan lokasi kampusnya untuk menghindari penumpukkan massa. Bagaimana mungkin mereka dapat memahami persoalan masyarakat jika setiap kali keseharian mereka dihimpit oleh perjuangan mengejar kemajuan dan prestise. Lingkungan yang kondusif tetap harus dijaga untuk menciptakan bukan saja mereka yang cerdas secara intelektual tetapi sensitif pula terhadap soal-soal di lingkungannya. Bangunan perumahan dan pendidikan yang semakin mirip dengan mal-mal hanya akan menciptakan lulusan yang mengalami dehumanisasi, sebab bagi mereka pergulatan hidup hanya satu, yaitu kompetisi dunia materialisme.****
0 komentar:
Posting Komentar