Sebuah Definisi Cinta

Sabtu, 02 Januari 2010

Oleh : Arvan Pradiansyah

Dua sahabat wanita bertemu sesudah bertahun-tahun terpisah. “Bagaimana kabar putramu?” tanya yang satu.

”Putraku? Kasihan dia!” jawab yang lain mengeluh. ”Ia menikah dengan seorang gadis yang tak mau bekerja sedikit pun: tak mau memasak, mencuci dan membereskan rumah. Yang dilakukannya hanya makan dan tidur. Anakku yang malang bahkan harus mengantar sarapannya ke tempat tidur. Apa kamu bisa percaya itu?”

”Kasihan! Dan bagaimana putrimu?”

”Oh, ia itu sungguh beruntung! Ia menikah dengan malaikat yang tak membiarkannya mengerjakan apa pun. Ia punya banyak pembantu untuk memasak, mencuci dan membereskan rumah. Dan setiap pagi suaminya mengantarkan sarapan ke ranjang. Yang ia kerjakan hanyalah tidur, beristirahat dan bersantai-santai sepanjang hari.

Para pembaca yang budiman, apa pendapat Anda mengenai cerita di atas? Ternyata, sesuatu yang persis sama dapat dilihat dari sudut pandang yang sama sekali berbeda tergantung pada posisi dan kepentingan kita sendiri. Kita memang cenderung mementingkan diri sendiri dan selalu melihat sesuatu dari kepentingan kita. Bahkan, baik- buruk suatu peristiwa sangat tergantung pada terganggu-tidaknya kepentingan kita. Inilah sumber segala permasalahan yang kita hadapi.

Perubahan yang besar, revolusioner dan menakjubkan akan terjadi begitu kita mampu melihat sebuah masalah dari sudut pandang orang lain, terutama dari sudut pandang pihak-pihak yang berseberangan dengan kita. Inilah definisi saya mengenai cinta. Menurut saya, cinta adalah kemampuan kita melihat dari sudut pandang orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain, bahkan menghayati suasana kehidupan orang lain.

Definisi ini sangat sederhana, tetapi amat sulit dipraktikkan. Yang pertama harus kita kalahkan adalah ego. Kita sering menganggap penderitaan kita sebagai masalah terpenting di dunia. Misalnya, Anda sedang menderita sakit gigi, sementara di saat yang bersamaan banyak orang yang tertimpa musibah banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan sebagainya. Pertanyaannya, masalah apakah yang menurut Anda paling penting? Tentu, sakit gigi Anda, bukan?

Jadi, pertama-tama, kita harus menyadari kecenderungan kita yang selalu menganggap masalah kita sendiri sebagai masalah terpenting. Hal ini tak akan pernah melahirkan cinta. Cinta hanya dapat lahir dari kesadaran bahwa masalah yang dihadapi orang lain juga amat sangat penting. Kita harus mampu merasakan, menyelami dan menghayati situasi orang lain. Kemampuan inilah yang saya sebut dengan cinta.

Kalau Anda memiliki masalah dengan bawahan, cobalah bayangkan diri Anda yang berada pada posisinya. Pasti Anda akan menemukan berbagai kejutan yang mencerahkan. Suatu pekerjaan yang sangat sederhana bagi Anda, bagi bawahan mungkin membutuhkan waktu berjam-jam untuk memikirkannya. Kalau Anda memiliki masalah dengan atasan, cobalah tempatkan diri Anda di posisinya. Boleh jadi, atasan Anda sedang menghadapi tekanan yang hebat dari atasannya lagi yang membuatnya begitu tertekan.

Kalau Anda memiliki masalah dengan pasangan, cobalah bayangkan kalau Anda bertukar posisi. Lihatlah masalah dari sudut pandang pasangan Anda. Saya yakin, Anda akan lebih menghargai, mencintai dan memaafkannya. Begitu juga dengan pembantu Anda di rumah. Beberapa waktu lalu, pembantu saya kehilangan saudaranya yang sangat ia sayangi yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Ia sangat bersedih, sebentar-sebentar air matanya menetes. Ia benar-benar merasa kehilangan dan sangat sulit memercayai kejadian tersebut. Saya bisa berempati, merasakan apa yang ia rasakan, dengan cara masuk ke dalam situasinya. Saya bukannya membayangkan apa yang terjadi bila salah seorang saudara saya meninggal dunia. Situasi seperti itu tidak pararel dan tidak akan seimbang dengan apa yang ia alami. Alih-alih, saya membayangkan diri saya yang sedang bekerja jauh dari rumah, di sebuah tempat yang relatif asing bagi saya. Saya merasakan betapa beratnya merasakan duka sendirian di perantauan, di mana kita tak memiliki kesempatan yang cukup untuk berbagi perasaan dengan orang-orang terdekat kita.

Dengan melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, kita akan senantiasa diliputi perasaan cinta dan belas kasih yang tak pernah putus. Kita juga akan merasa bahwa sesungguhnya – terlepas dari begitu besarnya perbedaan di antara kita – kita adalah satu. Kita benar-benar merupakan suatu kesatuan. Inilah yang disebut cinta dan inilah sebenarnya hakikat spiritualitas.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan cerita menarik. Ini tentang seorang anak SD yang miskin bernama Joni yang hanya memiliki seorang sahabat di kelasnya. Joni sering diejek dan dihina teman-temannya. Suatu ketika menjelang ulang tahun Joni, sahabatnya membayangkan betapa hari itu akan merupakan hari yang paling menyedihkan bagi Joni. Betapa tidak, tak ada orang yang akan mengucapkan selamat ulang tahun. Tak ada kue ulang tahun, tak ada hadiah, tak ada yang peduli. Karena itu, si sahabat menceritakan hal ini kepada ibunya dengan harapan sang ibu dapat menolongnya.

Dan di hari berbahagia itu, sang ibu membuat kejutan. Ia muncul di pintu kelas anaknya sambil membawakan kue dengan lilin yang menyala, menyanyikan lagu ulang tahun kemudian menyalami Joni yang hanya tertegun meneteskan air mata menyaksikan kejutan tersebut. Berpuluh tahun kemudian peristiwa ini dikenang sahabatnya sebagai salah satu peristiwa yang paling indah dalam hidupnya. Ia mengatakan, ”Aku hampir tak bisa mengingat lagi nama teman-temanku yang ikut merayakan ulang tahun itu. Aku pun tak tahu lagi di mana Joni sekarang berada. Tapi setiap kali aku mendengar lagu yang sangat kukenal itu, aku ingat hari itu, saat nada-nadanya berbunyi sangat indah: di dalam suara Mama yang lembut, cahaya dalam mata seorang anak laki-laki dan kue yang paling manis.”
Sumber:
http//laxita.multiply.com/journal/item/61/kumpulan_tulisan_Arvan_PradiansyahSebuah_Definisi_CInta
Selengkapnya

Sebuah Renungan Akhir Tahun

oleh Arvan Pradiansyah

Seorang pejabat keluar dari sebuah hotel mewah. Ia baru saja menyelenggarakan seminar dan malam amal untuk mencari dana bagi anak-anak miskin yang berkeliaran di jalan. Ketika akan masuk ke mobil mewahnya, seorang anak jalanan mendekatinya dan merengek, ”Pak, minta uang sekadarnya. Sudah dua hari saya tidak makan.” Pejabat itu terkejut dan melompat menjauhi anak itu. ”Dasar anak keparat yang tak tahu diri!” teriaknya. ”Tak tahukah kamu bahwa sepanjang hari saya sudah bekerja sangat keras untukmu?

Pembaca yang budiman, kalau Anda ingin melakukan renungan di penghujung tahun ini, saya anjurkan Anda untuk merenungkan satu hal saja: ”Seberapa besar tingkat kepedulian Anda kepada sesama?” Dari skala 1 (sangat buruk) sampai dengan 5 (sangat baik), dimanakah posisi Anda? Jawabannya tak perlu Anda kemukakan, tapi cukup disimpan untuk diri Anda sendiri.

Mengapa saya menganjurkan Anda melakukan hal ini? Ini tak lain untuk kepentingan diri Anda sendiri. Selama Anda masih berkutat dengan diri sendiri, selama itu pula jiwa Anda tak akan pernah tumbuh. Kita hanya akan mengalami transformasi yang luar biasa begitu kita mulai memikirkan orang lain. Seorang pengarang, Joseph Campbell, mengatakan, ”Pada saat kita berhenti berpikir tentang diri kita sendiri, kita sebenarnya tengah mengalami perubahan hati nurani yang sungguh heroik.”

Hal ini mudah diucapkan tetapi amat sulit dilakukan. Para politisi kita amat royal melontarkan kata-kata ”demi kepentingan rakyat.” Seorang pejabat yang mengaku paling dekat dengan wong cilik kenyataannya malah menyakiti hati rakyat dengan tanpa malu-malu menghadiahkan dirinya sendiri rumah senilai 20 miliar. Para politisi lain juga tanpa malu -malu berlomba-lomba meluncurkan buku biografi politik yang dipenuhi kata-kata ”demi kepentingan rakyat.” Buku-buku biografi semacam ini sebenarnya merupakan ”pelecehan intelektual” belaka. Kenyataannya, amat sulit bagi kita menemukan kontribusi mereka bagi orang banyak.

Memikirkan orang lain memang sangat sulit dilakukan, apalagi di zaman sekarang. Setiap hari kita disibukkan dengan pekerjaan yang tak habis-habisnya. Namun sekadar memperhatikan diri Anda sendiri akan menghasilkan kesulitan yang cukup serius dalam jangka panjang. Anda akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan spiritual Anda. Banyak orang yang beranggapan bahwa hal ini adalah kewajiban. Mereka salah besar! Memperhatikan orang lain adalah kebutuhan Anda untuk menikmati hidup yang penuh makna. Memperhatikan orang lain adalah cara terbaik untuk mencapai hakikat kemanusiaan yang sejati.

Seorang filsuf terkemuka pernah mengatakan, ”Manusia dilahirkan dalam kondisi telanjang, dan ketika meninggal ia dibungkus kain kafan. Apakah hanya itu keuntungan yang ia dapatkan sepanjang hidupnya?” Sayangnya dunia kita sekarang telah begitu materialistisnya, sehingga banyak orang beranggapan bahwa perhatian tersebut bisa digantikan dengan uang. Padahal walaupun uang memang penting, ia tak akan pernah dapat menggantikan perhatian, pengertian, kehadiran dan kasih sayang.

Betapa banyak contoh yang bisa kita ambil dari kehidupan kita sehari-hari. Banyak anak yang tumbuh tanpa perhatian yang semestinya dari orang tua mereka. Banyak orang tua yang berdalih bahwa quality time jauh lebih penting ketimbang quantity time. Padahal, kasih sayang dan pengertian hanya akan terbina melalui proses yang perlahan-lahan dan membutuhkan banyak waktu. Betapa banyak para profesional yang cukup puas dengan memberikan sejumlah uang kepada orang tua mereka tanpa pernah mau tahu mengenai keadaan mereka yang sesungguhnya. Orang-orang seperti ini telah salah kaprah dalam memahami hidup seolah-olah segala sesuatunya bisa dibeli dengan uang.

Kahlil Gibran pernah mengatakan, ”Bila engkau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu. Bila engkau memberi dari dirimu itulah pemberian yang penuh arti.” Memberi tidak harus bernuansa materi. Bahkan memberikan perhatian sebenarnya jauh lebih berarti ketimbang memberikan materi yang sifatnya amat terbatas.

Cara menunjukkan kepedulian kita adalah dengan mendengarkan. Seorang anak pernah mengungkapkannya dengan sangat baik, ”Di masa pertumbuhanku, ayahku selalu menghentikan apa yang sedang dia kerjakan dan mendengarkanku saat aku begitu bersemangat menceritakan apa yang telah aku alami seharian.” Mendengarkan dengan benar adalah melupakan diri sendiri dan memberikan perhatian lahir dan batin yang tulus. Dengan mendengarkan kita dapat menangkap bukan hanya apa yang dikatakan tetapi juga apa yang dirasakan.

Mendengarkan amat penting untuk bisa memberikan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan orang lain, bahkan sekalipun mereka tidak mengatakannya. Kahlil Gibran pernah mengatakan, ”Adalah baik untuk memberi ketika diminta, tapi jauh lebih baik lagi jika memberi tanpa harus diminta.”

Sumber:http://www.resensi.net/sebuah-renungan-akhir-tahun/2006/12/31/
Selengkapnya

A Survivor’s story: Lance Armstrong (Bacaan yang belum selesai….)

Kamis, 10 Desember 2009


Ada untungnya juga berkantor dekat industri penerbitan, seperti Mizan di Cinambo Ujungberung. Kemarin (9/12/2009) saya membeli sejumlah buku dengan harga murah dalam suatu pesta buku di tempat tersebut. Salah satu buku yang saya beli “Survivor’s story”.
Buku yang berlabel diskon 40 persen itu ditulis pelakunya sendiri, Lance Armstrong dan wartawan Sally Jenkins. Buku itu sudah cukup lawas. Dahulu saya mengetahuinya melalui acara Oprah Winfrey Show di Metro TV. Ketika itu Oprah menghadirkan Lance Armstrong. Dengan mengenakan gelang bertuliskan livestrong, Lance mengisahkan kembali perjuangannya melawan kanker testikel di tahun 1996 dan bangkit dari keterpurukan menjadi pemuncak salah salah satu kegiatan olahraga yang paling berkelas “Tour d’France”. Menurut saya kisahnya sangat inspiratif mengajak orang untuk memotivasi diri sehebat mungkin.

Kini buku dengan cover pembalap sepeda tersebut berada di tangan saya. Tadi malam pelan-pelan saya buka. Halaman demi halaman. Saya memang memiliki kebiasaan melihat sekilas kualitas buku dari cover-nya. Kalau covernya sudah eye catching dan pesan yang ingin disampaikan buku terwakili oleh cover, itulah buku yang baik, menurut saya. Kembali pada isi buku.

Lance memandang bahwa masa lalu amat menentukan masa depan. Ia mengisahkan pengalaman masa kecilnya yang cukup rumit. Dibesarkan hanya oleh ibu, karena sejak usia dua tahun orang tuanya bercerai. Lance kecil tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Ia menyaksikan bagaimana ibunya mencari sesuap nasi dengan berpindah-pindah pekerjaan. Ibunya kemudian menikah seorang pria bernama Terry Armstrong. Ayah tirinya digambarkan sebagai sosok yang keras. Berkali-kali ia harus menghadapi cambukan ayahnya, jika lupa merapikan lemari baju, umpamanya. Rasa sakit akibat cambukan itu membuatnya semakin kuat. Di sinilah arti penting persentuhannya dengan dunia sepeda. Di tengah situasi yang kadang merampas hak kanak-kanaknya, Lance senang berseda. Ketika berada di atas pedal, ia sungguh merasakan kebebasan dan kemerdekaan. Ia bebas untuk mengayuhkan sepeda ke arah mana pun. Ia merdeka untuk memutuskan apakah harus berhenti atau terus melaju. Seakan beban dunia sirna sudah. Ayah tirinya kemudian diceraikan sang ibu, Linda, karena terlibat perselingkuhan. Perihal bapak genetiknya, Lance menganggapnya tidak lagi penting. Sang ayah biologis hanya menitipkan DNA dalam tubuhnya. Di luar itu, tidak ada hubungan apa-apa lagi. Lance sama sekali tidak berminat mengenalnya.

Lance menceritakan bagaimana pertemuannya dengan salah salah peyakit paling mematikan ‘kanker’. Bagaimana rasanya seseorang yang sedang berada di puncak prestasi, ketenaran, dan kelimpahan materi tiba-tiba harus berhadapan dengan kenyataan karir yang membesarkan namanya sudah tamat. Dalam suasana kalut tersebut yang diingatnya, bukan bagaimana kalau penyakit tersebut membuatnya meninggal, tetapi bagaimana kalau ia tidak bersepeda lagi. Menurut saya, inilah wujud dari kecintaan yang luar biasa terhadap profesinya. Baginya, yang lebih penting bukan “adanya” tapi “apanya”.

Saya memang belum tuntas membaca buku tersebut. Namun, ledakan yang hebat dari buku itu membuat saya pagi ini mengulas kisah yang belum selesai. Lihatlah ungkapan yang meletup-letup dari penggalan beberapa paragraf di buku ini:

 Orang-orang yang baik dan kuat terjangkit kanker, dan mereka melakukan segala hal yang benar untuk melakukannya, tetapi mereka tetap meninggal.
 Profesiku telah mengajariku untuk bersaing melawan ketidakmungkinan dan tantangan-tantangan besar.
 Pertanyaannya bukan bagaimana kanker telah mengubah dirimu, tetapi sejauh mana kanker tidak mengubah dirimu.
 Orang akan hidup, dengan berbagai cara yang paling menakjubkan.
 Ketika aku sakit, aku melihat lebih banyak keindahan, kemenangan, dan kebenaran setiap harinya dibandingkan saat aku masih berbalap sepeda.
 Para atlet, terutama pesepeda, selalu berada dalam pusaran penolakan atas semua rasa sakit dan nyeri, karena itulah yang kau butuhkan agar bisa menyelesaikan perlombaan.
 Setiap kali dia berkata, “Buatlah hambatan menjadi kesempatan, buatlah negatif menjadi positif”.

Bagi sahabat, saya sarankan membaca buku ini. Meski sudah cukup lama, spiritnya dapat mendorong kita untuk melalui kenyataan hari ini dan esok dengan kepala tegak dan jiwa besar. Mungkin akan ada kesulitan dan musibah yang kita hadapi kelak. Namun, yakinlah bahwa musibah itu sebenarnya merupakan ujian yang akan membuat E,S, I (emosional, spiritual, dan intelektual) kita “naik kelas”. Kualitas yang baik tidak akan terlihat tanpa ada ujian. Bukankah Tuhan berkata, “Kamu belum beriman hingga kamu diuji”. Jadi, seperti Lance, mari kita kepalkan tangan, munculkan keberanian, keteguhan hati, dan kesabaran. Live strong, live strong !!
Selengkapnya

Pengalaman Meneliti Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Kamis, 19 November 2009

Oleh : Iim Imadudin
(Diskusi “Peristiwa Rengas Dengklok” di Gedung Indonesia Menggugat, 25 Agustus 2009)

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan “fakta keras” (hardfact) yang tidak terbantahkan lagi. Sumber tertulis berupa dokumen, naskah otentik, dan catatan lainnya masih terarsipkan dengan rapi. Demikian pula, sumber-sumber lisan yang berkenaan dengan peristiwa itu masih dapat dijumpai. Orang-orang sezaman baik dalam kapasitasnya sebagai pelaku atau saksi sejarah dapat memberikan kesaksian, baik yang sifatnya kolektif maupun personal. Perayaan HUT RI setiap tahunnya diperingati untuk memperkokoh kesadaran berbangsa.

Masalahnya, tentu saja, revolusi nasional bagi anak bangsa merupakan otobiografi bersama. Bagi mereka yang mengalaminya selalu ada kenangan sentimentil yang tersimpan dalam ingatan. Pengalaman revolusi tertancap dengan kuat dalam memorinya. Demikian pula, bagi mereka yang terkena akibatnya. Ayah saya suatu ketika pernah berkata, “Dulu bapak (kakek saya) adalah ulama pejuang yang paling ditakuti Belanda”. “Berkali-kali ia hendak ditangkap, namun selalu berhasil meloloskan diri”. Saya mewariskan kenangan yang dialami kakek. Terdapat nilai-nilai sejarah yang tersambungkan melampaui beberapa generasi. Pernyataan itu suatu saat nanti akan saya sampaikan pula pada anak saya. Demikian seterusnya. Jadi, agak sulit juga memahami revolusi nasional sebagai “something out there” (sesuatu yang terjadi di luar sana), tanpa melibatkan perasaan.
Dalam kondisi demikian, terjadi pencampuradukkan antara sejarah sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi dengan mitos yang tumbuh sebagai hasrat kultural. Sejarah itu sesuatu yang ada di luar sana, bersifat objektif, dan beroperasi dalam jiwa zamannya. Mitos menempatkan peristiwa sebagai “Sesuatu yang ada di sini”, hangat, timeless, dan bagian dari kehidupan sosial. Mitos mendapat peneguhan secara hegemonik oleh kekuasaan. Misalnya, bagaimana peranan militer yang begitu menonjol dalam Sejarah Nasional VI yang sekarang (kabarnya) telah direvisi. Seolah-olah kelompok yang lain tidak turut pula memperjuangkan kemerdekaan.
Itulah sebabnya dalam penulisan sejarah perjuangan, keterlibatan emosional merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi. Sejarah memang harus ditulis secara objektif. Sejarah sejujur mungkin hendak merekam dan merekonstruksi pengalaman kolektif dan pribadi, namun juga berupaya “menemukan kembali” peristiwa (apa, siapa, dimana, dan bila) yang terkubur dalam impitan zaman (Abdullah, 2001: 98).
Ada “orang sumber” (resource person) yang mau menuturkan pengalamannya. Akan tetapi sebenarnya ia tidak cukup kredibel (mampu) untuk berbicara. Ia bercerita tentang sesuatu yang dialaminya, namun muskil benar-benar terlibat, karena ia belum lama lahir ketika peristiwa terjadi. Jadi, ia dapat dikategorikan sebagai “orang sumber” yang tidak cukup kredibel. Adapula seseorang yang dengan jabatannya sekarang merasa berkewajiban untuk bersaksi tentang pengalaman orang lain di masa lampau. Padahal ia tidak terlibat dalam suatu peristiwa. Kadang-kadang, tidak sedikit pula “orang sumber” yang berbicara dengan panjang lebar, namun ia tidak berjuang di ranah yang kita harapkan. Si A berjuang di daerah X, tetapi yang diceritakannya pengalaman di daerah Y. Dengan begitu, ia mencampuradukkan antara pemahaman yang dihayatinya dengan realitas objektif. Inilah salah satu kesulitan di lapangan apabila hendak merekam kesaksian “orang sumber” yang rata-rata sudah berusia uzur. Tidak sedikit karena merasa peristiwa ini harus disampaikan, tanpa terasa ia menambah-nambahkan keterangan melebihi apa yang sebenarnya ia perbuat. Oleh karena itu, kritik sumber amat diperlukan untuk menyeleksi mana informasi yang sahih, dan mana yang tidak akurat. Caranya, mencermati kelogisan alur cerita, konteks zaman, dan membandingkannya dengan sumber sezaman, yang sifatnya lisan maupun tulisan. Selain itu, seorang penulis harus membuat kriteria mana yang termasuk sumber primer dan mana yang sekunder. Hal ini dimaksudkan agar penulis memiliki skala prioritas dalam memberlakukan sumber.
Sebaliknya, ada “orang sumber” yang memiliki kredibilitas historis, namun tidak mau berbicara. Entah itu karena kepentingan untuk menjaga nilai-nilai sakral dalam perjuangannya atau kebungkaman yang terjadi karena tekanan politik yang memaksa. Pendeknya, ia tidak mau menyampaikan apa yang dialaminya. Ia merasa berharga jika kenangan itu hanya menjadi miliknya, selamanya.
Di atas segalanya, dalam kesaksian harus ada kejujuran sejarah. Kesediaan untuk berkisah tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bukan apa yang seharusnya terjadi. Kehendak untuk menyampaikan kebenaran secara objektif sebagaimana adanya.
Keinginan untuk menyampaikan kebenaran peristiwa sebagai suatu panggilan luhur, tentulah akan sangat dihargai. Banyak tokoh-tokoh yang telah menuliskan pengalamannya pada masa kemerdekaan. Cobalah cermati, bagaimana ia berkisah tentang perbenturan ideologinya dengan rival politiknya. Meski demikian, otobiografi semacam ini merupakan sumber penulisan sejarah yang penting. Penulis sejarah harus keluar terlebih dahulu dari bias-bias kepentingan individual (personal bias), kelompok (group prejudice), dan konflik ideologi agar menghasilkan interpretasi yang objektif. Objektivitas dalam penulisan sejarah mungkin tidak akan benar-benar tercapai. Minimal seorang penulis mendekati objektivitas sedekat-dekatnya. Leopold von Ranke boleh saja berkata, “Wie est eigentlich gewesen” (sejarah harus ditulis sebagaimana adanya). Namun, sejarah sebagai post eventum (kejadian masa lampau) hanya terjadi sekali, dan berada pada masa yang jauh dari kekinian. Berpikir objektif diiringi dengan kepekaan terhadap zeitgeist (jiwa zaman) kultuurgebundenheit (ikatan budaya) bukan saja akan menghasilkan tulisan yang baik, tetapi juga karya yang menarik.
Pada sisi tertentu, sumber lisan (kesaksian lisan) memiliki kelebihan dibandingkan dokumen. Sumber lisan mampu melestarikan kejadian secara detil dan psikologi pelaku dibandingkan dokumen yang sarat dengan kepentingan. Karenanya, ingatan bersifat sangat pribadi, subjektif, bebas (tidak ada yang memaksa untuk mengingat ini atau melupakan itu), dan otentik (Abdullah, 2001: 105).
Sejak metode sejarah lisan diperkenalkan dan digencarkan di tahun 1980-an, penulisan sejarah menjadi amat beragam. Kisah-kisah masa revolusi tidak lagi cerita tentang pertempuran-pertempuran. Kehidupan keseharian, interaksi sosial, perkembangan seni, adaptasi kreatif, dan seterusnya mendapatkan tempat yang memadai. Ibaratnya, sejarah lisan menjadi pendorong terjadinya egaliterisme dalam sejarah. Karena ternyata, sejarah bukan hanya miliknya para elit (greatman theory). Orang-orang biasa pun ternyata memiliki tempatnya sendiri dalam sejarah.
Perkembangan metode sejarah lisan tidak dapat dilepaskan dari genre sejarah yang lain, yakni sejarah lokal. Bahkan trend sejarah lokal sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Saya ingin menyebut salah satu problem dalam sejarah lokal adalah perjuangan kemerdekaan di daerah. Selama ini ada anggapan bahwa sejarah perjuangan kemerdekaan di daerah tidak lebih dari replika dari sejarah nasional. Seolah-olah hanya elit di Jakarta saja yang berjuang. Daerah-daerah dan lokalitas bersikap pasif, hanya menunggu perintah dari pusat. Suara-suara lokal tidak dipentingkan. Padahal dengan caranya sendiri local voice telah bergerak menyambut kemerdekaan. Sejak tahun 1980-an, pengkajian sejarah lokal, khususnya masa perjuangan, intens dilakukan. Ratusan wawancara dilakukan secara Spartan. Hasilnya terkumpul data-data baru yang menerangkan peran orang-orang lokal dalam sejarah kemerdekaan. Kegiatan inventarisasi sumber-sumber lisan yang dilakukan banyak lembaga kesejarahan menambah pengayaan sejarah nasional dari perspektif lokal.
Suatu perjalanan tentulah harus sampai di terminalnya. Hasil yang diharapkan dari pekerjaan penulis sejarah adalah tumbuhnya kesadaran sejarah. Kesadaran bahwa kekinian hadir di hadapan kita sebagai akibat adanya kelampauan yang mendahuluinya. Kesadaran bahwa bangsa ini telah menjalani pergumulan dalam pencarian identitasnya pada fase yang amat panjang. Di tengah-tengah keprihatinan terhadap kondisi kesekarangan kita, berpikir historis (thinking in time) menjadi penting artinya. Keinsyafan bahwa bangsa kita telah melalui banyak fase sejarah dapat dipelajari untuk merancang masa depan yang lebih baik. Ketika berbagai ideologi dan kepentingan global hilir-mudik dalam memori kolektif kita, identitas atau jati diri bangsa harus ditegaskan. Jangan sampai seperti kata pepatah, “bernafas di luar badan”. Inilah sebagian dari pengalaman pribadi menulis sejarah perjuangan kemerdekaan di beberapa daerah di Indonesia hampir sepuluh tahun lamanya. Terima kasih.****
Cibiru, 25 Agustus 2009
Selengkapnya

“Listrik adalah Sosialisme, Sosialisme adalah Listrik”

Selasa, 17 November 2009


Oleh : Iim Imadudin

Pernyataan di atas adalah amanat Bung Karno dalam Hari Listrik dan Gas pada tahun 1961. Bagi Bung Karno, listrik merupakan alat revolusi yang utama guna mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Pengadaan listrik yang memadai akan melancarkan roda revolusi yang menurut Bung Karno belum selesai. Tokoh proklamator itu memang piawai mereproduksikan istilah-istilah yang bombastis penuh bumbu retorika. Namun, akan menarik bila kita memahami alur pikir “bapak bangsa” yang merelasikan dua kata tersebut dalam satu nafas.
Kita sudah mafhum bahwa ketersedian listrik merupakan prasyarat utama bagi pembangunan. Listrik amat diperlukan bagi kehidupan sehari yang menjangkau semua sektor kehidupan: kebutuhan rumah tangga, pemerintahan, industri, dan lain-lain. Ketiadaan listrik bukan saja memacetkan roda pembangunan, namun juga menyangkut rasa tidak aman di waktu malam.
Cobalah sekarang berhitung berapa banyak barang-barang di rumah kita yang menggunakan jasa listrik. Bahkan mungkian kita berpikiran akan sangat sulit kehidupan kita tanpa listrik. Peradaban manusia akan kembali ke masa lalu ketika siang hari adalah masa bekerja dan malamnya beristirahat. Dengan adanya listrik siang dan malam pabrik-pabrik terus beroperasi, penyelia jasa pelayanan dapat berjalan. Listrik sudah mengkonstruksi sedemikian rupa budaya kita tentang waktu, tentang kehidupan, bahkan menyangkut kepercayaan yang individual sifatnya.
Masalah listrik adalah soal keberpihakan terhadap terhadap nasib rakyat. Industri strategis yang sebenarnya harus habis-habisan distabilkan karena merupakan kebutuhan orang banyak. Sekarang ketika pemerintah berencana menaikkan Tarif Dasar Listrik kita seakan disengat setrum bertegangan tinggi. Belum habis kekagetan dan ketergagapan terhadap naiknya harga-harga akibat kenaikan BBM, kita akan menghadapi kenyataan baru. Bagi pabrik-pabrik kenaikan BBM menyebabkan turunnya produksi yang segera diikuti dengan Pemutusan hubungan Kerja dalam jumlah yang signifikan. Demikian pula industri rumah tangga pelan-pelan gulung tikar. Bagimana jadinya jika TDL dinaikkan? Kita akan memasuki masa-masa dimana pemerintah tidak lagi dapat diharapkan mengurangi beban yang terus semakin berat. Kenaikan gaji lima persen bagi pegawai negeri tidak akan memberikan pengaruh yang berarti. Sementara gaji anggota DPR terus naik. Jika PNS sudah gembira dengan rencana kenaikan gaji lima puluh persen, nyatanya Cuma lima belas persen. Anggota DPR yang direncanakan tetap, pada kenyataan malah terus naik.
Pada saat yang sama kita dituntut untuk menghemat pemakaian listrik. Dalam iklan layanan masyarakat, pemerintah mengajak masyarakat untuk menghemat energi. Keteladanan hendaknya dimulai oleh para pegawai di kantor-kantor pemerintah. Penerangan listrik yang sering berlebihan sampai penggunaan komputer yang tidak efektif oleh para pegawai akibat terlalu banyak ngobrol ngalor ngidul mestinya dapat dikurangi.
Kita sebenarnya adalah bangsa dengan mental permisif yang besar. Pencurian listik secara semena-mena, misalnya, muncul lebih banyak karena rendahnya kesadaran ketimbangkan ketidaktahuan. Akan tetapi, hal demikian terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Kasus SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini lagi-lagi menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib anak bangsa. Para korban SUTET menjahit bibirnya berhari-hari tidak makan. Gambaran yang mengerikan yang hanya ada karya fiksi, hadir di hadapan kita. Jadilah, kini hadir teror SUTET.
Logika penguasa selalu rakyat yang bersalah. Otoritas PLN berujar bahwa rakyat yang tinggal di bawah SUTET aman karena tidak berbahaya bagi kesehatan. Padahal penelitian oleh perguruan tinggi merekomendasikan hal sebaliknya. Belum ledakan kelebihan daya listrik yang sangat mungkin terjadi pada malam hari. Namun, otoritas formal agaknya tidak bosan untuk menguatkan kebijakan yang telah diambilnya. Sebuah iklan layanan masyarakat versi pemerintah ditayangkan. Isinya, pengalaman masyarakat yang aman di bawah SUTET dan pendapat pakar yang mencoba meyakinkan pemirsa.
Listrik dibangkitkan oleh sumber-sumber air yang melimpah di wilayah republik ini. Mau bukti betapa air melimpah ruah, lihatlah banjir tahunan yang merata di Jawa dan wilayah lainnya. Sekarang mulai dirasakan terjadinya krisis energi. Ada perilaku budaya kita yang seenaknya sendiri dan tidak berpikir kehidupan generasi mendatang.
Beberapa diantara kita mungkin alergi dengan jargon sosialisme, bahkan mungkin memusuhinya. Sebagian yang lain menjadikannya menjadi semacam jalan hidup. Mestinya pernyataan Bung Karno tidak lantas dipahami secara literer. Namun penting dilihat semangat keberpihakannya yang total kepada rakyat. Pertanyaannya, rakyat yang mana? Ya, tentu rakyat yag secara sadar memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga negara, yakni anak bangsa yang mestinya disejahterakan dan disuburkan rasa kebangsaannya. Memang Bung Karno adalah pemikir besar yang tidak terlalu peduli dengan detail-detail. Namun, pemimpin bangsa manapun agaknya sadar menciptakan welfare state harus dimulai dengan memahami aspirasi dan gejolak psikologi rakyat. Dengan begitu, pembangunan tidak akan melenceng dari landasannya.
Tapi untunglah kehidupan yang semakin susah di negeri tidak menggerakkan anak bangsanya mencipta sebuah revolusi. Memang dimana-mana muncul demonstrasi, namun tidak cukup menumbuhkan benih-benih kekerasan sosial yang meluas. Bangsa ini memang pemaaf dan santun. Bangsa yang lebih suka menyukai cara-cara damai, dan bukan anarkisme. Demikian kata literasi zaman Orde Baru. Sekarang jika terjadi demonstrasi, hanya sekelompok kecil orang yang aksinya tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kestabilan pemerintahan. Dahulu kita berkata, “Kami cinta perdamaian, namun lebih cinta kemerdekaan”. Sebuah ungkapan yang sejujurnya mencerminkan kehendak untuk menjadi individu dan masyarakat yang berdaulat. Mudah-mudahan pemerintah menggunakan logika hati nurani ketimbang desakan-desakan ekonomi kapitalistik semata. Di tengah-tengah kegelapan (akibat seringnya mati listrik), mudah-mudahan hati dan pikiran kita selalu terang****
Selengkapnya

“Dongeng Sejarah” dan Kesadaran Sejarah

Jumat, 02 Oktober 2009


Rabu (30/9/09) saya berkesempatan menjadi juri Lomba “Dongeng Sejarah” di Gedung PGRI Kab. Bandung. Penyelenggaranya adalah Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung.
Lomba dibagi dalam tiga level: SD, SMP, dan SMA. Secara akademik, istilah “dongeng sejarah” merupakan contradiction in terminis alias kerancuan dalam peristilahan. Sejarah sebagai fakta disatunafaskan dengan fiksi. Kenyataannya, memang, konsepsi sejarah pada tingkatan akademis dan masyarakat tidaklah sama. Pada tingkat masyarakat, sejarah memang dekat sekali dengan sesuatu yang bernuansa dongeng. Itulah sebabnya, Kang Jay (Kasie Sejarah Disdik Kab. Bandung), agaknya memprovokasi berbagai stake holder di dunia pendidikan Kab. Bandung dengan istilah “dongeng sejarah”. Tujuannya tiada lain, menanamkan kecintaan dan kesadaran sejarah di kalangan pelajar. Mungkin ke depan, harus dipikirkan satu peristilahan yang lebih pas.
Pada level SMP, jumlah peserta cukup banyak mencapai 36 orang. Masing-masing peserta dengan ciri khasnya masing-masing. Ada yang fokus pada kemampuan klasik mendongeng, yaitu bercerita, dan adapula yang menggunakan alat peraga. Ada yang mendongeng datar-datar saja, dan adapula yang mendongeng sambil bersedih hati. Seolah seluruh cerita sang pahlawan penuh dengan duka lara. Ada juga yang mendongeng dengan gaya komedi. Keberagaman penampilan menunjukkan bahwa kita sesungguhnya memiliki mutiara-mutiara terpendam yang harus terus dibina.
Ada banyak catatan plus- minus tentang kegiatan tersebut. Namun, yang ingin saya garisbawahi, adalah masih amat terbatasnya wawasan peserta dan pembimbingnya tentang sosok pahlawan dan pejuang di Jawa Barat. Pahlawan yang sudah diresmikan melalui SK Presiden dan pejuang yang banyak tersebar di berbagai pelosok Jawa Barat. Hampir separuhnya mendongeng sosok ibu Dewi Sartika. Bahkan Sembilan puluh persen, peserta mengangkat pahlawan Dewi Sartika dan Otto Iskandar Dinata. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap tokoh sejarah di Jawa Barat masih harus ditingkatkan. Untuk itu, berbagai pihak terkait: unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bersinergi untuk meningkatkan kesadaran sejarah bukan hanya generasi muda, tapi masyarakat seluruhnya. Tujuannya, agar kita tidak pareumeun obor dan mampu menghayati nilai-nilai perjuangan para pendahulu kita.
Selengkapnya

Bunga Tidak Pernah Bersuara

Rabu, 16 September 2009

Oleh: Gede Prama

Riuh, ribut, demikianlah kira-kira suasana komunikasi antarmanusia pada tahun 2009. Mantan Presiden AS George W Bush mengakhiri jabatannya dengan dilempar sepatu. Negeri ini juga riuh serta ribut urusan presiden dan pemilu.
Di tengah-tengah suhu komunikasi yang memanas ini, ada indahnya bila sekali-sekali sepi-sunyi yang mengemuka. Bukan sebagai lawan keributan. Hanya mengemuka seperti menarik napas dalam-dalam sekali waktu setelah lama tidak merasakan segarnya kehidupan.
Dalam menelusuri segarnya kehidupan, ada dua jalur yang tersedia. Ada yang berjalan dengan intelektualitas, ada yang melangkah di jalan-jalan bakti (devotion). Pada pendekatan pertama, semuanya dianalisis. Itu sebabnya para master meminta penekun meditasi di Barat (yang kebanyakan berjalan di jalan intelektualitas) segera merealisasikan kekosongan (emptiness).
Begitu mengalami langsung kekosongan (bukan mengerti melalui intelek) baru bisa mengagumi sepi-sunyi. Di jalan bakti, tidak diperlukan terlalu banyak perdebatan. Yang ada hanya bakti yang tulus, penuh sujud, rasa hormat yang mendalam. Dan ujung-ujungnya sama, mengalami kekosongan.
Dalam bahasa seorang guru yang sudah sampai di puncak, lakukan terus-menerus bakti. Sampai di sebuah titik sehingga yang memberi, yang diberi, maupun pemberian sesungguhnya tidak ada. Itulah sepi-sunyi.
Sembah rasa
Di Timur dulunya kebanyakan manusia berjalan di jalan-jalan bakti. Itu sebabnya berdoa dipadankan dengan sembahyang. Ada kata sembah di sana. Awalnya memang dimulai dengan dualitas antara penyembah dan yang disembah, tetapi kemudian keduanya menjadi satu, serta ujungnya yang satu pun lenyap dalam keheningan.
Dan, semua sembah mulai dengan sembah raga. Namun, karena badan terbuat dari bahan-bahan yang bertentangan (air-api, tanah-udara), banyak manusia yang hanya menggunakan sembah raga kemudian mengalami guncangan-guncangan. Seberguncang bahan-bahan yang membentuk tubuh. Dari sinilah lahir kebutuhan melakukan sembah rasa. Di mana lebih dari sekadar menggunakan raga, badan mulai dibimbing oleh getaran-getaran rasa.
Bukan rasa suka yang bertentangan dengan duka, bukan suci yang diseberangkan dengan kotor. Melainkan rasa yang memeluk mesra semuanya. Seperti seorang ibu yang merawat putra tunggalnya. Tatkala putranya tersenyum, ia gendong. Manakala putranya menangis sambil menyisakan kotoran di tempat tidur, lagi-lagi ia gendong putranya dengan penuh kasih sayang. Sembah rasa juga serupa, belajar tersenyum pada apa saja yang datang dalam kehidupan. Sebagai hasilnya, hidup berputar lentur bersamaan dengan irama alam. Siang tersenyum pada cahaya terang dengan jalan bekerja. Malam berpelukandengan kegelapan melalui istirahat di tempat tidur.
Di jalan ini, semuanya menjadi sembahyang. Tatkala makan, maka makanlah dengan penuh rasa syukur. Pada hari yang sama ada jutaan manusia kelaparan. Ketika menyapu, menyapulah sambil bersiul. Pada menit yang sama ada jutaan manusia sakit di rumah sakit.
Bila begini caranya, every act is a rite. Setiap langkah adalah sembah. Puisi Jalalludin Rumi menjadi wakil dalam hal ini. Hidup serupa bawang merah. Di luar kotor kecoklatan. Tatkala dibuka jadi putih. Semakin dibuka semakin putih. Tambah dibuka tambah putih. Dan, tatkala tidak ada lagi yang bisa dibuka, yang tersisa hanya air mata yang meleleh.
Sembah rahasia
Ia yang sudah berjalan jauh dengan sembah rasa, suatu waktu akan melihat bila alam menyimpan banyak rahasia. Di Timur, Tantra adalah salah satu jalan rahasia. Tidak banyak orang yang bisa membuka pintu Tantra. Di samping berat juga berbahaya. Ada yang mengandaikan Tantra dengan jalan tol yang cepat sampainya. Namun, mengalami kecelakaan di jalan tol amat sangat berbahaya.
Itu sebabnya ada yang membagi perjalanan Tantra ke dalam tiga gerbang. Kehidupan diandaikan dengan pohon beracun karena banyak godaannya. Pada tahap pertama, manusia disuruh menjauh dari pohon beracun. Makanya banyak imbauan melakukan puasa, pengendalian diri, hidup berkecukupan, penuh rasa syukur. Begitu lewat gerbang pertama yang ditandai oleh kemampuan menguasai diri (self mastery) yang baik, kemudian di langkah kedua murid akan diminta untuk menjadi penjaga pohon beracun. Mulailah seorang penekun menjadi ”penggembala domba” bagi banyak kehidupan.
Ada yang jadi guru, penulis, pemimpin upacara, pemimpin yang jujur. Intinya satu, menjaga jangan sampai terlalu banyak kehidupan keracunan. Begitu jam terbang menjadi penggembala domba sudah cukup, baru boleh masuk ke inti sari Tantra: mengolah racun menjadi obat kehidupan. Makanya, bila di kebanyakan jalur hawa nafsu dilarang, di Tantra ada pendekatan menggunakan hawa nafsu (khususnya seks) sebagai kendaraan transformasi spiritual. Bukan untuk dibawa hanyut oleh nafsu, tetapi menghanguskan nafsu dengan nafsu. Itu sebabnya di banyak tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, India, dan Amerika Latin banyak peninggalan-peninggalan tua yang memamerkan hubungan seksual. Di Bali disebut lingga-yoni, nyegara-gunung. Siapa saja yang sudah membumihanguskan semua keinginan (termasuk keinginan menjadi suci atau tercerahkan), ia mulai belajar melihat rahasianya rahasia.
Persembahan di banyak tradisi (tidak saja di Bali) sering kali berisi bunga. Di sejumlah Negara (seperti Jepang) bahkan menempatkan bunga secara amat istimewa. Seperti ada rahasia di sana. Bunga mekar mewakili keindahan. Namun, seberapa indah pun bunga, beberapa waktu kemudian harus ikhlas menjadi sampah. Dan, baik tatkala diberi sebutan indah maupun sebutan sampah, bunga tidak pernah bicara. Siapa yang hidupnya mengalir sempurna dari bunga (sukses, dipuja) menjadi sampah (gagal, dicerca), kemudian (bila bisa mengolahnya) menjadi bunga lagi, ia sudah membuka salah satu pintu rahasia.
Seorang guru yang sudah sampai di sini pernah menulis: Physical isolation is not the true solitude. Totally free from any grasping, that’s the true solitude. Lepas bebas dari segala kemelekatan (baik-buruk, benar-salah), itulah keheningan sesungguhnya.
Ada yang bertanya, bila sudah lepas-bebas, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru berbisik kepada muridnya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti ibu pertiwi. Langit memayungi semuanya, ibu pertiwi bertindak ketat mengikuti hukum alam. Bila menanam jagung, buahnya jagung. Kalau memelihara kelapa, buahnya kelapa. Selamat Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1931.
Sumber: Harian Kompas, Rabu 25 Maret 2009
Selengkapnya