Kamis, 06 Agustus 2009
Oleh Iim Imadudin
Ketika tidak ada jalan keluar, darimanakah orang-orang muda mendapat ilham untuk melakukan radikalisasi? Mereka yang dibesarkan dari rahim sejarah mengapa begitu bebas melawan ibu kandung zamannya? Kedua pertanyaan tersebut mungkin sangat teleologis, karena mencoba mencari jawab pada level permukaan terhadap sesuatu yang sebetulnya berakar tunggang sangat kuat. Pemuda sesuai dengan sebutannya tumbuh dalam masa transisi menuju fase pendewasaan. Dalam fase tersebut pemuda mengalami pergolakan secara emosional dan intelektual.
Yozar Anwar pernah menulis buku “Para Pemuda Pemberang” tentang gerakan Mahasiswa tahun 1966. Ahmad Wahib, perintis gerakan pembaharuan Islam dibukukan catatan hariannya menjadi “Pergolakan Pemikiran Islam” yang sangat menghebohkan itu. Soe Hock Gie, aktivis 1966 yang dulu jarang disebut namanya, catatan hariannya dikumpulkan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran”. Masih banyak lagi buku yang pernah ditulis tentang orang muda dengan semangat yang sama. Pemuda itu radikal (juga cerdas), bebas, dan berani.
Sekarang ketika ruang aktualisasi diri makin menyempit dapatkah kita berharap adanya Gie dan Wahib baru? Dahulu kita berhadapan dengan tantangan zaman yang kasat mata, yaitu rezim tiran yang berkuasa, otoritas pemegang kebenaran, dan politisasi orang muda. Sekarang musuh-musuh yang tidak tampak menumpang dalam gerbong ideologi, kekuatan politik dan pasar. Orang muda terpaksa bertarung seperti melawan bayangan. Kekuatan kapitalisme yang merambah bidang yang begitu luas memaksa pemuda memiskinkan imajinasi sosialnya. Imajinasi sosial ialah semacam sensitivitas terhadap lingkungan bagaimana kita memberikan interpretasi yang manusiawi terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. Maka pada saat budaya popular makin memandulkan kreativitas orang muda, pemuda harus menemukan identitasnya dan merumuskan tantangan zamannya.****
Cinambo, 15 Nopember 2005
Selengkapnya
Ketika tidak ada jalan keluar, darimanakah orang-orang muda mendapat ilham untuk melakukan radikalisasi? Mereka yang dibesarkan dari rahim sejarah mengapa begitu bebas melawan ibu kandung zamannya? Kedua pertanyaan tersebut mungkin sangat teleologis, karena mencoba mencari jawab pada level permukaan terhadap sesuatu yang sebetulnya berakar tunggang sangat kuat. Pemuda sesuai dengan sebutannya tumbuh dalam masa transisi menuju fase pendewasaan. Dalam fase tersebut pemuda mengalami pergolakan secara emosional dan intelektual.
Yozar Anwar pernah menulis buku “Para Pemuda Pemberang” tentang gerakan Mahasiswa tahun 1966. Ahmad Wahib, perintis gerakan pembaharuan Islam dibukukan catatan hariannya menjadi “Pergolakan Pemikiran Islam” yang sangat menghebohkan itu. Soe Hock Gie, aktivis 1966 yang dulu jarang disebut namanya, catatan hariannya dikumpulkan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran”. Masih banyak lagi buku yang pernah ditulis tentang orang muda dengan semangat yang sama. Pemuda itu radikal (juga cerdas), bebas, dan berani.
Sekarang ketika ruang aktualisasi diri makin menyempit dapatkah kita berharap adanya Gie dan Wahib baru? Dahulu kita berhadapan dengan tantangan zaman yang kasat mata, yaitu rezim tiran yang berkuasa, otoritas pemegang kebenaran, dan politisasi orang muda. Sekarang musuh-musuh yang tidak tampak menumpang dalam gerbong ideologi, kekuatan politik dan pasar. Orang muda terpaksa bertarung seperti melawan bayangan. Kekuatan kapitalisme yang merambah bidang yang begitu luas memaksa pemuda memiskinkan imajinasi sosialnya. Imajinasi sosial ialah semacam sensitivitas terhadap lingkungan bagaimana kita memberikan interpretasi yang manusiawi terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. Maka pada saat budaya popular makin memandulkan kreativitas orang muda, pemuda harus menemukan identitasnya dan merumuskan tantangan zamannya.****
Cinambo, 15 Nopember 2005