“Menjadi Muslim tanpa Mesjid”

Selasa, 04 Agustus 2009

Oleh Iim Imadudin

Pada berita infotainment di salah satu televisi swasta pagi ini terberitakan grup band Dewa yang sedianya bakal manggung dicekal masuk ke Brunei Darussalam. Belum ada alasan resmi menyangkut pencekalan tersebut. Ahmad Dani, pentolan grup band tersebut, menduga pencekalan itu ada kaitannya dengan ideologi pluralisme Dewa yang mengakui aliran-aliran dan keyakinan-keyakinan yang berbeda. Saya menduga kegagalan Dewa manggung berkaitan dengan informasi yang disampaikan pihak-pihak di Indonesia yang tidak menyukai pluralisme Dewa kepada otoritas Brunei.

Bukan sekali dua kali Ahmad Dani membuat sensasi. Pertikaiannya dengan Front Pembela Islam bermula ketika pemakaian stiker berlogo Allah dijadikan alas panggung Dewa berujung dengan protes dan penghujatan. Konflik berakhir setelah Dani meminta maaf dalam sebuah forum yang dimediasi MUI.

Dani beranggapan bahwa seorang muslim berhak melakukan ijtihad dalam keberagamaannya. Oleh karena itu, perbedaan dalam menginterpretasikan nash-nash agama menjadi sah-sah saja. Tidak ada otoritas yang memonopoli kebenaran dalam beragama, karena merupakan wilayah pribadi dalam hubungan individu dengan Tuhannya. Sebagai seorang yang sangat mengagumi Gus Dur –setidaknya kalau ia bukan seorang Gus Durian- ia terinspirasikan oleh pandangan keagamaan Gus Dur yang inklusif dan pluralis.

Kembali kepada judul tulisan ini “Menjadi Muslim tanpa Mesjid” merefleksikan tumbuhnya generasi muslim baru. “Menjadi Muslim tanpa Mesjid” adalah judul kumpulan tulisan Kuntowijoyo yang secara umum melihat adanya kecenderungan sebagian orang muda Islam untuk berpikiran liberal dalam memahami teks-teks keagamaan. Kunto mengambil contoh kemunculan Ulil Abshar Abdalla dengan Jaringan Islam Liberal-nya berkaitan dengan kejenuhan dengan tafsir keagamaan yang monolitik dan dominatif.

“Menjadi Muslim tanpa Mesjid” merupakan dekonstruksi terhadap pandangan lama. Hanya orang dengan latar belakang pendidikan agama formal atau pesantren saja yang berhak dirujuk dalam memahami ajaran agama. Bahkan dahulu seorang haji meski minim pengetahuan agamanya lantas dijadikan ustadz, kyai, atau sejenisnya. Otoritas beragama lebih sering karena penampilan simbol-simbolnya, bukan substansinya.

Sekarang ketika perkembangan ilmu pengetahuan sekular dan pengetahuan agama berkembang secara beriringan, otoritas makin meredup. Dahulu hanya mereka yang berpredikat ulama yang berhak menjadi panutan dalam beragama. Bukankah “Al-Ulama waratsatul anbiya” (ulama pewaris para nabi). Sekarang tiap orang dapat membebaskan dirinya dari dominasi pemikiran lama. Seorang Dani yang berwatak humanis (karena ia pemuja Gibran) dan sekular dapat dengan bebas berganti-ganti simbol. Memakai gamis dalam sebuah konser baginya hanya atribut biasa saja untuk menunjang performance atau menyesuaikan dengan tema lagu-lagu andalan Dewa. Tidak ada hubungannya dengan keyakinan tertentu.

Apakah ini kecenderungan yang positif atau negatif? Biarlah waktu yang menentukannya. Penghakiman terhadap model ijtihad baru itu hanya akan menumpuk persoalan umat. Penindasan massal terhadap kecenderungan pemikiran tersebut menjadi kontraproduktif bagi berkembangnya pemikiran alternatif di kalangan umat. Sepanjang generasi baru Islam mampu mengkreasikan dirinya dalam perkembangan baru tanpa harus kehilangan identitas kemuslimannya justru harus diberi ruang seluas-luasnya. Nabi Muhammad yang mulia pernah bersabda, “Sesuatu yang hilang dalam umat adalah hikmah, maka carilah dimanapun ia berada”. Lagipula Rasul yang agung berkata, “Jika kita berijtihad, kemudian benar, maka pahalanya dua. Akan tetapi, jika ijtihadnya salah, pahalanya satu”.****
Cinambo, 25 Oktober 2005

0 komentar:

Posting Komentar