Pengalaman Meneliti Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Kamis, 19 November 2009

Oleh : Iim Imadudin
(Diskusi “Peristiwa Rengas Dengklok” di Gedung Indonesia Menggugat, 25 Agustus 2009)

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan “fakta keras” (hardfact) yang tidak terbantahkan lagi. Sumber tertulis berupa dokumen, naskah otentik, dan catatan lainnya masih terarsipkan dengan rapi. Demikian pula, sumber-sumber lisan yang berkenaan dengan peristiwa itu masih dapat dijumpai. Orang-orang sezaman baik dalam kapasitasnya sebagai pelaku atau saksi sejarah dapat memberikan kesaksian, baik yang sifatnya kolektif maupun personal. Perayaan HUT RI setiap tahunnya diperingati untuk memperkokoh kesadaran berbangsa.

Masalahnya, tentu saja, revolusi nasional bagi anak bangsa merupakan otobiografi bersama. Bagi mereka yang mengalaminya selalu ada kenangan sentimentil yang tersimpan dalam ingatan. Pengalaman revolusi tertancap dengan kuat dalam memorinya. Demikian pula, bagi mereka yang terkena akibatnya. Ayah saya suatu ketika pernah berkata, “Dulu bapak (kakek saya) adalah ulama pejuang yang paling ditakuti Belanda”. “Berkali-kali ia hendak ditangkap, namun selalu berhasil meloloskan diri”. Saya mewariskan kenangan yang dialami kakek. Terdapat nilai-nilai sejarah yang tersambungkan melampaui beberapa generasi. Pernyataan itu suatu saat nanti akan saya sampaikan pula pada anak saya. Demikian seterusnya. Jadi, agak sulit juga memahami revolusi nasional sebagai “something out there” (sesuatu yang terjadi di luar sana), tanpa melibatkan perasaan.
Dalam kondisi demikian, terjadi pencampuradukkan antara sejarah sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi dengan mitos yang tumbuh sebagai hasrat kultural. Sejarah itu sesuatu yang ada di luar sana, bersifat objektif, dan beroperasi dalam jiwa zamannya. Mitos menempatkan peristiwa sebagai “Sesuatu yang ada di sini”, hangat, timeless, dan bagian dari kehidupan sosial. Mitos mendapat peneguhan secara hegemonik oleh kekuasaan. Misalnya, bagaimana peranan militer yang begitu menonjol dalam Sejarah Nasional VI yang sekarang (kabarnya) telah direvisi. Seolah-olah kelompok yang lain tidak turut pula memperjuangkan kemerdekaan.
Itulah sebabnya dalam penulisan sejarah perjuangan, keterlibatan emosional merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi. Sejarah memang harus ditulis secara objektif. Sejarah sejujur mungkin hendak merekam dan merekonstruksi pengalaman kolektif dan pribadi, namun juga berupaya “menemukan kembali” peristiwa (apa, siapa, dimana, dan bila) yang terkubur dalam impitan zaman (Abdullah, 2001: 98).
Ada “orang sumber” (resource person) yang mau menuturkan pengalamannya. Akan tetapi sebenarnya ia tidak cukup kredibel (mampu) untuk berbicara. Ia bercerita tentang sesuatu yang dialaminya, namun muskil benar-benar terlibat, karena ia belum lama lahir ketika peristiwa terjadi. Jadi, ia dapat dikategorikan sebagai “orang sumber” yang tidak cukup kredibel. Adapula seseorang yang dengan jabatannya sekarang merasa berkewajiban untuk bersaksi tentang pengalaman orang lain di masa lampau. Padahal ia tidak terlibat dalam suatu peristiwa. Kadang-kadang, tidak sedikit pula “orang sumber” yang berbicara dengan panjang lebar, namun ia tidak berjuang di ranah yang kita harapkan. Si A berjuang di daerah X, tetapi yang diceritakannya pengalaman di daerah Y. Dengan begitu, ia mencampuradukkan antara pemahaman yang dihayatinya dengan realitas objektif. Inilah salah satu kesulitan di lapangan apabila hendak merekam kesaksian “orang sumber” yang rata-rata sudah berusia uzur. Tidak sedikit karena merasa peristiwa ini harus disampaikan, tanpa terasa ia menambah-nambahkan keterangan melebihi apa yang sebenarnya ia perbuat. Oleh karena itu, kritik sumber amat diperlukan untuk menyeleksi mana informasi yang sahih, dan mana yang tidak akurat. Caranya, mencermati kelogisan alur cerita, konteks zaman, dan membandingkannya dengan sumber sezaman, yang sifatnya lisan maupun tulisan. Selain itu, seorang penulis harus membuat kriteria mana yang termasuk sumber primer dan mana yang sekunder. Hal ini dimaksudkan agar penulis memiliki skala prioritas dalam memberlakukan sumber.
Sebaliknya, ada “orang sumber” yang memiliki kredibilitas historis, namun tidak mau berbicara. Entah itu karena kepentingan untuk menjaga nilai-nilai sakral dalam perjuangannya atau kebungkaman yang terjadi karena tekanan politik yang memaksa. Pendeknya, ia tidak mau menyampaikan apa yang dialaminya. Ia merasa berharga jika kenangan itu hanya menjadi miliknya, selamanya.
Di atas segalanya, dalam kesaksian harus ada kejujuran sejarah. Kesediaan untuk berkisah tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bukan apa yang seharusnya terjadi. Kehendak untuk menyampaikan kebenaran secara objektif sebagaimana adanya.
Keinginan untuk menyampaikan kebenaran peristiwa sebagai suatu panggilan luhur, tentulah akan sangat dihargai. Banyak tokoh-tokoh yang telah menuliskan pengalamannya pada masa kemerdekaan. Cobalah cermati, bagaimana ia berkisah tentang perbenturan ideologinya dengan rival politiknya. Meski demikian, otobiografi semacam ini merupakan sumber penulisan sejarah yang penting. Penulis sejarah harus keluar terlebih dahulu dari bias-bias kepentingan individual (personal bias), kelompok (group prejudice), dan konflik ideologi agar menghasilkan interpretasi yang objektif. Objektivitas dalam penulisan sejarah mungkin tidak akan benar-benar tercapai. Minimal seorang penulis mendekati objektivitas sedekat-dekatnya. Leopold von Ranke boleh saja berkata, “Wie est eigentlich gewesen” (sejarah harus ditulis sebagaimana adanya). Namun, sejarah sebagai post eventum (kejadian masa lampau) hanya terjadi sekali, dan berada pada masa yang jauh dari kekinian. Berpikir objektif diiringi dengan kepekaan terhadap zeitgeist (jiwa zaman) kultuurgebundenheit (ikatan budaya) bukan saja akan menghasilkan tulisan yang baik, tetapi juga karya yang menarik.
Pada sisi tertentu, sumber lisan (kesaksian lisan) memiliki kelebihan dibandingkan dokumen. Sumber lisan mampu melestarikan kejadian secara detil dan psikologi pelaku dibandingkan dokumen yang sarat dengan kepentingan. Karenanya, ingatan bersifat sangat pribadi, subjektif, bebas (tidak ada yang memaksa untuk mengingat ini atau melupakan itu), dan otentik (Abdullah, 2001: 105).
Sejak metode sejarah lisan diperkenalkan dan digencarkan di tahun 1980-an, penulisan sejarah menjadi amat beragam. Kisah-kisah masa revolusi tidak lagi cerita tentang pertempuran-pertempuran. Kehidupan keseharian, interaksi sosial, perkembangan seni, adaptasi kreatif, dan seterusnya mendapatkan tempat yang memadai. Ibaratnya, sejarah lisan menjadi pendorong terjadinya egaliterisme dalam sejarah. Karena ternyata, sejarah bukan hanya miliknya para elit (greatman theory). Orang-orang biasa pun ternyata memiliki tempatnya sendiri dalam sejarah.
Perkembangan metode sejarah lisan tidak dapat dilepaskan dari genre sejarah yang lain, yakni sejarah lokal. Bahkan trend sejarah lokal sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Saya ingin menyebut salah satu problem dalam sejarah lokal adalah perjuangan kemerdekaan di daerah. Selama ini ada anggapan bahwa sejarah perjuangan kemerdekaan di daerah tidak lebih dari replika dari sejarah nasional. Seolah-olah hanya elit di Jakarta saja yang berjuang. Daerah-daerah dan lokalitas bersikap pasif, hanya menunggu perintah dari pusat. Suara-suara lokal tidak dipentingkan. Padahal dengan caranya sendiri local voice telah bergerak menyambut kemerdekaan. Sejak tahun 1980-an, pengkajian sejarah lokal, khususnya masa perjuangan, intens dilakukan. Ratusan wawancara dilakukan secara Spartan. Hasilnya terkumpul data-data baru yang menerangkan peran orang-orang lokal dalam sejarah kemerdekaan. Kegiatan inventarisasi sumber-sumber lisan yang dilakukan banyak lembaga kesejarahan menambah pengayaan sejarah nasional dari perspektif lokal.
Suatu perjalanan tentulah harus sampai di terminalnya. Hasil yang diharapkan dari pekerjaan penulis sejarah adalah tumbuhnya kesadaran sejarah. Kesadaran bahwa kekinian hadir di hadapan kita sebagai akibat adanya kelampauan yang mendahuluinya. Kesadaran bahwa bangsa ini telah menjalani pergumulan dalam pencarian identitasnya pada fase yang amat panjang. Di tengah-tengah keprihatinan terhadap kondisi kesekarangan kita, berpikir historis (thinking in time) menjadi penting artinya. Keinsyafan bahwa bangsa kita telah melalui banyak fase sejarah dapat dipelajari untuk merancang masa depan yang lebih baik. Ketika berbagai ideologi dan kepentingan global hilir-mudik dalam memori kolektif kita, identitas atau jati diri bangsa harus ditegaskan. Jangan sampai seperti kata pepatah, “bernafas di luar badan”. Inilah sebagian dari pengalaman pribadi menulis sejarah perjuangan kemerdekaan di beberapa daerah di Indonesia hampir sepuluh tahun lamanya. Terima kasih.****
Cibiru, 25 Agustus 2009
Selengkapnya

“Listrik adalah Sosialisme, Sosialisme adalah Listrik”

Selasa, 17 November 2009


Oleh : Iim Imadudin

Pernyataan di atas adalah amanat Bung Karno dalam Hari Listrik dan Gas pada tahun 1961. Bagi Bung Karno, listrik merupakan alat revolusi yang utama guna mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Pengadaan listrik yang memadai akan melancarkan roda revolusi yang menurut Bung Karno belum selesai. Tokoh proklamator itu memang piawai mereproduksikan istilah-istilah yang bombastis penuh bumbu retorika. Namun, akan menarik bila kita memahami alur pikir “bapak bangsa” yang merelasikan dua kata tersebut dalam satu nafas.
Kita sudah mafhum bahwa ketersedian listrik merupakan prasyarat utama bagi pembangunan. Listrik amat diperlukan bagi kehidupan sehari yang menjangkau semua sektor kehidupan: kebutuhan rumah tangga, pemerintahan, industri, dan lain-lain. Ketiadaan listrik bukan saja memacetkan roda pembangunan, namun juga menyangkut rasa tidak aman di waktu malam.
Cobalah sekarang berhitung berapa banyak barang-barang di rumah kita yang menggunakan jasa listrik. Bahkan mungkian kita berpikiran akan sangat sulit kehidupan kita tanpa listrik. Peradaban manusia akan kembali ke masa lalu ketika siang hari adalah masa bekerja dan malamnya beristirahat. Dengan adanya listrik siang dan malam pabrik-pabrik terus beroperasi, penyelia jasa pelayanan dapat berjalan. Listrik sudah mengkonstruksi sedemikian rupa budaya kita tentang waktu, tentang kehidupan, bahkan menyangkut kepercayaan yang individual sifatnya.
Masalah listrik adalah soal keberpihakan terhadap terhadap nasib rakyat. Industri strategis yang sebenarnya harus habis-habisan distabilkan karena merupakan kebutuhan orang banyak. Sekarang ketika pemerintah berencana menaikkan Tarif Dasar Listrik kita seakan disengat setrum bertegangan tinggi. Belum habis kekagetan dan ketergagapan terhadap naiknya harga-harga akibat kenaikan BBM, kita akan menghadapi kenyataan baru. Bagi pabrik-pabrik kenaikan BBM menyebabkan turunnya produksi yang segera diikuti dengan Pemutusan hubungan Kerja dalam jumlah yang signifikan. Demikian pula industri rumah tangga pelan-pelan gulung tikar. Bagimana jadinya jika TDL dinaikkan? Kita akan memasuki masa-masa dimana pemerintah tidak lagi dapat diharapkan mengurangi beban yang terus semakin berat. Kenaikan gaji lima persen bagi pegawai negeri tidak akan memberikan pengaruh yang berarti. Sementara gaji anggota DPR terus naik. Jika PNS sudah gembira dengan rencana kenaikan gaji lima puluh persen, nyatanya Cuma lima belas persen. Anggota DPR yang direncanakan tetap, pada kenyataan malah terus naik.
Pada saat yang sama kita dituntut untuk menghemat pemakaian listrik. Dalam iklan layanan masyarakat, pemerintah mengajak masyarakat untuk menghemat energi. Keteladanan hendaknya dimulai oleh para pegawai di kantor-kantor pemerintah. Penerangan listrik yang sering berlebihan sampai penggunaan komputer yang tidak efektif oleh para pegawai akibat terlalu banyak ngobrol ngalor ngidul mestinya dapat dikurangi.
Kita sebenarnya adalah bangsa dengan mental permisif yang besar. Pencurian listik secara semena-mena, misalnya, muncul lebih banyak karena rendahnya kesadaran ketimbangkan ketidaktahuan. Akan tetapi, hal demikian terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Kasus SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini lagi-lagi menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib anak bangsa. Para korban SUTET menjahit bibirnya berhari-hari tidak makan. Gambaran yang mengerikan yang hanya ada karya fiksi, hadir di hadapan kita. Jadilah, kini hadir teror SUTET.
Logika penguasa selalu rakyat yang bersalah. Otoritas PLN berujar bahwa rakyat yang tinggal di bawah SUTET aman karena tidak berbahaya bagi kesehatan. Padahal penelitian oleh perguruan tinggi merekomendasikan hal sebaliknya. Belum ledakan kelebihan daya listrik yang sangat mungkin terjadi pada malam hari. Namun, otoritas formal agaknya tidak bosan untuk menguatkan kebijakan yang telah diambilnya. Sebuah iklan layanan masyarakat versi pemerintah ditayangkan. Isinya, pengalaman masyarakat yang aman di bawah SUTET dan pendapat pakar yang mencoba meyakinkan pemirsa.
Listrik dibangkitkan oleh sumber-sumber air yang melimpah di wilayah republik ini. Mau bukti betapa air melimpah ruah, lihatlah banjir tahunan yang merata di Jawa dan wilayah lainnya. Sekarang mulai dirasakan terjadinya krisis energi. Ada perilaku budaya kita yang seenaknya sendiri dan tidak berpikir kehidupan generasi mendatang.
Beberapa diantara kita mungkin alergi dengan jargon sosialisme, bahkan mungkin memusuhinya. Sebagian yang lain menjadikannya menjadi semacam jalan hidup. Mestinya pernyataan Bung Karno tidak lantas dipahami secara literer. Namun penting dilihat semangat keberpihakannya yang total kepada rakyat. Pertanyaannya, rakyat yang mana? Ya, tentu rakyat yag secara sadar memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga negara, yakni anak bangsa yang mestinya disejahterakan dan disuburkan rasa kebangsaannya. Memang Bung Karno adalah pemikir besar yang tidak terlalu peduli dengan detail-detail. Namun, pemimpin bangsa manapun agaknya sadar menciptakan welfare state harus dimulai dengan memahami aspirasi dan gejolak psikologi rakyat. Dengan begitu, pembangunan tidak akan melenceng dari landasannya.
Tapi untunglah kehidupan yang semakin susah di negeri tidak menggerakkan anak bangsanya mencipta sebuah revolusi. Memang dimana-mana muncul demonstrasi, namun tidak cukup menumbuhkan benih-benih kekerasan sosial yang meluas. Bangsa ini memang pemaaf dan santun. Bangsa yang lebih suka menyukai cara-cara damai, dan bukan anarkisme. Demikian kata literasi zaman Orde Baru. Sekarang jika terjadi demonstrasi, hanya sekelompok kecil orang yang aksinya tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kestabilan pemerintahan. Dahulu kita berkata, “Kami cinta perdamaian, namun lebih cinta kemerdekaan”. Sebuah ungkapan yang sejujurnya mencerminkan kehendak untuk menjadi individu dan masyarakat yang berdaulat. Mudah-mudahan pemerintah menggunakan logika hati nurani ketimbang desakan-desakan ekonomi kapitalistik semata. Di tengah-tengah kegelapan (akibat seringnya mati listrik), mudah-mudahan hati dan pikiran kita selalu terang****
Selengkapnya