A Survivor’s story: Lance Armstrong (Bacaan yang belum selesai….)

Kamis, 10 Desember 2009


Ada untungnya juga berkantor dekat industri penerbitan, seperti Mizan di Cinambo Ujungberung. Kemarin (9/12/2009) saya membeli sejumlah buku dengan harga murah dalam suatu pesta buku di tempat tersebut. Salah satu buku yang saya beli “Survivor’s story”.
Buku yang berlabel diskon 40 persen itu ditulis pelakunya sendiri, Lance Armstrong dan wartawan Sally Jenkins. Buku itu sudah cukup lawas. Dahulu saya mengetahuinya melalui acara Oprah Winfrey Show di Metro TV. Ketika itu Oprah menghadirkan Lance Armstrong. Dengan mengenakan gelang bertuliskan livestrong, Lance mengisahkan kembali perjuangannya melawan kanker testikel di tahun 1996 dan bangkit dari keterpurukan menjadi pemuncak salah salah satu kegiatan olahraga yang paling berkelas “Tour d’France”. Menurut saya kisahnya sangat inspiratif mengajak orang untuk memotivasi diri sehebat mungkin.

Kini buku dengan cover pembalap sepeda tersebut berada di tangan saya. Tadi malam pelan-pelan saya buka. Halaman demi halaman. Saya memang memiliki kebiasaan melihat sekilas kualitas buku dari cover-nya. Kalau covernya sudah eye catching dan pesan yang ingin disampaikan buku terwakili oleh cover, itulah buku yang baik, menurut saya. Kembali pada isi buku.

Lance memandang bahwa masa lalu amat menentukan masa depan. Ia mengisahkan pengalaman masa kecilnya yang cukup rumit. Dibesarkan hanya oleh ibu, karena sejak usia dua tahun orang tuanya bercerai. Lance kecil tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Ia menyaksikan bagaimana ibunya mencari sesuap nasi dengan berpindah-pindah pekerjaan. Ibunya kemudian menikah seorang pria bernama Terry Armstrong. Ayah tirinya digambarkan sebagai sosok yang keras. Berkali-kali ia harus menghadapi cambukan ayahnya, jika lupa merapikan lemari baju, umpamanya. Rasa sakit akibat cambukan itu membuatnya semakin kuat. Di sinilah arti penting persentuhannya dengan dunia sepeda. Di tengah situasi yang kadang merampas hak kanak-kanaknya, Lance senang berseda. Ketika berada di atas pedal, ia sungguh merasakan kebebasan dan kemerdekaan. Ia bebas untuk mengayuhkan sepeda ke arah mana pun. Ia merdeka untuk memutuskan apakah harus berhenti atau terus melaju. Seakan beban dunia sirna sudah. Ayah tirinya kemudian diceraikan sang ibu, Linda, karena terlibat perselingkuhan. Perihal bapak genetiknya, Lance menganggapnya tidak lagi penting. Sang ayah biologis hanya menitipkan DNA dalam tubuhnya. Di luar itu, tidak ada hubungan apa-apa lagi. Lance sama sekali tidak berminat mengenalnya.

Lance menceritakan bagaimana pertemuannya dengan salah salah peyakit paling mematikan ‘kanker’. Bagaimana rasanya seseorang yang sedang berada di puncak prestasi, ketenaran, dan kelimpahan materi tiba-tiba harus berhadapan dengan kenyataan karir yang membesarkan namanya sudah tamat. Dalam suasana kalut tersebut yang diingatnya, bukan bagaimana kalau penyakit tersebut membuatnya meninggal, tetapi bagaimana kalau ia tidak bersepeda lagi. Menurut saya, inilah wujud dari kecintaan yang luar biasa terhadap profesinya. Baginya, yang lebih penting bukan “adanya” tapi “apanya”.

Saya memang belum tuntas membaca buku tersebut. Namun, ledakan yang hebat dari buku itu membuat saya pagi ini mengulas kisah yang belum selesai. Lihatlah ungkapan yang meletup-letup dari penggalan beberapa paragraf di buku ini:

 Orang-orang yang baik dan kuat terjangkit kanker, dan mereka melakukan segala hal yang benar untuk melakukannya, tetapi mereka tetap meninggal.
 Profesiku telah mengajariku untuk bersaing melawan ketidakmungkinan dan tantangan-tantangan besar.
 Pertanyaannya bukan bagaimana kanker telah mengubah dirimu, tetapi sejauh mana kanker tidak mengubah dirimu.
 Orang akan hidup, dengan berbagai cara yang paling menakjubkan.
 Ketika aku sakit, aku melihat lebih banyak keindahan, kemenangan, dan kebenaran setiap harinya dibandingkan saat aku masih berbalap sepeda.
 Para atlet, terutama pesepeda, selalu berada dalam pusaran penolakan atas semua rasa sakit dan nyeri, karena itulah yang kau butuhkan agar bisa menyelesaikan perlombaan.
 Setiap kali dia berkata, “Buatlah hambatan menjadi kesempatan, buatlah negatif menjadi positif”.

Bagi sahabat, saya sarankan membaca buku ini. Meski sudah cukup lama, spiritnya dapat mendorong kita untuk melalui kenyataan hari ini dan esok dengan kepala tegak dan jiwa besar. Mungkin akan ada kesulitan dan musibah yang kita hadapi kelak. Namun, yakinlah bahwa musibah itu sebenarnya merupakan ujian yang akan membuat E,S, I (emosional, spiritual, dan intelektual) kita “naik kelas”. Kualitas yang baik tidak akan terlihat tanpa ada ujian. Bukankah Tuhan berkata, “Kamu belum beriman hingga kamu diuji”. Jadi, seperti Lance, mari kita kepalkan tangan, munculkan keberanian, keteguhan hati, dan kesabaran. Live strong, live strong !!
Selengkapnya

Pengalaman Meneliti Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Kamis, 19 November 2009

Oleh : Iim Imadudin
(Diskusi “Peristiwa Rengas Dengklok” di Gedung Indonesia Menggugat, 25 Agustus 2009)

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan “fakta keras” (hardfact) yang tidak terbantahkan lagi. Sumber tertulis berupa dokumen, naskah otentik, dan catatan lainnya masih terarsipkan dengan rapi. Demikian pula, sumber-sumber lisan yang berkenaan dengan peristiwa itu masih dapat dijumpai. Orang-orang sezaman baik dalam kapasitasnya sebagai pelaku atau saksi sejarah dapat memberikan kesaksian, baik yang sifatnya kolektif maupun personal. Perayaan HUT RI setiap tahunnya diperingati untuk memperkokoh kesadaran berbangsa.

Masalahnya, tentu saja, revolusi nasional bagi anak bangsa merupakan otobiografi bersama. Bagi mereka yang mengalaminya selalu ada kenangan sentimentil yang tersimpan dalam ingatan. Pengalaman revolusi tertancap dengan kuat dalam memorinya. Demikian pula, bagi mereka yang terkena akibatnya. Ayah saya suatu ketika pernah berkata, “Dulu bapak (kakek saya) adalah ulama pejuang yang paling ditakuti Belanda”. “Berkali-kali ia hendak ditangkap, namun selalu berhasil meloloskan diri”. Saya mewariskan kenangan yang dialami kakek. Terdapat nilai-nilai sejarah yang tersambungkan melampaui beberapa generasi. Pernyataan itu suatu saat nanti akan saya sampaikan pula pada anak saya. Demikian seterusnya. Jadi, agak sulit juga memahami revolusi nasional sebagai “something out there” (sesuatu yang terjadi di luar sana), tanpa melibatkan perasaan.
Dalam kondisi demikian, terjadi pencampuradukkan antara sejarah sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi dengan mitos yang tumbuh sebagai hasrat kultural. Sejarah itu sesuatu yang ada di luar sana, bersifat objektif, dan beroperasi dalam jiwa zamannya. Mitos menempatkan peristiwa sebagai “Sesuatu yang ada di sini”, hangat, timeless, dan bagian dari kehidupan sosial. Mitos mendapat peneguhan secara hegemonik oleh kekuasaan. Misalnya, bagaimana peranan militer yang begitu menonjol dalam Sejarah Nasional VI yang sekarang (kabarnya) telah direvisi. Seolah-olah kelompok yang lain tidak turut pula memperjuangkan kemerdekaan.
Itulah sebabnya dalam penulisan sejarah perjuangan, keterlibatan emosional merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi. Sejarah memang harus ditulis secara objektif. Sejarah sejujur mungkin hendak merekam dan merekonstruksi pengalaman kolektif dan pribadi, namun juga berupaya “menemukan kembali” peristiwa (apa, siapa, dimana, dan bila) yang terkubur dalam impitan zaman (Abdullah, 2001: 98).
Ada “orang sumber” (resource person) yang mau menuturkan pengalamannya. Akan tetapi sebenarnya ia tidak cukup kredibel (mampu) untuk berbicara. Ia bercerita tentang sesuatu yang dialaminya, namun muskil benar-benar terlibat, karena ia belum lama lahir ketika peristiwa terjadi. Jadi, ia dapat dikategorikan sebagai “orang sumber” yang tidak cukup kredibel. Adapula seseorang yang dengan jabatannya sekarang merasa berkewajiban untuk bersaksi tentang pengalaman orang lain di masa lampau. Padahal ia tidak terlibat dalam suatu peristiwa. Kadang-kadang, tidak sedikit pula “orang sumber” yang berbicara dengan panjang lebar, namun ia tidak berjuang di ranah yang kita harapkan. Si A berjuang di daerah X, tetapi yang diceritakannya pengalaman di daerah Y. Dengan begitu, ia mencampuradukkan antara pemahaman yang dihayatinya dengan realitas objektif. Inilah salah satu kesulitan di lapangan apabila hendak merekam kesaksian “orang sumber” yang rata-rata sudah berusia uzur. Tidak sedikit karena merasa peristiwa ini harus disampaikan, tanpa terasa ia menambah-nambahkan keterangan melebihi apa yang sebenarnya ia perbuat. Oleh karena itu, kritik sumber amat diperlukan untuk menyeleksi mana informasi yang sahih, dan mana yang tidak akurat. Caranya, mencermati kelogisan alur cerita, konteks zaman, dan membandingkannya dengan sumber sezaman, yang sifatnya lisan maupun tulisan. Selain itu, seorang penulis harus membuat kriteria mana yang termasuk sumber primer dan mana yang sekunder. Hal ini dimaksudkan agar penulis memiliki skala prioritas dalam memberlakukan sumber.
Sebaliknya, ada “orang sumber” yang memiliki kredibilitas historis, namun tidak mau berbicara. Entah itu karena kepentingan untuk menjaga nilai-nilai sakral dalam perjuangannya atau kebungkaman yang terjadi karena tekanan politik yang memaksa. Pendeknya, ia tidak mau menyampaikan apa yang dialaminya. Ia merasa berharga jika kenangan itu hanya menjadi miliknya, selamanya.
Di atas segalanya, dalam kesaksian harus ada kejujuran sejarah. Kesediaan untuk berkisah tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bukan apa yang seharusnya terjadi. Kehendak untuk menyampaikan kebenaran secara objektif sebagaimana adanya.
Keinginan untuk menyampaikan kebenaran peristiwa sebagai suatu panggilan luhur, tentulah akan sangat dihargai. Banyak tokoh-tokoh yang telah menuliskan pengalamannya pada masa kemerdekaan. Cobalah cermati, bagaimana ia berkisah tentang perbenturan ideologinya dengan rival politiknya. Meski demikian, otobiografi semacam ini merupakan sumber penulisan sejarah yang penting. Penulis sejarah harus keluar terlebih dahulu dari bias-bias kepentingan individual (personal bias), kelompok (group prejudice), dan konflik ideologi agar menghasilkan interpretasi yang objektif. Objektivitas dalam penulisan sejarah mungkin tidak akan benar-benar tercapai. Minimal seorang penulis mendekati objektivitas sedekat-dekatnya. Leopold von Ranke boleh saja berkata, “Wie est eigentlich gewesen” (sejarah harus ditulis sebagaimana adanya). Namun, sejarah sebagai post eventum (kejadian masa lampau) hanya terjadi sekali, dan berada pada masa yang jauh dari kekinian. Berpikir objektif diiringi dengan kepekaan terhadap zeitgeist (jiwa zaman) kultuurgebundenheit (ikatan budaya) bukan saja akan menghasilkan tulisan yang baik, tetapi juga karya yang menarik.
Pada sisi tertentu, sumber lisan (kesaksian lisan) memiliki kelebihan dibandingkan dokumen. Sumber lisan mampu melestarikan kejadian secara detil dan psikologi pelaku dibandingkan dokumen yang sarat dengan kepentingan. Karenanya, ingatan bersifat sangat pribadi, subjektif, bebas (tidak ada yang memaksa untuk mengingat ini atau melupakan itu), dan otentik (Abdullah, 2001: 105).
Sejak metode sejarah lisan diperkenalkan dan digencarkan di tahun 1980-an, penulisan sejarah menjadi amat beragam. Kisah-kisah masa revolusi tidak lagi cerita tentang pertempuran-pertempuran. Kehidupan keseharian, interaksi sosial, perkembangan seni, adaptasi kreatif, dan seterusnya mendapatkan tempat yang memadai. Ibaratnya, sejarah lisan menjadi pendorong terjadinya egaliterisme dalam sejarah. Karena ternyata, sejarah bukan hanya miliknya para elit (greatman theory). Orang-orang biasa pun ternyata memiliki tempatnya sendiri dalam sejarah.
Perkembangan metode sejarah lisan tidak dapat dilepaskan dari genre sejarah yang lain, yakni sejarah lokal. Bahkan trend sejarah lokal sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Saya ingin menyebut salah satu problem dalam sejarah lokal adalah perjuangan kemerdekaan di daerah. Selama ini ada anggapan bahwa sejarah perjuangan kemerdekaan di daerah tidak lebih dari replika dari sejarah nasional. Seolah-olah hanya elit di Jakarta saja yang berjuang. Daerah-daerah dan lokalitas bersikap pasif, hanya menunggu perintah dari pusat. Suara-suara lokal tidak dipentingkan. Padahal dengan caranya sendiri local voice telah bergerak menyambut kemerdekaan. Sejak tahun 1980-an, pengkajian sejarah lokal, khususnya masa perjuangan, intens dilakukan. Ratusan wawancara dilakukan secara Spartan. Hasilnya terkumpul data-data baru yang menerangkan peran orang-orang lokal dalam sejarah kemerdekaan. Kegiatan inventarisasi sumber-sumber lisan yang dilakukan banyak lembaga kesejarahan menambah pengayaan sejarah nasional dari perspektif lokal.
Suatu perjalanan tentulah harus sampai di terminalnya. Hasil yang diharapkan dari pekerjaan penulis sejarah adalah tumbuhnya kesadaran sejarah. Kesadaran bahwa kekinian hadir di hadapan kita sebagai akibat adanya kelampauan yang mendahuluinya. Kesadaran bahwa bangsa ini telah menjalani pergumulan dalam pencarian identitasnya pada fase yang amat panjang. Di tengah-tengah keprihatinan terhadap kondisi kesekarangan kita, berpikir historis (thinking in time) menjadi penting artinya. Keinsyafan bahwa bangsa kita telah melalui banyak fase sejarah dapat dipelajari untuk merancang masa depan yang lebih baik. Ketika berbagai ideologi dan kepentingan global hilir-mudik dalam memori kolektif kita, identitas atau jati diri bangsa harus ditegaskan. Jangan sampai seperti kata pepatah, “bernafas di luar badan”. Inilah sebagian dari pengalaman pribadi menulis sejarah perjuangan kemerdekaan di beberapa daerah di Indonesia hampir sepuluh tahun lamanya. Terima kasih.****
Cibiru, 25 Agustus 2009
Selengkapnya

“Listrik adalah Sosialisme, Sosialisme adalah Listrik”

Selasa, 17 November 2009


Oleh : Iim Imadudin

Pernyataan di atas adalah amanat Bung Karno dalam Hari Listrik dan Gas pada tahun 1961. Bagi Bung Karno, listrik merupakan alat revolusi yang utama guna mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Pengadaan listrik yang memadai akan melancarkan roda revolusi yang menurut Bung Karno belum selesai. Tokoh proklamator itu memang piawai mereproduksikan istilah-istilah yang bombastis penuh bumbu retorika. Namun, akan menarik bila kita memahami alur pikir “bapak bangsa” yang merelasikan dua kata tersebut dalam satu nafas.
Kita sudah mafhum bahwa ketersedian listrik merupakan prasyarat utama bagi pembangunan. Listrik amat diperlukan bagi kehidupan sehari yang menjangkau semua sektor kehidupan: kebutuhan rumah tangga, pemerintahan, industri, dan lain-lain. Ketiadaan listrik bukan saja memacetkan roda pembangunan, namun juga menyangkut rasa tidak aman di waktu malam.
Cobalah sekarang berhitung berapa banyak barang-barang di rumah kita yang menggunakan jasa listrik. Bahkan mungkian kita berpikiran akan sangat sulit kehidupan kita tanpa listrik. Peradaban manusia akan kembali ke masa lalu ketika siang hari adalah masa bekerja dan malamnya beristirahat. Dengan adanya listrik siang dan malam pabrik-pabrik terus beroperasi, penyelia jasa pelayanan dapat berjalan. Listrik sudah mengkonstruksi sedemikian rupa budaya kita tentang waktu, tentang kehidupan, bahkan menyangkut kepercayaan yang individual sifatnya.
Masalah listrik adalah soal keberpihakan terhadap terhadap nasib rakyat. Industri strategis yang sebenarnya harus habis-habisan distabilkan karena merupakan kebutuhan orang banyak. Sekarang ketika pemerintah berencana menaikkan Tarif Dasar Listrik kita seakan disengat setrum bertegangan tinggi. Belum habis kekagetan dan ketergagapan terhadap naiknya harga-harga akibat kenaikan BBM, kita akan menghadapi kenyataan baru. Bagi pabrik-pabrik kenaikan BBM menyebabkan turunnya produksi yang segera diikuti dengan Pemutusan hubungan Kerja dalam jumlah yang signifikan. Demikian pula industri rumah tangga pelan-pelan gulung tikar. Bagimana jadinya jika TDL dinaikkan? Kita akan memasuki masa-masa dimana pemerintah tidak lagi dapat diharapkan mengurangi beban yang terus semakin berat. Kenaikan gaji lima persen bagi pegawai negeri tidak akan memberikan pengaruh yang berarti. Sementara gaji anggota DPR terus naik. Jika PNS sudah gembira dengan rencana kenaikan gaji lima puluh persen, nyatanya Cuma lima belas persen. Anggota DPR yang direncanakan tetap, pada kenyataan malah terus naik.
Pada saat yang sama kita dituntut untuk menghemat pemakaian listrik. Dalam iklan layanan masyarakat, pemerintah mengajak masyarakat untuk menghemat energi. Keteladanan hendaknya dimulai oleh para pegawai di kantor-kantor pemerintah. Penerangan listrik yang sering berlebihan sampai penggunaan komputer yang tidak efektif oleh para pegawai akibat terlalu banyak ngobrol ngalor ngidul mestinya dapat dikurangi.
Kita sebenarnya adalah bangsa dengan mental permisif yang besar. Pencurian listik secara semena-mena, misalnya, muncul lebih banyak karena rendahnya kesadaran ketimbangkan ketidaktahuan. Akan tetapi, hal demikian terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Kasus SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini lagi-lagi menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib anak bangsa. Para korban SUTET menjahit bibirnya berhari-hari tidak makan. Gambaran yang mengerikan yang hanya ada karya fiksi, hadir di hadapan kita. Jadilah, kini hadir teror SUTET.
Logika penguasa selalu rakyat yang bersalah. Otoritas PLN berujar bahwa rakyat yang tinggal di bawah SUTET aman karena tidak berbahaya bagi kesehatan. Padahal penelitian oleh perguruan tinggi merekomendasikan hal sebaliknya. Belum ledakan kelebihan daya listrik yang sangat mungkin terjadi pada malam hari. Namun, otoritas formal agaknya tidak bosan untuk menguatkan kebijakan yang telah diambilnya. Sebuah iklan layanan masyarakat versi pemerintah ditayangkan. Isinya, pengalaman masyarakat yang aman di bawah SUTET dan pendapat pakar yang mencoba meyakinkan pemirsa.
Listrik dibangkitkan oleh sumber-sumber air yang melimpah di wilayah republik ini. Mau bukti betapa air melimpah ruah, lihatlah banjir tahunan yang merata di Jawa dan wilayah lainnya. Sekarang mulai dirasakan terjadinya krisis energi. Ada perilaku budaya kita yang seenaknya sendiri dan tidak berpikir kehidupan generasi mendatang.
Beberapa diantara kita mungkin alergi dengan jargon sosialisme, bahkan mungkin memusuhinya. Sebagian yang lain menjadikannya menjadi semacam jalan hidup. Mestinya pernyataan Bung Karno tidak lantas dipahami secara literer. Namun penting dilihat semangat keberpihakannya yang total kepada rakyat. Pertanyaannya, rakyat yang mana? Ya, tentu rakyat yag secara sadar memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga negara, yakni anak bangsa yang mestinya disejahterakan dan disuburkan rasa kebangsaannya. Memang Bung Karno adalah pemikir besar yang tidak terlalu peduli dengan detail-detail. Namun, pemimpin bangsa manapun agaknya sadar menciptakan welfare state harus dimulai dengan memahami aspirasi dan gejolak psikologi rakyat. Dengan begitu, pembangunan tidak akan melenceng dari landasannya.
Tapi untunglah kehidupan yang semakin susah di negeri tidak menggerakkan anak bangsanya mencipta sebuah revolusi. Memang dimana-mana muncul demonstrasi, namun tidak cukup menumbuhkan benih-benih kekerasan sosial yang meluas. Bangsa ini memang pemaaf dan santun. Bangsa yang lebih suka menyukai cara-cara damai, dan bukan anarkisme. Demikian kata literasi zaman Orde Baru. Sekarang jika terjadi demonstrasi, hanya sekelompok kecil orang yang aksinya tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kestabilan pemerintahan. Dahulu kita berkata, “Kami cinta perdamaian, namun lebih cinta kemerdekaan”. Sebuah ungkapan yang sejujurnya mencerminkan kehendak untuk menjadi individu dan masyarakat yang berdaulat. Mudah-mudahan pemerintah menggunakan logika hati nurani ketimbang desakan-desakan ekonomi kapitalistik semata. Di tengah-tengah kegelapan (akibat seringnya mati listrik), mudah-mudahan hati dan pikiran kita selalu terang****
Selengkapnya

“Dongeng Sejarah” dan Kesadaran Sejarah

Jumat, 02 Oktober 2009


Rabu (30/9/09) saya berkesempatan menjadi juri Lomba “Dongeng Sejarah” di Gedung PGRI Kab. Bandung. Penyelenggaranya adalah Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung.
Lomba dibagi dalam tiga level: SD, SMP, dan SMA. Secara akademik, istilah “dongeng sejarah” merupakan contradiction in terminis alias kerancuan dalam peristilahan. Sejarah sebagai fakta disatunafaskan dengan fiksi. Kenyataannya, memang, konsepsi sejarah pada tingkatan akademis dan masyarakat tidaklah sama. Pada tingkat masyarakat, sejarah memang dekat sekali dengan sesuatu yang bernuansa dongeng. Itulah sebabnya, Kang Jay (Kasie Sejarah Disdik Kab. Bandung), agaknya memprovokasi berbagai stake holder di dunia pendidikan Kab. Bandung dengan istilah “dongeng sejarah”. Tujuannya tiada lain, menanamkan kecintaan dan kesadaran sejarah di kalangan pelajar. Mungkin ke depan, harus dipikirkan satu peristilahan yang lebih pas.
Pada level SMP, jumlah peserta cukup banyak mencapai 36 orang. Masing-masing peserta dengan ciri khasnya masing-masing. Ada yang fokus pada kemampuan klasik mendongeng, yaitu bercerita, dan adapula yang menggunakan alat peraga. Ada yang mendongeng datar-datar saja, dan adapula yang mendongeng sambil bersedih hati. Seolah seluruh cerita sang pahlawan penuh dengan duka lara. Ada juga yang mendongeng dengan gaya komedi. Keberagaman penampilan menunjukkan bahwa kita sesungguhnya memiliki mutiara-mutiara terpendam yang harus terus dibina.
Ada banyak catatan plus- minus tentang kegiatan tersebut. Namun, yang ingin saya garisbawahi, adalah masih amat terbatasnya wawasan peserta dan pembimbingnya tentang sosok pahlawan dan pejuang di Jawa Barat. Pahlawan yang sudah diresmikan melalui SK Presiden dan pejuang yang banyak tersebar di berbagai pelosok Jawa Barat. Hampir separuhnya mendongeng sosok ibu Dewi Sartika. Bahkan Sembilan puluh persen, peserta mengangkat pahlawan Dewi Sartika dan Otto Iskandar Dinata. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap tokoh sejarah di Jawa Barat masih harus ditingkatkan. Untuk itu, berbagai pihak terkait: unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bersinergi untuk meningkatkan kesadaran sejarah bukan hanya generasi muda, tapi masyarakat seluruhnya. Tujuannya, agar kita tidak pareumeun obor dan mampu menghayati nilai-nilai perjuangan para pendahulu kita.
Selengkapnya

Bunga Tidak Pernah Bersuara

Rabu, 16 September 2009

Oleh: Gede Prama

Riuh, ribut, demikianlah kira-kira suasana komunikasi antarmanusia pada tahun 2009. Mantan Presiden AS George W Bush mengakhiri jabatannya dengan dilempar sepatu. Negeri ini juga riuh serta ribut urusan presiden dan pemilu.
Di tengah-tengah suhu komunikasi yang memanas ini, ada indahnya bila sekali-sekali sepi-sunyi yang mengemuka. Bukan sebagai lawan keributan. Hanya mengemuka seperti menarik napas dalam-dalam sekali waktu setelah lama tidak merasakan segarnya kehidupan.
Dalam menelusuri segarnya kehidupan, ada dua jalur yang tersedia. Ada yang berjalan dengan intelektualitas, ada yang melangkah di jalan-jalan bakti (devotion). Pada pendekatan pertama, semuanya dianalisis. Itu sebabnya para master meminta penekun meditasi di Barat (yang kebanyakan berjalan di jalan intelektualitas) segera merealisasikan kekosongan (emptiness).
Begitu mengalami langsung kekosongan (bukan mengerti melalui intelek) baru bisa mengagumi sepi-sunyi. Di jalan bakti, tidak diperlukan terlalu banyak perdebatan. Yang ada hanya bakti yang tulus, penuh sujud, rasa hormat yang mendalam. Dan ujung-ujungnya sama, mengalami kekosongan.
Dalam bahasa seorang guru yang sudah sampai di puncak, lakukan terus-menerus bakti. Sampai di sebuah titik sehingga yang memberi, yang diberi, maupun pemberian sesungguhnya tidak ada. Itulah sepi-sunyi.
Sembah rasa
Di Timur dulunya kebanyakan manusia berjalan di jalan-jalan bakti. Itu sebabnya berdoa dipadankan dengan sembahyang. Ada kata sembah di sana. Awalnya memang dimulai dengan dualitas antara penyembah dan yang disembah, tetapi kemudian keduanya menjadi satu, serta ujungnya yang satu pun lenyap dalam keheningan.
Dan, semua sembah mulai dengan sembah raga. Namun, karena badan terbuat dari bahan-bahan yang bertentangan (air-api, tanah-udara), banyak manusia yang hanya menggunakan sembah raga kemudian mengalami guncangan-guncangan. Seberguncang bahan-bahan yang membentuk tubuh. Dari sinilah lahir kebutuhan melakukan sembah rasa. Di mana lebih dari sekadar menggunakan raga, badan mulai dibimbing oleh getaran-getaran rasa.
Bukan rasa suka yang bertentangan dengan duka, bukan suci yang diseberangkan dengan kotor. Melainkan rasa yang memeluk mesra semuanya. Seperti seorang ibu yang merawat putra tunggalnya. Tatkala putranya tersenyum, ia gendong. Manakala putranya menangis sambil menyisakan kotoran di tempat tidur, lagi-lagi ia gendong putranya dengan penuh kasih sayang. Sembah rasa juga serupa, belajar tersenyum pada apa saja yang datang dalam kehidupan. Sebagai hasilnya, hidup berputar lentur bersamaan dengan irama alam. Siang tersenyum pada cahaya terang dengan jalan bekerja. Malam berpelukandengan kegelapan melalui istirahat di tempat tidur.
Di jalan ini, semuanya menjadi sembahyang. Tatkala makan, maka makanlah dengan penuh rasa syukur. Pada hari yang sama ada jutaan manusia kelaparan. Ketika menyapu, menyapulah sambil bersiul. Pada menit yang sama ada jutaan manusia sakit di rumah sakit.
Bila begini caranya, every act is a rite. Setiap langkah adalah sembah. Puisi Jalalludin Rumi menjadi wakil dalam hal ini. Hidup serupa bawang merah. Di luar kotor kecoklatan. Tatkala dibuka jadi putih. Semakin dibuka semakin putih. Tambah dibuka tambah putih. Dan, tatkala tidak ada lagi yang bisa dibuka, yang tersisa hanya air mata yang meleleh.
Sembah rahasia
Ia yang sudah berjalan jauh dengan sembah rasa, suatu waktu akan melihat bila alam menyimpan banyak rahasia. Di Timur, Tantra adalah salah satu jalan rahasia. Tidak banyak orang yang bisa membuka pintu Tantra. Di samping berat juga berbahaya. Ada yang mengandaikan Tantra dengan jalan tol yang cepat sampainya. Namun, mengalami kecelakaan di jalan tol amat sangat berbahaya.
Itu sebabnya ada yang membagi perjalanan Tantra ke dalam tiga gerbang. Kehidupan diandaikan dengan pohon beracun karena banyak godaannya. Pada tahap pertama, manusia disuruh menjauh dari pohon beracun. Makanya banyak imbauan melakukan puasa, pengendalian diri, hidup berkecukupan, penuh rasa syukur. Begitu lewat gerbang pertama yang ditandai oleh kemampuan menguasai diri (self mastery) yang baik, kemudian di langkah kedua murid akan diminta untuk menjadi penjaga pohon beracun. Mulailah seorang penekun menjadi ”penggembala domba” bagi banyak kehidupan.
Ada yang jadi guru, penulis, pemimpin upacara, pemimpin yang jujur. Intinya satu, menjaga jangan sampai terlalu banyak kehidupan keracunan. Begitu jam terbang menjadi penggembala domba sudah cukup, baru boleh masuk ke inti sari Tantra: mengolah racun menjadi obat kehidupan. Makanya, bila di kebanyakan jalur hawa nafsu dilarang, di Tantra ada pendekatan menggunakan hawa nafsu (khususnya seks) sebagai kendaraan transformasi spiritual. Bukan untuk dibawa hanyut oleh nafsu, tetapi menghanguskan nafsu dengan nafsu. Itu sebabnya di banyak tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, India, dan Amerika Latin banyak peninggalan-peninggalan tua yang memamerkan hubungan seksual. Di Bali disebut lingga-yoni, nyegara-gunung. Siapa saja yang sudah membumihanguskan semua keinginan (termasuk keinginan menjadi suci atau tercerahkan), ia mulai belajar melihat rahasianya rahasia.
Persembahan di banyak tradisi (tidak saja di Bali) sering kali berisi bunga. Di sejumlah Negara (seperti Jepang) bahkan menempatkan bunga secara amat istimewa. Seperti ada rahasia di sana. Bunga mekar mewakili keindahan. Namun, seberapa indah pun bunga, beberapa waktu kemudian harus ikhlas menjadi sampah. Dan, baik tatkala diberi sebutan indah maupun sebutan sampah, bunga tidak pernah bicara. Siapa yang hidupnya mengalir sempurna dari bunga (sukses, dipuja) menjadi sampah (gagal, dicerca), kemudian (bila bisa mengolahnya) menjadi bunga lagi, ia sudah membuka salah satu pintu rahasia.
Seorang guru yang sudah sampai di sini pernah menulis: Physical isolation is not the true solitude. Totally free from any grasping, that’s the true solitude. Lepas bebas dari segala kemelekatan (baik-buruk, benar-salah), itulah keheningan sesungguhnya.
Ada yang bertanya, bila sudah lepas-bebas, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru berbisik kepada muridnya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti ibu pertiwi. Langit memayungi semuanya, ibu pertiwi bertindak ketat mengikuti hukum alam. Bila menanam jagung, buahnya jagung. Kalau memelihara kelapa, buahnya kelapa. Selamat Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1931.
Sumber: Harian Kompas, Rabu 25 Maret 2009
Selengkapnya

Sang Imam

Selasa, 15 September 2009

Inilah persinggahan sang tokoh Padri
Dari ranah Minang kobarkan perwira
Lawan angkara murka penjajah
Dibuang jalani takdir
Menjadi kusuma bangsa
Kampung Lota Pineleng, 15 Agustus 2009
Selengkapnya

Luruh

Apalagi yang harus dibuktikan
Ketika hati bertemu hati
Mata luruh dalam kerinduan
Manado, 18 Agustus 2009
Selengkapnya

Kotamobagu



Sehari sebelum 17 Agustus tepat jam 1 siang
Kotamobagu begitu dingin

Hujan perlahan berlabuh
Ada keharuan senasib setanah air
Ribuan kilometer jauhnya
Dari mata para penyambut
Aku tahu mereka benar-benar
Ingin bersapa hati
Kotamobagu, 16 Agustus 2009
Selengkapnya

Aku Rindu

Aku yang jauh darimu
Hanya bisa berkata
“Meh, aku benar-benar merindukanmu”
Manado, 15 Agustus 2009
Selengkapnya

Keluar dari “Kepompong Sejarah”

Jumat, 11 September 2009

Oleh Iim Imadudin


Ada banyak keberuntungan dalam hidupku yang harus dirayakan dengan penuh rasa syukur. Keberuntungan diberi umur panjang hingga kesehatan yang terpelihara. Keberuntungan dikaruniai orang-orang tercinta hingga hidup terasa berwarna. Keberuntungan diberikan kemudahan dalam situasi sulit. Keberuntungan mendapat pekerjaan yang baik. Keberuntungan memperoleh sesuatu di luar kapasitas yang kumiliki. Keberuntungan bertemu dengan orang-orang yang inspiratif. Banyak dan masih banyak lagi keberuntungan yang kualami selama ini. Keberuntungan itu tidak lain adalah nikmat yang tak terkira. Benar kata Tuhan, betapapun kamu bersibuk-sibuk menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Dari semua itu, keberuntungan terbesar adalah adanya berkah dalam kehidupan.

Berkah itu tidak lain adalah bertambahnya kebaikan. Orang yang diberikan nikmat dan ia terus menyukuri apa yang diperolehnya, berarti ia mengabadikan karunia Allah. Sifat dari kebaikan itu berarti perubahan ke arah yang baik. Aku ingin terus menerus mentransformasi diri untuk selalu menjadi lebih baik. Lebih baik dan lebih baik lagi merupakan spirit ke arah kemajuan. “Dunia kemajuan” hanya bisa diraih dengan semangat untuk menjadikan hari-hari bahkan detik per detik hidupku sebagai persemaian kemajuan. Dalam perjalananku menuju kemajuan itu, banyak sekali virus-virus yang harus ku lawan. Virus-virus itu kadang dapat aku scanning dengan baik hingga menjadi heal atau clean. Namun tidak jarang sebagian virus itu terpaksa aku karantina (move to vault). Sebagian lagi bahkan tak dapat aku deteksi sama sekali. Inilah tiga dari beberapa virus yang aku hadapi.

Virus pertama, aku hidup untuk hari ini. Sering aku merasakan bahwa untuk apa berpikir hari esok, hari ini pun belum kulalui sepenuhnya. Anggapan demikian sering membuatku melupakan visi hidup yang sesungguhnya. Aku ada, karena hari ini aku sungguh-sungguh ada, dan bukannya ada pada masa kemudian. Pemikiran eksistensialis ini membuatku jumud dan stagnan. Aku seperti menjadi budak masa kini.

Virus kedua, paradigm berpikir materialisme. Ini mungkin kenyataan yang paling telanjang terjadi sekarang ini. Kesuksesan semata-mata diukur dari kemampuannya mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Orang dianggap sukses apabila ia telah kaya karena memiliki fasilitas hidup yang mewah. Orang menjadi berhasil bila mampu mengumpulkan capital dalam jumlah besar. Paradigma ini sering membuat salah arah. Kemajuan itu bukan hanya secara material, tetapi juga rohaniah (batiniah). Banyak pengalaman batin yang luput dari list kesuksesan hidupku.

Virus ketiga, aku dapat, karena usahaku sendiri, tidak ada campur tangan Tuhan. Beberapa kali aku merasakan pengalaman ini hingga Tuhan menegurku dengan caranya sendiri. Beberapa tahun ini aku berpikira terlalu rasional. Mungkin ini pengaruh dari bacaanku yang cenderung liberal dan sangat toleran dengan wacana-wacana alternatif hingga loss control.

Masih banyak lagi virus-virus lain yang belum sempat aku tuliskan. Aku percaya pengalaman sejarah yang kualami memberi banyak kearifan. Banyak cara dan jalan untuk keluar dari “kepompong sejarah”. Meski hukum alam selalu menunjukkan pentingya proses, namun Tuhan memberi jalan pintas (by pass) untuk kembali kepada kesejatian yang fitri dan putih. Dalam dua belas bulan setahun, ada bulan mulia. Dalam tujuh hari ada hari yang istimewa. Bahkan saat-saat kita ibadah pun menjadi saat yang spesial. Ada sholat malam yang merupakan SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh) yang relatif minim dengan high trafficking (lalu lintas yang sibuk). Saat itu dimana hamba sepenuhnya berpasrah kepada Allah. Intinya, memang, hidup terlalu sayang untuk dijalani apa adanya. Banyak hal yang kuperoleh andai aku mau mengusahakannya. Mari rayakan hidup dengan penuh rasa syukur. Ya, Allah aku bermohon kepada-Mu atas taubat-taubatku terdahulu. Sungguh, aku ingin selalu mengingat-Mu dengan penuh cinta!!!!!!!
Cinambo, 11 September 2009
Selengkapnya

Catatan Perjalanan Lasenas VII di Manado

Kamis, 20 Agustus 2009

Oleh Iim Imadudin

“Sejarah adalah travelogue para pencari kebenaran”

Bagiku, setiap perjalanan memiliki sejarahnya sendiri. Ada ingatan personal maupun kolektif yang menyertainya. Entah itu kenangan yang manis ataupun pahit selalu tersusun rapi dalam file-file pikiran. Mulai tanggal 13 hingga 18 Agustus 2009, aku mengikuti Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas) ke-7 di Manado. Berkenaan dengan Lasenas, ini yang kedua kalinya aku ikuti. Tahun 2004, aku mengikuti Lasenas di Aceh, tepat empat bulan sebelum tragedi tsunami Aceh yang telah melegenda itu.

Aku selalu ingin mengabadikan ingatan tentang apapun dalam bentuk tulisan. Karena aku sadar, ingatan manusia tidak cukup menampung detil-detil peristiwa yang begitu banyak. Manusia memiliki memori yang pendek. Bukankah manusia adalah tempatnya kesalahan dan kelupaan. Itulah sebabnya kepikunan yang notabene adalah kelupaan selalu menyertai ketuaan. Maka, perjuangan kita adalah perjuangan melawan lupa. Mudah-mudahan tulisan ini tidak saja bermanfaat bagiku. Namun juga, orang-orang yang ingin pula merasakan dan mengenang perjalanan yang aku lakukan. Bagi teman-teman yang mengikuti Lasenas silakan membacanya sebagai memori bersama.

14 Agustus 2009
Aku merupakan bagian delegasi BPSNT Bandung yang terdiri dari Bapak Drs. Toto Sucipto (Kepala BPSNT Bandung), Dudung Koswara, S.Pd (Guru SMAN 1 Kota Sukabumi), Nurlesa Nidia Salam (Siswi SMAN 1 Tarogong Kidul Garut), dan Nadiyya Anindita (Siswi SMAN 1 Subang). Ketiga peserta yang dibawa Pak Toto merupakan peserta terbaik hasil Lawatan Sejarah Daerah yang diselenggarakan BPSNT Bandung beberapa bulan silam. Bersama kami, ikut pula partisipan dari wilayah kerja, yaitu Drs. Muhammad Irwan (Guru SMAN 1 Kota Serang) dan Rahma Alia (Siswi MAN 1 Jakarta). Show must go on!!

Dingin menyergap Jakarta menjelang pagi, Kami bersama peserta lasenas yang menginap di Hotel Trisula meluncur ke Bandar Soekarno Hatta Sekitar pukul 03.15 WIB. Kegelapan belum lagi sirna, namun orang-orang dengan tujuan yang berbeda-beda bersiap-siap melakukan penerbangan. Sekitar 75 peserta yang berasal dari BPSNT Bandung, Yogyakarta, Aceh, Padang, Tanjung Pinang, dan Pontianak; sejumlah partisipan dan panitia terbang dengan pesawat Sriwijaya Air pada pukul 05.45 WIB. Pesawat sebelum menuju Manado, harus transit terlebih dahulu di Surabaya. Beberapa jam aku melayang-layang di udara. Dalam ketinggian ribuan kaki, aku merasa ketidakberdayaan sebagai makhluk yang lemah. Melihat ke arah jendela pesawat yang nampak hanyalah gumpalan awan putih yang berarak. Aku selalu membayangkan lagu Katon Bagaskara tentang negeri di awan. Mungkinkah ada kehidupan lain di sana, wallahu a’lam. Kadang-kadang terlihat pula puncak-puncak gunung yang memaku ke bumi. Adapula noktah-noktah kecil yang samar terlihat. Itulah pulau-pulau Indonesia permai yang begitu luas. Langit Manado begitu cerah, secerah hatiku melakukan perjalanan ini. Tepat pukul 11.00 WITA, pesawat mendarat di Bandara Sam Ratulangi, kota Manado. Teman-teman BPSNT Manado menyambut kami. Sebagian menuju Hotel Orion,dan sebagian lagi ke Golden Lake Hotel.

Pada pukul 19.00 WITA, sebanyak 175 peserta Lasenas berkumpul di Golden Lake. Peserta siswa dibagi menjadi tujuh kelompok. Dalam kuis kesejarahan, Drs. Harry Untoro Drajat, M.A. (Dirjen Sepur) mencoba mengeksplorasi wawasan siswa mengenai warisan sejarah. Beliau tidak memberikan pertanyaan biasa, melainkan mengajak siswa untuk merumuskan jawabannya sendiri. Beliau mengandaikan warisan sejarah itu sebagai jam tangan. Nilai-nilai apa saja yang ada dalam jam tangan dan bagaimana merawat dan menjaganya. Ternyata dari siswa keluar jawaban-jawaban yang cerdas. Jam tangan adalah simbol waktu, etika, teknologi, dan seterusnya. Mereka memberi banyak jalan untuk melestarikan warisan sejarah dan budaya bangsa.

Bersambung…………………………..
Selengkapnya

Pemuda dan Reduksi Imajinasi Sosial

Kamis, 06 Agustus 2009

Oleh Iim Imadudin

Ketika tidak ada jalan keluar, darimanakah orang-orang muda mendapat ilham untuk melakukan radikalisasi? Mereka yang dibesarkan dari rahim sejarah mengapa begitu bebas melawan ibu kandung zamannya? Kedua pertanyaan tersebut mungkin sangat teleologis, karena mencoba mencari jawab pada level permukaan terhadap sesuatu yang sebetulnya berakar tunggang sangat kuat. Pemuda sesuai dengan sebutannya tumbuh dalam masa transisi menuju fase pendewasaan. Dalam fase tersebut pemuda mengalami pergolakan secara emosional dan intelektual.

Yozar Anwar pernah menulis buku “Para Pemuda Pemberang” tentang gerakan Mahasiswa tahun 1966. Ahmad Wahib, perintis gerakan pembaharuan Islam dibukukan catatan hariannya menjadi “Pergolakan Pemikiran Islam” yang sangat menghebohkan itu. Soe Hock Gie, aktivis 1966 yang dulu jarang disebut namanya, catatan hariannya dikumpulkan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran”. Masih banyak lagi buku yang pernah ditulis tentang orang muda dengan semangat yang sama. Pemuda itu radikal (juga cerdas), bebas, dan berani.

Sekarang ketika ruang aktualisasi diri makin menyempit dapatkah kita berharap adanya Gie dan Wahib baru? Dahulu kita berhadapan dengan tantangan zaman yang kasat mata, yaitu rezim tiran yang berkuasa, otoritas pemegang kebenaran, dan politisasi orang muda. Sekarang musuh-musuh yang tidak tampak menumpang dalam gerbong ideologi, kekuatan politik dan pasar. Orang muda terpaksa bertarung seperti melawan bayangan. Kekuatan kapitalisme yang merambah bidang yang begitu luas memaksa pemuda memiskinkan imajinasi sosialnya. Imajinasi sosial ialah semacam sensitivitas terhadap lingkungan bagaimana kita memberikan interpretasi yang manusiawi terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. Maka pada saat budaya popular makin memandulkan kreativitas orang muda, pemuda harus menemukan identitasnya dan merumuskan tantangan zamannya.****
Cinambo, 15 Nopember 2005
Selengkapnya

“Menjadi Muslim tanpa Mesjid”

Selasa, 04 Agustus 2009

Oleh Iim Imadudin

Pada berita infotainment di salah satu televisi swasta pagi ini terberitakan grup band Dewa yang sedianya bakal manggung dicekal masuk ke Brunei Darussalam. Belum ada alasan resmi menyangkut pencekalan tersebut. Ahmad Dani, pentolan grup band tersebut, menduga pencekalan itu ada kaitannya dengan ideologi pluralisme Dewa yang mengakui aliran-aliran dan keyakinan-keyakinan yang berbeda. Saya menduga kegagalan Dewa manggung berkaitan dengan informasi yang disampaikan pihak-pihak di Indonesia yang tidak menyukai pluralisme Dewa kepada otoritas Brunei.

Bukan sekali dua kali Ahmad Dani membuat sensasi. Pertikaiannya dengan Front Pembela Islam bermula ketika pemakaian stiker berlogo Allah dijadikan alas panggung Dewa berujung dengan protes dan penghujatan. Konflik berakhir setelah Dani meminta maaf dalam sebuah forum yang dimediasi MUI.

Dani beranggapan bahwa seorang muslim berhak melakukan ijtihad dalam keberagamaannya. Oleh karena itu, perbedaan dalam menginterpretasikan nash-nash agama menjadi sah-sah saja. Tidak ada otoritas yang memonopoli kebenaran dalam beragama, karena merupakan wilayah pribadi dalam hubungan individu dengan Tuhannya. Sebagai seorang yang sangat mengagumi Gus Dur –setidaknya kalau ia bukan seorang Gus Durian- ia terinspirasikan oleh pandangan keagamaan Gus Dur yang inklusif dan pluralis.

Kembali kepada judul tulisan ini “Menjadi Muslim tanpa Mesjid” merefleksikan tumbuhnya generasi muslim baru. “Menjadi Muslim tanpa Mesjid” adalah judul kumpulan tulisan Kuntowijoyo yang secara umum melihat adanya kecenderungan sebagian orang muda Islam untuk berpikiran liberal dalam memahami teks-teks keagamaan. Kunto mengambil contoh kemunculan Ulil Abshar Abdalla dengan Jaringan Islam Liberal-nya berkaitan dengan kejenuhan dengan tafsir keagamaan yang monolitik dan dominatif.

“Menjadi Muslim tanpa Mesjid” merupakan dekonstruksi terhadap pandangan lama. Hanya orang dengan latar belakang pendidikan agama formal atau pesantren saja yang berhak dirujuk dalam memahami ajaran agama. Bahkan dahulu seorang haji meski minim pengetahuan agamanya lantas dijadikan ustadz, kyai, atau sejenisnya. Otoritas beragama lebih sering karena penampilan simbol-simbolnya, bukan substansinya.

Sekarang ketika perkembangan ilmu pengetahuan sekular dan pengetahuan agama berkembang secara beriringan, otoritas makin meredup. Dahulu hanya mereka yang berpredikat ulama yang berhak menjadi panutan dalam beragama. Bukankah “Al-Ulama waratsatul anbiya” (ulama pewaris para nabi). Sekarang tiap orang dapat membebaskan dirinya dari dominasi pemikiran lama. Seorang Dani yang berwatak humanis (karena ia pemuja Gibran) dan sekular dapat dengan bebas berganti-ganti simbol. Memakai gamis dalam sebuah konser baginya hanya atribut biasa saja untuk menunjang performance atau menyesuaikan dengan tema lagu-lagu andalan Dewa. Tidak ada hubungannya dengan keyakinan tertentu.

Apakah ini kecenderungan yang positif atau negatif? Biarlah waktu yang menentukannya. Penghakiman terhadap model ijtihad baru itu hanya akan menumpuk persoalan umat. Penindasan massal terhadap kecenderungan pemikiran tersebut menjadi kontraproduktif bagi berkembangnya pemikiran alternatif di kalangan umat. Sepanjang generasi baru Islam mampu mengkreasikan dirinya dalam perkembangan baru tanpa harus kehilangan identitas kemuslimannya justru harus diberi ruang seluas-luasnya. Nabi Muhammad yang mulia pernah bersabda, “Sesuatu yang hilang dalam umat adalah hikmah, maka carilah dimanapun ia berada”. Lagipula Rasul yang agung berkata, “Jika kita berijtihad, kemudian benar, maka pahalanya dua. Akan tetapi, jika ijtihadnya salah, pahalanya satu”.****
Cinambo, 25 Oktober 2005
Selengkapnya

Negosiasi dengan Takdir

Oleh Iim Imadudin

Menarik sekali menyimak uraian Komaruddin Hidayat dalam acara “Great Lecture” yang ditayangkan Metro TV Minggu (8/10). Komaruddin menyebut ada takdir yang absolut yang sudah digariskan Allah, dan adapula wilayah yang manusia bisa merubahnya. Ia mencontohkan bahwa takdir air adalah mengalir, takdirnya matahari adalah menerangi, takdirnya api, panas. Semua itu takdir yang manusia tidak kuasa atasnya. Takdir yang manusia dapat mengubahnya, adalah misalnya takdir siang itu panas, maka manusia harus menegosiasikan takdirnya dengan mencipta payung agar tidak kepanasan.

Saya ingat dahulu, Khalifah Umar ibn Khattab pernah bermaksud berkunjung ke Basyrah (Syam?). Kunjungannya urung dilakukan, karena di sana berjangkit penyakit. Umar bilang kita berpindah dari takdir buruk menuju takdir baik.

Perkara takdir, kita akan ingat kepada perdebatan sejarah antara jabbariyah dengan kodaryiyah. Yang satu menyatakan bahwa bahwa takdir itu mutlak, dan manusia sama sekali tidak mengubahnya. Aliran ini disebut fatalism. Sementara yang kedua menyatakan bahwa manusia memiliki kuasa untuk mengubah takdir. Di tengah-tengah antara jabbariyah dengan kodariyah, ada kelompok ahlussunnah waljamaah. Ada pula kaum mu’tazilah yang menganggap bahwa akal adalah segalanya.

Kemunduran Islam pada masa lalu, menurut para ahli, disebabkan kefanatikannya kepada jabbariyah. Sementara Barat yang Kristen maju karena mereka mengubah takdirnya, menjadi bangsa yang unggul. Jan Romein, ahli Indonesia orang Belanda, menyebut bahwa kemajuan Barat merupakan penyimpangan dari pola umum peradaban. Romein ingin menyebut bahwa penghambaan terhadap materialisme dan humanisme dengan semangat antroposentrisnya yang membuat mereka maju. Syeikh Syakib Arsalan dalam risalahnya “lima dza taakhorol muslimun, walimadza taqodama ghoiruhum”, menjelaskan ketertinggalan umat Islam sebagai kurang dioptimalkannya penggunaan rasionalitas, meski Syakib agak enggan menyebutkannya.

Saya sedang mencoba melakukan dialektika dengan takdir. Apa sih yang disebut takdir itu? Pada wilayah mana saya harus menempatkan rasio dan iman sebenarnya?

Takdir berasal dari kata “qodaro, yaqdaru, qodron, taqdiron”, asal mula kata artinya ukuran, perkiraan. Menyimak dari unsur pembentuk katanya, takdir berarti ukuran atau garis yang sudah ditetapkan. Firman Allah menyebutkan, manusia diberikan dua jalan (wahadaynahun najdain). Jalan tersebut Allah berikan dengan pilihan-pilihan. Ada lagi kalam ilahi yang sangat populer, “innallaha la yughoyyiru ma biqowmin hatta yughoyyiru ma bi anfusihim” (Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib kaum, sampai mereka mengubah nasib mereka sendiri).

Dalam sejarah Indonesia, salah satu unsur pengobar semangat nasionalisme melawan penjajahan adalah pendidikan. Pramudya Ananta toer menggambarkan pendidikan pribumi di tengah kalangan Eropa dalam “Bumi Manusia”. Minke digambarkan sebagai pemuda pribumi yang langka mengikuti pendidikan Belanda. Ia harus menanggung beban psikologis bangsa terjajah. Ketika itu pemerintah Belanda membawa aparat administrasi sedikit jumlahnya. Untuk keperluan administrasi, Belanda membuka keran pendidikan bagi pribumi. Model pendidikannya dibuat bertingkat-tingkat, mulai dari volkschool yang paling rendah, HIS, MULO, sampai OSVIA atau STOVIA yang paling bergengsi. Pendidikan yang pada awalnya dipersiapkan sebagai tenaga teknis administrasi, pada akhirnya memunculkan sosok intelektual yang sadar dengan keadaannya. Ada kehendak dan tanggung jawab yang besar untuk menarik bangsa dari pusaran kemiskinan, kehinaan, dan penindasan. Sebuah nagari di Sumatera Barat, Koto Gadang, sebagian besar penduduknya merupakan tokoh intelektual, sehingga terkenal sebutan “angku doto dari Koto Gadang” (Tuan dokter dari Koto Gadang).

Pendidikan merupakan sarana manusia mengubah takdirnya. Para pemuda pribumi ketika itu sadar bahwa hanya dengan pendidikan mereka menjadi manusia yang cerdas. Kecerdasan membuat mereka menjadi kritis tanpa kehilangan identitasnya.
Negosiasi dengan takdir sebetulnya menyangkut penalaran, pertimbangan, dan tindakan. Tiga unsur itu mewakili akal, rasa, dan aksi. Agar ketiga unsur tersebut tidak melenceng, iman memandunya. Rasa dekat dengan humanisme. Kesadaran terhadap kesejatian diri membuat orang akan berempati dengan nasib orang.

Dalam bahasa saya, takdir merupakan perpaduan do’a dan ikhtiar yang penuh harap. Selama hayat masih dikandung badan, takdir bukan saja dapat, tetapi harus diperjuangkan. Kehidupan manusia merupakan pergulatan tanpa akhir, karena menyangkut wilayah duniawi dan ukhrawi. Aneka cobaan dan musibah yang menimpa kita sesungguhnya merupakan arena mentrasnformasikan takdir kita lebih baik dan bermakna.***
Selengkapnya

Meredefinisikan Makna Kepahlawanan

Minggu, 02 Agustus 2009

Oleh Iim Imadudin

Pada tahun 2001 sejarahwan Minangkabau Mestika Zed dan Hasril Chaniago menulis biografi tokoh PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Ahmad Husein. Ketika itu, buku telah disusun tinggal penetapan judulnya. Terjadi perdebatan antara penulis dan pihak keluarga Husein, apakah memakai kata “pahlawan” atau “pejuang”. Akhirnya, diputuskan kata “pejuang” hingga judul bukunya “Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang”. Alasan Mestika Zed, istilah pahlawan sudah sarat dengan muatan politis. Pemerintah Orde Baru telah melakukan politisasi makna. Saya tidak tahu persis apakah penulis tersebut menimbang sosok Ahmad Husein yang dalam teks-teks sejarah dianggap pemberontak karena melakukan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di tahun 1958. Sekali lagi, mungkin saja kata pejuang dianggap lebih netral dari kata pahlawan karena belum mengalami “pemerkosaan” makna.
Istilah pahlawan, pejuang, atau apapun namanya tumbuh sebagai kebutuhan kultural masyarakat. Menurut sejarahwan Taufik Abdullah, masyarakat memerlukan simbol-simbol heroisme. Dalam sosok pahlawan terdapat keteladanan tentang nilai-nilai luhur: semangat pengorbanan, keberanian, loyalitas, dan nasionalisme yang tinggi. Dalam sejarah bangsa-bangsa muncul pahlawan-pahlawan besar. Dalam penulisan sejarah ada yang disebut “great man theory” yang mengatakan sejarah digerakkan oleh orang-orang besar. Kemudian lahirlah pemujaan terhadap para pahlawan.
Sekarang masalahnya, apakah kita memerlukan pahlawan? Bagaimana merelevansikannya dengan konteks kekinian? Salah satu kecenderungan yang menarik untuk diamati adalah menguatnya keinginan masing-masing daerah untuk memunculkan pahlawannya. Era otonomi daerah memang bukan sekedar merevitalisasikan potensi lokal dan jenius lokal, tapi sebuah prestise bagi eksistensi di tengah-tengah masyarakat yang lain. Seolah-olah jika tidak memiliki pahlawan, tidak ada perjuangan merebut kemerdekaan. Maka masyarakat Bengkulu mengusulkan Ir. Indera Tjaja menjadi pahlawan nasional. Masyarakat Sumatera Barat mengajukan nama Siti Manggopoh.
Kenyataan bahwa kebanyakan pahlawan nasional adalah laki-laki mungkin menjadi pekerjaan rumah bagi kaum feminis. Secara ideologis, kepahlawanan memang lekat dengan maskulinitas. Itu memang soal yang akan terus melelahkan.
Dulu pada masa Orde Baru, pak Harto disebut Bapak Pembangunan –jika tidak maksudnya “Pahlawan pembangunan”. Para mahasiswa yang gugur dalam tragedi Semanggi di tahun 1998 disebut “pahlawan reformasi”. Sekarang ketika eranya kenaikan BBM, harusnya ada pahlawanan kenaikan BBM atau sebaliknya pejuang penolak kenaikan BBM.
Yang paling penting sekarang adalah bagaimana kita menghargai pahlawan. Cobalah lihat para veteran. Kebanyakan para pejuang ’45 hidup dalam kemiskinan. Mereka hanya hadir ketika peringatan proklamasi kemerdekaan. Sebagian yang lain menjadi kaya berkat koneksi mereka, selain tentunya bakat individual yang mereka miliki. Ada juga pahlawan masa kini, mereka yang dihargai tidak sepantasnya. Merekalah yang mengharumkan nama bangsa ketika korupsi dan krisis semakin hebat. Para olahragawan, pemenang olimpiade fisika, dan sebagainya.
Berkaca dari narasi pada awal tulisan ini ada beberapa solusi pemikiran yang mungkin dapat didiskusikan. Pertama, perlunya dialog yang intens antar generasi. Semangat ’45 bukan cuma soal bagaimana diwariskan, tetapi juga mentransformasikanya ke dalam tantangan zaman masa kini. Kedua, kepahlawanan bukan semata soal kekuatan fisik dan maskulinitas. Tentu yang lebih penting, makna pahlawan harus didemokratisasikan sehingga tidak lagi elitis. Seseorang dari strata manapun asal memiliki keikhlasan dan kesungguhan untuk mendarmabaktikan tenaga dan pikirannya bagi kemaslahatan umat dan kemajuan bangsanya, juga seorang pahlawan. Pahlawan masa kini bukanlah status yang diberikan, tetapi ia bersemayam di hati rakyat.****
Selengkapnya

Belajar dari Sang Pejuang

Jumat, 31 Juli 2009

Tadi pagi (31/7/2009) saya dan teman dari BPSNT Bandung merekam kesaksian sejarah Bapak R.H. Eddie Soekardi di rumahnya, Jalan Golf Barat, Antapani. Beliau adalah tokoh penting dalam peristiwa Bojongkokosan atau yang terkenal dengan sebutan Pertempuran Konvoy 1945-1946 Cianjur-Sukabumi. Ketika itu beliau menjadi Komandan Brigade II TNI Siliwangi di Sukabumi. Hampir dua jam lamanya, pejuang yang sudah berumur 92 tahun mampu berbicara dengan jernih. Penjelasannya menjangkau ke belakang mengenai konstelasi Perang Dunia sejak Perjanjian Yalta hingga Postdam. Tokoh yang lahir di Sukabumi tanggal 18 Februari 1916, menjelaskan bahwa pertempuran Konvoy merupakan implementasi dari “cinta tanah air adalah sebagian dari iman”. Pelbagai unsur kejuangan mulai dari yang islamis, nasionalis, hingga sosialis bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Peristiwa itu membuktikan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia memiliki semangat tempur yang bahkan melebihi kehebatan tentara Sekutu yang terlatih. Dengan taktik memukul ular berbisa di bagian kepalanya, pejuang RI menyerang iring-iringan 112 truk tentara Sekutu yang baru pulang dari pertempuran di Eropa.

Pak Eddie menyebut pentingnya generasi muda belajar sejarah. Seraya menyitir pepatah berbahasa Inggris, “Orang yang tidak tahu sejarah, tidak akan mengerti hari ini, dan tidak memiliki konsep untuk masa depan”. Pendidikan sejarah harus dikenalkan sejak dini kepada anak-anak. Tujuannya, menanamkan karakter bangsa yang sekarang ini tidak lagi memiliki identitas. Kemerosotan martabat bangsa, dalam pandangan Pak Eddie, adalah karena bangsa ini tidak memiliki karakter, prinsip-prinsip, dan spirit untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Dahulu kita memerdekakan diri dari penjajah, sekarang kita memerdekakan diri dari ketergantungan banga asing. Hidup bermartabat dengan kekuatan sendiri. Hidup mulia dengan kemandirian.

Pak Eddie berpesan agar generasi muda meneladani perjuangan generasi ’45. Ia menyebut bahwa peristiwa Bojongkokosan sebenarnya penegasan terhadap hak-hak kemanusiaan universal. Bahwa siapapun yang merampas kemerdekaan suatu bangsa harus dilawan. Pak Eddie sejatinya berharap bahwa pertempuran Konvoy dijadikan sebagai “Hari Perlawanan Nasional”. Namun, kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan. Ketua Umum Komite Perjuangan Sesepuh Siliwangi ini tidak pernah kehilangan semangat untuk memotivasi generasi harapan bangsa.

Memang, banyak yang dipelajari dari generasi pejuang ’45, antara lain keteguhan hati, semangat pantang menyerah, keberanian, keikhlasan, dan seterusnya. Kita generasi muda sekarang banyak berhutang kepada generasi pejuang. Generasi yang tidak membutuhkan pamrih, penghormatan, dan fasilitas Negara. Karena berjuang memang butuh kesabaran dan pengorbanan. Saya ingat pesan KH Agus Salim, “Leiden is Lijden” (memimpin adalah menderita), jauh dari hingar-bingar popularitas dan publikasi. Kita memiliki cermin terang untuk melihat sosok kita sekarang.****

Selengkapnya

Pemuda, Komitmen Sejarah, dan “Lompatan Katak"

Selasa, 28 Juli 2009

Oleh : Iim Imadudin

Kata Irwin Edwan, “Yang menggerakkan manusia itu adalah mitos, bukan perintah, dongeng, dan bukan akal sehat”. Manusia digerakkan oleh kepercayaannya yang dibentuk oleh kesadaran masa lalu. Mitos muncul ketika kita sulit untuk memberi rasionalisasi terhadap tindakan kita ataupun terjadinya irrelevansi sejarah. Kata sejarawan, peristiwa itu hic et nunc (disini dan sekarang). Manusia bebas memberi tafsir atas peristiwa sepanjang tafsir itu tidak menyeretnya dalam mitologisasi. Sumpah Pemuda dan elemen gerakan kepemudaan sekarang ini sudah mengalami mitologisasi sejarah.

Dalam bahasa Sutardji Caldzoum Bachri, Sumpah Pemuda merupakan “teks puisi” yang memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan negara-bangsa. Menurutnya, “Para penyair” (baca: pemuda) yang menciptakan puisi ini adalah para “Malin Kundang”. Mereka menolak ibu pertiwi mereka, yaitu, daerah atau sukunya serta sejarahnya (kerajaan) masing-masing dan terimajinasi mengambil ibu kandung baru: Indonesia.

Pemuda merupakan agent social of change yang dibesarkan dalam tradisi perlawanan terhadap penjajahan. Organisasi yang berkembang di sekitar awal abad ke-20 dirintis oleh para pemuda, seperti, Budi Oetomo, SI, Jong Java, Jong Islamieten Bond, Perhimpunan Indonesia, dan lain-lain. Pada saat itu, banyak pemuda Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Kesadaran sebagai bangsa Indonesia (saat itu disebut Nederlandsch Indie) mengeratkan hubungan antar mereka hingga berdiri Indische Vereeniging. Rasa nasionalisme yang semakin kuat pada diri pemuda membuat mereka mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereniging pada tahun 1922. Indische Partij juga telah menyumbang pemikiran yang otentik terhadap kebangsaan. Organisasi tersebut didirikan Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat tahun 1922. Partai tersebut tidak berhasil mendapatkan izin, tetapi gagasan yang ditinggalkannya adalah bagian otentik dalam pencarian batas-batas komunitas bangsa. Mereka memperkenalkan radikalisme politik dalam Indische Vereeniging dengan slogannya indie Los van Nederland” (Hindia terlepas dari Belanda). Berikutnya di Bandung berdiri Indonesische Studie Club. Di bawah pimpinan “aktor muda” Soekarno di tahun 1927 lantas mengubah namanya Perserikatan Nasional Indonesia.

Di bawah tekanan penjajah para pemuda melaksanakan Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Politieke Inlichtingen Dienst (semacam polisi rahasia) berusaha menyensor setiap pembicaraan yang menyebut kata-kata merdeka. Namun para pemuda bersikukuh untuk menyuarakan suara kritisnya. Kongres Pemuda Kedua menghasilkan dua keputusan penting, yaitu “Sumpah Pemuda” (meskipun saat itu belum disebut sumpah) dan dibubarkannya organisasi kepemudaan insuler dan Indonesia Muda didirikan.

Gerakan pemuda pada permulaan 1900-an sebenarnya merupakan “anomali sejarah”. Sebab, sebelumnya belum ada gerakan pemuda yang otentik yang tersimpul secara modern. Dikatakan otentik karena gerakan pemuda berangkat dari pikiran-pikiran yang cerdas tentang bagaimana menyikapi situasi. Apalagi cita-cita Belanda untuk meletakkan rust en orde semakin mendekati kenyataan dengan munculnya berbagai larangan untuk berkumpul dan berorganisasi. Namun pemuda mampu mengambil peran yang signifikan di tengahnya derasnya tekanan penjajah.

Pemuda berhasil mengambil jarak dengan situasi yang berkembang untuk kemudian mengabstraksikannya dalam bentuk konsep misi dan visi organisasi. Dengan cara seperti itu, pilihan antara cooperatie dan anti cooperatie lebih merupakan pilihan taktis ketimbang menyangkut bobot nasionalismenya. Meskipun dalam beberapa hal untuk mencermati hal ini dapat dilacak jauh ketika munculnya trias politika. Tapi precipitan sesungguhnya dari hal ini adalah kesadaran kelas sebagai kaum yang terjajah. Para pemuda pada waktu itu telah melakukan “defamiliarisasi” atas bentuk-bentuk primordial menjadi ikatan nasional. Orang tidak lagi berpikir tentang keminangannya, kejawaannya, kesundaannya, dan sebagainya. Mereka merasa bagian dari “nation Indonesia” yang bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Jadi sebetulnya membayangkan Indonesia sebagai negara merdeka barangkali masih merupakan harapan eskatologis. Realitas sosial menunjukkan bagaimana di bawah penjajahan bangsa Indonesia mengalami penzaliman dan tindakan anti kemanusiaan. Kalau kita meminjam pendapat Benedict Anderson –tentang imagined community- tentulah akan berpijak pada kenyataan-kenyataan sosial yang terjadi. Pemuda telah mampu “menyeberangi” realitas sosial masyarakatnya, sekaligus menyambangi bagaimana nikmatnya sebuah kebebasan. Menurut Taufik Abdullah (2000: 32), tahun 1920-an dan 1930-an boleh dikatakan sebagai “dasawarsa ideologi” dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Semua pemikiran diperdebatkan dan dipertentangkan.

Ketika Jepang kalah perang wilayah bekas jajahan Belanda ini mengalami vacuum of power di tahun 1945, pemuda merasakan adanya psycological security. Soekarno, Hatta, dan golongan tua ragu-ragu untuk berbuat dan takut memancing konflik terbuka dengan Jepang. Menurut mereka inilah saatnya untuk mengambil inisiatif untuk merdeka. Para pemuda menculik Soekarno-Hatta dan mendesak mereka agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Keberanian semacam itu menjadi “berkah” di tengah kegamangan dan suasana tidak menentu. Bendera merah-putih dikibarkan, sementara lagu Indonesia Raya berkumandang.

Republik yang baru “kenyang perang” diperhadapkan dengan kenyataan percobaan demokrasi yang keras di tahun 1950-1960. Sementara di sisi lain, Soekarno terus berilusi dengan “revolusi belum selesainya”. Konflik makin mengeras dengan meletusnya G 30 S di tahun 1965. Peristiwa itu menimbulkan konsekuensi sosial politik dan ekonomi yang demikian berat. Para pemuda yang terhimpun ke dalam KAMI dan KAPPI turun ke jalan melakukan protes.

Di tahun 1970-an, kiprah pemuda dan peran-peran kritisnya tidak menguap di telan developmentalisme Orde Baru. Perisiwa MALARI 1974 meskipun dipandang sebagai aksi mahasiwa yang “tidak murni” merupakan akumulasi kekecewaan terhadap praktik kekuasaan yang kapitalistik dan otoriter. NKK/BKK benar-benar telah melumpuhkan aspirasi politik mahasiwa. Akibat nyata yang dirasakan, antara lain tidak tampaknya “kepekaan sosial universitas”. Fakultas ekonomi UI dikritik bekas ketua Dema UI tahun 1950-an, Emil Salim, sebagai “pencetak kapitalis” yang tidak peka sosial (Rahardjo, 1993: 93). Generasi muda 1980-an dan 1990-an secara cerdas merubahnya ke dalam bentuk kelompok diskusi dan gerakan advokasi yang bercorak sosio-kultural.

Reformasi yang menjatuhkan Soeharto tanggal 20 Mei 1998 dipicu dengan meluasnya gelombang aksi massa oleh mahasiswa. Momentum tersebut dipandang sebagai permulaan demokratisasi yang selama 32 tahun terbunuh. Lagi-lagi mahasiwa memberikan “cek kosong”. Mereka kehilangan “jejak” untuk mengontrol lajunya kekuasaan baru.

Ada beberapa “bacaan” terhadap pemuda sekarang. Pertama, pemuda Indonesia sekarang adalah generasi yang dibesarkan pasca trauma Orde Baru yang muncul dengan beban sifat-sifat apolitis, hedonis, dan materialistis. Jargon-jargon yang muncul pada era ini, seperti, pemberdayaan pemuda, pemuda teladan, dan pemuda harapan bangsa -untuk menyebut beberapa contoh- mencerminkan sebuah paradoks. Ada kesenjangan yang cukup lebar antara realita dengan idealita yang diharapkan.

Kedua, pemuda Indonesia sekarang adalah generasi yang berupaya mencari pemahaman baru terhadap apa yang dikenal sebagai “Indonesia baru”. Mereka adalah kelompok yang sesungguhnya tersadarkan oleh kenyataan sosial, ekonomi, dan politik, tapi kemudian terkejut dengan percepatan perubahan yang terjadi. Ini sebuah ironi dari sebuah kelompok yang sebetulnya memiliki andil besar dalam gerakan reformasi menjatuhkan rejim Orde Baru. Mereka hanya jadi semacam “petapa” yang melihat ketidakadilan, lalu turun gunung untuk menghancurkannya, tapi setelah berhasil kemudian mereka terpinggirkan dan “kesepian”. Akhirnya, dilupakan orang.

Ketiga, pemuda Indonesia masa kini adalah pemuda yang sedang mencari celah di tengah kebaikan struktur baru. Perubahan struktural biasanya diikuti dengan sikap optimistik dalam rangka menatap masa depan. Ada pandangan yang cukup kuat bahwa pemerintah baru akan belajar dari kesalahan masa lalu. Sebetulnya ini adalah harapan yang terlalu muluk. Apalagi sebagian orang Indonesia cenderung membebani pemuda dengan terlalu banyak atribut. Di sisi lain, masyarakat kita sering menganggap mereka sebagai biang kericuhan, penyakit sosial, dan kelompok anarkis.

Masyarakat dihadapkan pada usaha menjawab tantangan baru. Persoalan kita adalah bagaimana perubahan ekspresi sosial-kultural sinergis dengan penyediaan ruang publik yang lebih besar untuk pemuda. Sebab, ketika ruang gerak mereka dibatasi atau bahkan ditiadakan, mereka akan muncul dalam dua wujud karakter; apatis terhadap persoalan sosial lalu meneggelamkan diri dalam simbol-simbol hedonisme atau gerakan jalanan tanpa kontrol.

Pada generasi tua, pengaruh masa lalu masih begitu kuat melekat pada dirinya. Mereka tidak dapat melompati “bayangannya sendiri”. Pada pemudalah yang diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya di jaman baru. Generasi Soetomo, Soekarno-Hatta, Soe Hock Gie, dan Ahmad Wahib telah berlalu. Generasi sekarang harus menjawab tantangannya sendiri. Tapi mungkinkah mereka dapat melakukan frog-leaping (lompatan katak) di tengah situasi yang terus berubah?


Selengkapnya

Pergeseran Konsep Jihad dan Sikap Umat Islam Indonesia

Sabtu, 25 Juli 2009

Oleh Iim Imadudin


Menyimak perkembangan kasus teror bom akhir-akhir ini semakin dinamis. Berdasarkan temuan vcd oleh polisi pada saat penyerbuan ke markas teroris di Batu, Malang, tiga tahun lalu terekam pengakuan sejumlah pengikut Azahari. Mereka mengakui teror bom bunuh diri yang dilakukan semata-mata karena jihad melawan musuh Allah. Dalam tayangan vcd tersebut, seorang dengan penutup kepala yang ditengarai polisi adalah Noordin Mohd Top menyatakan mereka akan terus berjihad melawan Amerika, Australia, Inggris, dan Italia sampai mereka hengkang dari Irak dan Afganistan.

Perdebatan tentang makna sesungguhnya dari jihad memang sudah menjadi klasik. Secara garis besar debat tersebut dapat dipetakan menjadi dua, yaitu mereka yang memahami jihad sebagai perang melawan musuh Allah sebagaimana terjadi zaman Rasulullah SAW dan kelompok yang memahami jihad secara lebih luas.

Kelompok pertama sudah terang mengambil nash Al-Qur’an, “walan tardho ‘ankal yahudu walannashoro hatta tattabi’a millatahum” (Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridlo sampai kaum muslimin mengikuti agama mereka). Oleh karena itu peperangan melawan kaum musyrikin akan terus terjadi sepanjang sejarah.

Kelompok kedua menyebut jihad mengangkat senjata hanyalah sebahagian dari pengertian jihad. Nabi Muhammad ketika kembali dari sebuah peperangan mengatakan kepada sahabat, “Roja’na min jihadil ashgor ila jihadil akbar” (Kami kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Sahabat bertanya apa yang dimaksud jihad besar. Jawab Rasulullah, “Memerangi hawa nafsu”. Jihad itu artinya bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu yang baik. Sebagian menyebut ada tiga tahapan, yaitu jihad, ijtihad, dan mujahadah.

Menarik sekali komentar Ahmad Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, tentang jihad ala kelompok pelaku peledakan bom. Ia mengatakan orang-orang itu memahami jihad secara salah. Tegasnya, lanjut Syafi’i, mereka telah mengkhianati seluruh ajaran Islam. Buya yang urang awak itu menyitir ayat Al-Qur’an, “Barangsiapa membunuh satu jiwa sama artinya dengan membunuh seluruh umat manusia”. Para teroris itu telah membunuh kemanusiaan.

Tarik menarik mengenai konsep jihad akarnya memang tidak semata-mata soal teologis. Konstruksi sosial telah membentuk pandangan dunia individu dan kelompok. Di dalamnya terdapat realitas kemiskinan, ketersingkiran, dan ketidakberdayaan. Para pelaku merupakan orang-orang biasa yang hidup seadanya. Mereka bukannya tidak mengerti agama. Malahan mampu membaca Al-Qur’an dengan fasihnya. Indoktrinasi menurut sebuah informasi yang berlangsung beberapa bulan oleh Noordin Mohd Top kepada calon pengikutnya menggambarkan besaran daya pikat gerakan teror ini.

Pengalaman historis umat Islam dalam persentuhannya dengan (kolonialisme) Barat memang terus membuka luka. Setelah perang Salib terjadi kolonialisme Barat terhadap negara-negara dunia ketiga yang notabene adalah umat Islam. Kemerdekaan negara-negara jajahan diraih dengan terlebih dahulu Barat mencabik-cabik negara kaum muslim menjadi negara-negara yang lebih kecil. Pada perkembangan selanjutnya bantuan Barat terhadap negara-negara Islam telah menciptakan tesis ketergantungan dan keterbelakangan. Gerakan intifadah umat Islam di Palestina melawan Yahudi terus berlangsung walau proses perdamaian dengan AS sebagai mediator tidak lantas menciptakan ketentraman. Intervensi AS di Afganistan dan Irak terus mengejar pejuang Islam radikal. Ujungnya muncul organisasi Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden sebagai pelaku teror paling ditakuti di seluruh dunia. Karyanya terbesarnya adalah peledakan Gedung WTC di Amerika Serikat beberapa tahun silam.

Sekarang pertanyaan adalah kapankah gerakan teror yang dilakukan (Sebagian kecil) umat Islam radikal akan berakhir? Jawaban terhadap persoalan itu artinya sama saja dengan pertanyaan kapan kolonialisme Global yang disponsori AS selesai. Sepanjang AS terus menerapkan standar ganda dalam kebijakan luar negerinya, perlawanan akan terus berlangsung. Pada satu sisi mereka memberi bantuan jutaan dolar, di sisi lain mencipta kelompok-kelompok radikal.

Selanjutnya, bagaimana sikap umat Islam di Indonesia? Sebagai bangsa dengan komunitas muslim terbesar di dunia tentu saja jelas. Tindak teror meski mengatasnamakan agama tidak dapat ditoleransi. Apalagi beberapa tahun belakang ini negara kita menjadi medan teror bom Bom Bali I, peledakan Hotel J.W. Marriot, dan Bom Bali II, dan Ritz Charlton sudah lebih dari cukup menyentuh rasa kemanusiaan kita. Tentu saja sekarang cara terbaik tidak selesai dengan mengutuk dan sikap apologetik. Polisi terus memburu Noordin Mohd Top dan beberapa pengikutnya yang belum tertangkap. Pemerintah melalui Wapres Jusuf Kalla mengajak ulama memberi penerangan (pemahaman) kepada masyarakat tentang pengertian jihad yang benar.

Kita harus melihat sikap yang melahirkan teror dari akarnya. Rasa frustasi, bosan, dan ketersingkiran memang seperti ranting kering yang siap dibakar. Radikalisasi yang tercipta dalam struktur yang tidak berkeadilan jelas akan sangat berbahaya. Ketika krisis ekonomi akibat kenaikan BBM kian menghebat muncul orang-orang miskin baru yang makin menambah beban sosial. Cara terbaik tentu dengan mengangkat ekonomi umat Islam sebagai mayoritas bangsa. Pelaku teror jelas tidak merepresentasikan meningkatnya radikalisme umat Islam Indonesia.****

Selengkapnya

‘Renesans’ Ramadhan dan Logoterapi

Oleh Iim Imadudin

Setiap manusia kan diuji dengan sesuatu yang dicintai

Dan setiap manusia tak ada yang sempurna menjalani hidup di dunia,

Allah maha pengasih, Allah maha penyayang

Allah akan maafkan bila kita memohon ampunan

Sebulan lagi kita memasuki Ramadhan. Kegairahan Ramadhan mulai terlihat. Ada yang bersiap mengurangi kegiatan di bulan yang mulia. Ada yang mulai menghitung kebutuhan finansial di bulan Ramadhan. Adapula, sebagian ormas Islam yang menangkapi PSK dan membubarkan tempat-tempat hiburan. Pemerintah mulai mempersiapkan pasokan pangan dan meyakinkan masyarakat bahwa stok beras sudah mencukupi. Pokoknya, semua kalangan menyiapkan dirinya untuk menyambut syahrul mubarok (bulan yang penuh berkah).

Kesiapan fisik dan finansial memang penting, karena momen ini bukan saja ritualitas ukhrawi saja, tetapi bagian dari ekspresi budaya yang profan. Di Sumatera Barat, orang melakukan tradisi balimau (membersihkan diri dengan cara mandi di sumber air). Jika dahulu, bersih-bersih dilakukan dengan limau; sekarang sudah ada sabun mandi yang lebih praktis. Kebiasaan yang sebetulnya berakar dari pemahaman kerohanian bersenyawa dengan perkembangan zaman. Banyak pula masyarakat yang nyekar ke makam orang tua. Sebuah permohonan restu sebelum memasuki kawah candradimuka kemusliman.

Terminal akhir dari puasa di bulan Ramadhan adalah la’allakum tattaqun (agar kamu menjadi orang yang bertakwa), kata Tuhan. Ramadhan, artinya membakar. Membakar dosa-dosa, membunuh hawa nafsu, dan memerangi kejahilan diri. Dalam bulan suci, ada tiga faset kesempatan yang dibukakan Allah. Sepertiga yang pertama turunnya rahmat Allah, sepertiga yang kedua Allah akan ampuni dosa-dosa hamba, dan sepertiga ketiga Allah akan bebaskan hamba dari api neraka.

Masalahnya hamba tahu tentang keutamaan Ramadhan, namun sering melalaikannya. Kata Nabi yang mulia, rubba shoimin laisa lahu min shiyamihi illal ju’ wal ‘aths (Begitu banyak dari orang yang berpuasa, tapi dia tidak mendapatkan apa, kecuali lapar dan dahaga). Dari mana akar soalnya? Victor L. Frankl, seorang psikiater ternama, menganjurkan logoterapi. Logoterapi bertujuan mencari makna hidup. Kata Frankl, Makna hidup seperti bayang-bayang. Ia jangan dicari; tetapi merupakan efek dari sebuah dedikasi. Kebahagian muncul karena pekerjaan-pekerjaan yang membuat seorang dengan sukarela melakukannya, tanpa beban bagai burung yang bebas.

Bahkan, lanjut Frankl, dalam penderitaan ada makna hidup. Seorang yang mengalami derita, akan berakhir dengan bahagia, jika ia menghayati maknanya. Penderitaan harus dilalui dengan sifat ksatria. Kekuatan jiwa akan membuat orang yang teraniaya secara fisik nampak bahagia. Wajahnya memancarkan kepasrahan sekaligus ketabahan dan ketangguhan.

Para pewaris singgasana pada masa kerajaan tradisional harus menjalani ritual dibuang. Para bhiksu tinggal di hutan-hutan mengasingkan diri untuk lepas dari samsara. Rasul yang agung menyepi di gua Hira untuk introspeksi dan memohon petunjuk Allah.

Apa memang kebahagian itu harus melalui derita? Kata Tuhan manusia belum dianggap beriman, sampai dia diuji. Derita adalah katarsis kehidupan yang membuat seseorang menjadi lebih bijak dan lebih cerdas memahami diri dan lingkungannya.

Tentu saja akan menimbulkan debat yang panjang jika puasa dianggap derita. Masih banyak orang di negeri ini yang terbiasa hidup susah. Sehari makan, sehari tidak. Itupun dengan nilai gizi yang rendah. Bagi kita yang biasa makan enak, mungkin hari pertama berat, tapi hari-hari berikutnya akan lebih mudah. Apalagi hari-hari menjelang lebaran, hampir-hampir tidak terasa, karena sebagian kita sibuk mempercantik rumah, diri, dan keluarga menyambut lebaran raya.

Frankl mengutip Dostoevsky- menegaskan kekuatan orang-orang yang terpenjara di kamp-kamp konsentrasi. Katanya, “Manusia dapat hidup dalam kondisi apapun”. Jika tidak makan tidak minum relatif bukan dianggap sebuah derita, maka derita itu merupakan efek dari membebaskan hawa nafsu. Sebagian dari kita –bahkan kebanyakan manusia karena fitrahnya- suka pada kesenangan. Perilaku konsumtif dan hidup yang hedonis mempertuhan materi adalah tantangan kemanusiaan abad kini. Memperturutkan hawa nafsu laiknya binatang membuat manusia kehilangan esensi kemanusiaannya. Akal berjalan, tetapi harus dibimbing dengan hati. Kata Al-Gazali, “Qolbun hayyun, wanafsun maituhu” (Hati dihidupkan, dan nafsu dibunuh).

Pertempuran bulan Ramadhan merupakan perjuangan ruhaniah. Mengutip buya Muhammad Natsir, “Kita boleh kalah dalam pertempuran-pertempuran (kecil), tetapi jangan kalah dalam peperangan (besar)”. Satu dua kali kita mungkin tergelincir, karena tidak ada manusia yang sempurna, untuk kemudian membangun kesadaran baru menjadi muslim yang lebih saleh.

Sahabat sempat terkaget-kaget, ketika Rasul mengatakan bahwa peperangan hebat yang baru saja dimenangkannya masih kalah oleh peperangan yang lain (roja’na min jihadil ashgori ila jihadil akbari). Seraya tersenyum Rasul menenangkan sahabat bahwa yang dimaksud peperangan besar itu memerangi hawa nafsu.

Bagaiman caranya? Komitmen kemusliman yang teguh. Kita hidup pada masa dimana, hitam dan putih tidak terpetakan dengan baik. Kita hidup dalam dunia yang samar. Seorang muslim tidak cukup mengaku dirinya muslim. Namun, harus terpancar dari akhlaknya yang tumbuh dari keyakinan individualnya.

Kultur masyarakat kita memang masih feodal. Keteladanan dari tokoh-tokoh, orang tua, penguasa menjadi hal yang menentukan. Apa yang dilakukan mereka biasanya ditiru. Masalahnya tentu saja kita tidak mengharapkan orang lain untuk berbuat. Teladan harus dimulai dari diri sendiri (ibda’ binafsik). Setelah itu keluarga, masyarakat, bangsa, dan umat secara keseluruhan. Kesalehan sosial harus dimulai dari kesalehan individual. Bukankah kaidah ushul menyatakan, “La yudraku kulluhu, la yutroku kulluhu”(Apa yang tidak bisa dikerjakannya seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya).****

Selengkapnya

Tantangan Demokratisasi Kultural Sunda

Jumat, 24 Juli 2009

Oleh: Iim Imadudin

Kesadaran etnisitas bergerak secara dinami tumbuh dari adanya krisis identitas dan eksistensi. Krisis tersebut muncul akibat gerak sejarah menyangkut eksistensi etnis tersebut antara yang bergerak secara legal formal dan mengikuti alur kultur yang alamiah. Budaya Sunda yang pada dasarnya bersifat terbuka mengalami ujian sejarah. Di dalam kalangan internal kebudayaannya muncul kehendak untuk lebih mengeksistensikan dirinya. Namun, kesadaran baru yang tumbuh pada masyarakat Sunda kemudian ialah pemahaman bahwa kelompok-kelompok etnis hidup dan saling berinteraksi dalam ruang kemajemukan.

Pendahuluan

Jika meminjam istilah Indra Jaya Piliang, elit Sunda sekarang sedang memegang “bola api demokrasi”. “Bola api” diandaikan sebagai sejenis permainan yang sangat membahayakan pemainnya. Secara peristilahan “bola api demokrasi” didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mengganggu kehidupan demokrasi yang sedang berlangsung. Liputan Kompas (15,16,17/12/2005) dan Pikiran Rakyat (12/12/2005) menyebutkan beberapa tokoh Sunda yang tergabung dalam Paguyuban Pasundan (PP) memprotes kebijakan Presiden SBY mengganti dua menteri putra Sunda dalam Kabinet Indonesia Bersatu, Yusuf Anwar dan Andung Nitimiharja. Kebijakan itu dinilai sebagai meminggirkan kiprah elit Sunda di pentas nasional. Selanjutnya muncul pro dan kontra terhadap reaksi pengurus PP. Apabila disimpulkan terdapat dua “arus utama” pandangan yang mencuat. Pertama, mereka yang tetap menganggap penting prinsip keterwakilan etnis dalam perpolitikan nasional. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa mengedepankan semangat primordialisme hanya akan kontraproduktif bagi pembangunan bangsa.

Sejarawan Nina H. Lubis menyebut respon pengurus PP sebagai fenomena baru dalam tradisi elit Sunda yang berani menyatakan sikap secara terbuka. Pada dasarnya, budaya politik orang Sunda itu siger tengah (mencari posisi yang aman). Antropolog Budi Rajab menyebutnya sebagai ketidakmampuan elit Sunda mengadaptasi visi dan misi perubahan. Budayawan Sunda, Saini K.M. mengatakan kapabilitas personal tidak ada hubungannya dengan etnisitas. Oleh karena itu, orang Sunda harus lebih terbuka sehingga tidak emosional.

Diskursus tentang eksistensi Ki Sunda agaknya sudah menjadi klasik, namun tetap menarik diperbincangkan. Di dalamnya terdapat kecemasan-kecemasan dan harapan sekaligus. Perdebatan yang tidak pernah lebih maju dari kurun waktu sebelumnya membuktikan minimnya momentum untuk mengekspresikan diri. Dialognya hanya melingkupi orang-orang yang itu-itu saja dengan topik yang terbatas.

Menurut hemat penulis, pernyataan di atas tidak cukup membantu mengangkat peran politik orang Sunda di pentas nasional. Pernyataan tersebut lebih merupakan otokritik terhadap kondisi-kondisi internal. Apalagi ketika profesionalitas menjadi ikon zamannya, “protes” seperti itu cenderung dimaknai sebagai resistensi terhadap sistem yang berlaku. Padahal dalam beberapa budaya politik yang pernah dijalankan, meski dalam posisi yang menguntungkan, etnis Sunda tidak mengambil peran yang terlalu dominan. Tulisan di bawah ini mencoba mendeskripsikan beberapa persoalan internal, demokratisasi budaya, dan aktualisasi politik ki Sunda.

Krisis-krisis Internal

Pada dasarnya sejak konsep negara-bangsa ditegakkan sudah ada kesepakatan untuk menjadikan Indonesia sebagai “rumah baru” menggantikan rumah-rumah lokal yang sudah ada sebelumnya. Sutatdji Calzoum Bachri (2001) menyebut posisi pemimpin bangsa waktu itu sebagai Malin Kundang yang “durhaka” dengan meninggalkan”ibu kandung lokal” beralih ke “ibu nasional”. Hanya saja, eksistensi kelompok etnik kerap mengalami dinamika yang cukup drastis sebagai akibat intervensi negara. Formasi sosial politik yang mengepung eksistensi kelompok etnik sangat “cair”, karena dinamika sejarah yang sering berubah.

Mewacanakan soal representasi etnik dalam politik nasional hari ini lebih merupakan peneguhan sikap yang berangkat dari krisis-krisis internal dalam alam pikiran kelompok etnik. Sebagai contoh, dahulu etnik Minangkabau pernah mengalami krisis internal yang nyaris menggoncangkan seluruh sendi kehidupan secara keseluruhan akibat penumpasan PRRI (Pemerintah Revolusional Republik Indonesia). Ketika itu muncul stigma “Orang Minang kalah perang”. Terjadi krisis psikologis yang berakibat adanya perasaan inferioritas. Kelompok etnik yang pernah menyumbangkan putra terbaiknya dalam pencarian identitas bangsa dan perjuangan kemerdekaan, menjadi etnik yang dikalahkan. Gubernur Harun Sumatera Barat Harun Zain mengerek “Strategi Harga Diri” dalam rangka memulihkan martabat orang Minang. Dalam perjalanan sejarahnya, usaha mempertanyakan eksistensi etnik Minang dalam pergaulan antar sukubangsa terus berlangsung sampai hari ini. Suatu ketika Gus Dur melempar “bola Panas” dengan menyebut pemikiran orang Minang mandek. Reaksi yang positif dan negatif pun bermunculan.

Agaknya proses yang sama dialami orang Sunda dengan irama dan aksentuasi yang berbeda sesuai dengan tipikal Sunda yang lembut. Orang-orang Sunda yang pernah mempunyai tokoh nasional sekaliber Iwa Kusuma Sumantri, Djuanda Kartawidajaja, Otto Iskandardinata, Mochtar Kusumaatmaja, dan lain-lain agaknya risau dengan kenyataan politik yang tidak menguntungkan. Komposisi anggota DPRD Tk. I Jawab Barat, seperti yang disebut Setia Permana (2004), didominasi oleh orang non Sunda sungguh mengkhawatirkan sebagian elit Sunda. Demikian pula, pada jajaran birokrasi di pusat dan daerah terjadi kecenderungan yang sama. Pelan-pelan mereka tidak lagi menjadi tuan di ranahnya sendiri. Maka, jika sebagian elit Sunda memunculkan isu primodial dalam proses politik dapat dibaca sebagai upaya mencari keseimbangan dalam konstruksi bangunan kehidupan antar kelompok etnik dalam wadah kebangsaan. Bandung yang mewakili daerah Sunda seolah-olah terjepit dalam poros Jakarta-Yogyakarta. Terdapat kegamangan dalam mereposisikan peran sosiologis pada masyarakat yang terus berubah. Sunda seolah-olah sudah lebur dalam konsepsi nasionalitas kultur yang memusat sentripetal ke Jakarta.

Etnisitas sejatinya bersifat askriptif, tidak dapat dihilangkan, namun bisa tidak dipakai. Soal etnis tergantung bagaimana negara mengelolanya. Dahulu masa Orde Baru soal etnis (SARA) menjadi hantu yang menakutkan. Berbicara SARA berarti mengancam kestabilan negara. Orang menjadi takut untuk menegaskan identitas sukubangsanya. Kebudayaan berbagai sukubangsa dikumpulkan dalam etalase kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah. Maka, dibangunlah Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII) yang berdiri dengan megahnya sebagai simbol ketundukan etnik terhadap negara. Kelompok etnik diredupkan peranannya dalam ruang-ruang sosial politik. Meski, misalnya pada masa itu sulit untuk tidak mengatakan Jawa sebagai “arus besar” dalam budaya politik nasional.

Masyarakat Sunda dikenal suka makan lalab-lalaban (sayur-sayuran). Konsumsi makan yang sebenarnya menyehatkan itu ditengarai mengembangkan masyarakat dengan karakter budaya yang lembut dan kurang kompetitif. Pendapat itu mungkin mengadopsi mentah-mentah pemikiran Aristoteles yang mengatakan bangsa-bangsa yang maju berasal dari masyarakat yang menghadapi tantangan alam yang berat.

Tantangan terbesar terletak pada kemampuan komunitasnya dalam mengadaptasi perubahan-perubahan. Dalam konteks ini, masyarakat Sunda harus mampu mentransformasikan kebudayaannya. Dahulu selalu ada ungkapan, “Jika kelompok mayoritas mapan, maka minoritas aman”. Sekarang, ungkapan itu agaknya sudah terpinggirkan secara wacana. Meski, dalam kenyataannya, terutama menyangkut hal yang strategis, dominasi tetap terasa. Ada semacam sentimen emosional menjadi tuan di tanahnya sendiri. Istilah populernya “Putra Asli Daerah”. Salah satu diktum dari teori fungsional struktural menurut van den Berghe dalam Lauer (1993) adalah integrasi sempurna tak pernah terwujud, setiap sistem mengalami ketegangan dan penyimpangan, namun cenderung dinetralisir melalui institusionalisasi.

Bandung sebagai pusat kekuasaan politik orang Sunda sekarang adalah kota metropolitan tempat berseminya ide-ide baru fashion, “kawah candradimuka” grup Band terkenal, dan budaya pop lainnya. Apa yang sedang trend di Bandung dengan segera diikuti daerah-daerah lain di Indonesia. Ada semacam gengsi sosial ketika mengikatkan diri kita dengan Bandung. Saya yang pernah bekerja di Padang selama lima tahun selalu berkata dari Bandung, meski sebenarnya orang Cikampek. Rekan-rekan yang orang Padang dengan bangga menyebutkan bahwa saya kawannya dari Bandung.

Bandung secara kultural sulit mengklaim dirinya sebagai pusat kebudayaan Sunda, seperti halnya Yogyakarta bagi kebudayaan Jawa. Secara kultural yang ada hanya konsep wilayah Priangan, yang meliputi Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, dan Sukabumi. Ada konsep Priangan (pusat) dan Pantai Utara/Selatan (Pesisir). Otoritas kultural amat terbatas ada pada wilayah berkesenian. Dengan ketiadaan primus inter pares itu, masing-masing daerah di Jawa Barat menegaskan identitasnya sendiri: wargi Karawang, wargi Sumedang, dan seterusnya.

Tumbuhnya gengsi sosial selalu menimbulkan kejenuhan ketika tidak diiringi dengan usaha meningkatkan kualitas. Masyarakat yang berasal dari berbagai daerah mengadu nasib ke Bandung. Sebagian dari mereka termasuk kelas menengah yang terdidik dan terampil. Dalam waktu yang tidak lama mereka mengambil peran penting menggeser orang-orang Sunda. Dalam jangka panjang sangat mungkin timbul resistensi sosial yang tercipta melalui radikalisasi massa dan ekspresi weapon of the weakness-nya James C. Scott (senjatanya orang-orang kalah). Radikalisasi dapat muncul mungkin melalui simbol-simbol keagamaan, kultur, bahkan kemiskinan. Radikalisasi tidak harus kekerasan fisik, dapat juga agresifitas dan sikap yang ofresif. Ketersingkiran sosial –meminjam istilah Scott- akan menciptakan sikap ekstrim yang lain: malas, tidak disiplin, dan maunya sendiri. Pokoknya sikap yang merusak keberaturan.

Tantangan cukup kuat memang terletak pada prestise di bidang pendidikan. Perguruan tinggi yang ada di Bandung dianggap kurang mampu menciptakan mazhab keilmuan yang menjadi kiblat bagi perguruan tinggi lain di Indonesia. Sementara tradisi intelektualnya tertahan dalam sekat-sekat materialisme dan hedonisme.

Dalam sistem internal orang Sunda terjadi pergeseran cara pandang. Sebuah penelitian yang dilakukan Yus Rusyana dan kawan-kawan (1988/1989) menyiratkan gambaran tersebut. Dahulu orang Sunda menganut bengkung ngariung bongkok ngaronyok (hidup bersama agar tidak jauh dari keluarga), sekarang mereka berusaha agar selalu sejahtera bersama keluarga. Dahulu orang Sunda harus bersabar walau sikap orang lain tidak wajar, sekarang mereka akan berterima sepanjang sikap orang lain wajar. Dahulu orang Sunda menganut sineger tengah, yaitu hidup layak tidak bermewah-mewahan juga tidak berkekurangan, sekarang mereka harus meraih apa yang bisa didapat. Jika tidak dapat, cukup dengan apa yang terjangkau.

Orang Sunda sebetulnya memiliki pengalaman kehidupan multietnik yang berjalan dengan damai. Migrasi orang-orang non etnik Sunda relatif berlangsung mulus karena penerimaan yang terbuka dari masyarakat setempat. Sebagian besar orang-orang perantau itu datang ke pusat-pusat kota sebagai jantung pemerintahan, ekonomi, dan menggeliatnya industrialisasi. Jika terjadi pergesekan antara warga setempat dengan pendatang jumlahnya tidak terlalu signifikan. Dengan demikian, hal tersebut tidak merepresentasikan adanya konflik antar warga.

Dohrenwend dan Smith dalam (Lauer, 1993: 406) mengemukakan empat kemungkinan arah perubahan yang dapat dihasilkan dari kontak dua kebudayaan :

1. Pengasingan, menyangkut pembuangan cara-cara tradisional oleh anggota pendukung satu kebudayaan tanpa menerima cara-cara kebudayaan lain;

2. Reorientasi, menyangkut perubahan ke arah penerimaan strujktur normatif kebudayaan lain;

3. Penguatan kembali (reaffirmation) kebudayaan tradisional diperkokoh kembali;

4. Penataan kembali, kemunculan bentuk-bentuk baru seperti yang ditemukan dalam gerakan utopia.

Orang Sunda meminjam penelitian Ajip Rosyidi (1984) terhadap karya Sastra Sunda adalah orang-orang percaya diri, terbuka terhadap kritik, taat terhadap pemerintah, pembawaan sungguh-sungguh, dan jujur. Sebagian peneliti menyebut bahwa orang Sunda itu optimistis, berwawasan terbuka, namun perasa. Kiranya karakteristik tersebut dapat dijadikan sebagai modal untuk mengangkat derajat kemanusiaan dan kesejahteraannya.

Agenda Kultural dan Politik

Ada beberapa agenda yang penting yang perlu dilakukan memperkuat tumbuhnya kepemimpinan Sunda dalam berbagai bidang.

Pertama, pelestarian nilai-nilai kepeloporan yang terkandung dalam tradisi Sunda hendaknya tidak dilakukan secara defensif. Harus ada proses kreatif yang terus ditransformasikan ke dalam ruang-ruang budaya. Selama ini melestarikan seolah-olah berarti tidak menerima unsur-unsur baru yang dapat memperkaya nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal.

Kedua, pendidikan kesukubangsaan hendaknya diarahkan pada upaya mencari nilai-nilai positif dalam tradisi dengan menghindari sikap yang memupuk etnosentrisme. Warisan sejarah dan budaya dalam perjalanan bangsa menunjukkan adanya jaringan kolektif antar daerah dan etnik di Indonesia.

Ketiga, secara lebih luas masa depan sebuah entitas kultural ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusianya. Tantangan di masa depan hanya dapat dimenangkan oleh pemilik dari budaya unggul. Meski etnisitas tidak berkorelasi dengan keunggulan, namun stereotip etnis yang positif harus dikembangkan.

Keempat, era otonomi daerah hendaknya dimaknai sebagai proses meneguhkan identitas etnik dan menyesuaikannya dalam situasi yang terus berubah. Etnisitas yang sifatnya askriptif itu harus mampu mendorong tergalinya potensi-potensi lokal.

Kelima, perlu ada dukungan yang kuat dari kolektif orang Sunda yang dapat menopang anggotanya mencapai prestasi yang mengangkat pamor kesundaan. Dukungan tentu harus diberikan dengan memperhitungkan kemampuan seseorang.

Penutup

“Demokrasi lokal” dapat menjadi alternatif bagi demokrasi nasional yang sedang mengalami disfungsi sosial akibat hegemoni Orde Baru. Orang Sunda memiliki banyak kesempatan untuk merekonstruksikan nilai-nilai kelokalannya dalam hidup bersama kelompok etnik-etnik lain. Inilah mementum terbaik untuk meneguhkan kembali identitas etnik di tengah tantangan kehidupan yang semakin kompleks.

Perspektif kepemimpinan Sunda hendaknya tidak selalu dilihat sebagai kembali ke masa lalu. Banyak kelompok etnik yang berupaya membangkitkan batang terendam kebudayaan lokalnya dengan mengadaptasinya dalam perspektif modern. Orang Sunda meski tidak dapat lagi menetapkan garis teritorial-genealogisnya secara jelas, memiliki kesanggupan menegaskan identitas etnik tanpa terjebak dengan inward looking (pandangan yang terlalu ke dalam).****

Daftar Sumber

Harsojo. 1983. “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Lauer, Robert H. 1993. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Permana, Setia. “Konsep Kepemimpinan Sunda di Persimpangan Jalan, Makalah dalam Diskusi Kepemimpinan Sunda dalam Perspektif Sejarah, 17-18 September 2003, Museum Mandala Wangsit Bandung.

Rusyana, Yus dkk. 1988/1989. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa ini Tahap III. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Bagpro Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Depdikbud.

Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Selengkapnya