A Survivor’s story: Lance Armstrong (Bacaan yang belum selesai….)

Kamis, 10 Desember 2009


Ada untungnya juga berkantor dekat industri penerbitan, seperti Mizan di Cinambo Ujungberung. Kemarin (9/12/2009) saya membeli sejumlah buku dengan harga murah dalam suatu pesta buku di tempat tersebut. Salah satu buku yang saya beli “Survivor’s story”.
Buku yang berlabel diskon 40 persen itu ditulis pelakunya sendiri, Lance Armstrong dan wartawan Sally Jenkins. Buku itu sudah cukup lawas. Dahulu saya mengetahuinya melalui acara Oprah Winfrey Show di Metro TV. Ketika itu Oprah menghadirkan Lance Armstrong. Dengan mengenakan gelang bertuliskan livestrong, Lance mengisahkan kembali perjuangannya melawan kanker testikel di tahun 1996 dan bangkit dari keterpurukan menjadi pemuncak salah salah satu kegiatan olahraga yang paling berkelas “Tour d’France”. Menurut saya kisahnya sangat inspiratif mengajak orang untuk memotivasi diri sehebat mungkin.

Kini buku dengan cover pembalap sepeda tersebut berada di tangan saya. Tadi malam pelan-pelan saya buka. Halaman demi halaman. Saya memang memiliki kebiasaan melihat sekilas kualitas buku dari cover-nya. Kalau covernya sudah eye catching dan pesan yang ingin disampaikan buku terwakili oleh cover, itulah buku yang baik, menurut saya. Kembali pada isi buku.

Lance memandang bahwa masa lalu amat menentukan masa depan. Ia mengisahkan pengalaman masa kecilnya yang cukup rumit. Dibesarkan hanya oleh ibu, karena sejak usia dua tahun orang tuanya bercerai. Lance kecil tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Ia menyaksikan bagaimana ibunya mencari sesuap nasi dengan berpindah-pindah pekerjaan. Ibunya kemudian menikah seorang pria bernama Terry Armstrong. Ayah tirinya digambarkan sebagai sosok yang keras. Berkali-kali ia harus menghadapi cambukan ayahnya, jika lupa merapikan lemari baju, umpamanya. Rasa sakit akibat cambukan itu membuatnya semakin kuat. Di sinilah arti penting persentuhannya dengan dunia sepeda. Di tengah situasi yang kadang merampas hak kanak-kanaknya, Lance senang berseda. Ketika berada di atas pedal, ia sungguh merasakan kebebasan dan kemerdekaan. Ia bebas untuk mengayuhkan sepeda ke arah mana pun. Ia merdeka untuk memutuskan apakah harus berhenti atau terus melaju. Seakan beban dunia sirna sudah. Ayah tirinya kemudian diceraikan sang ibu, Linda, karena terlibat perselingkuhan. Perihal bapak genetiknya, Lance menganggapnya tidak lagi penting. Sang ayah biologis hanya menitipkan DNA dalam tubuhnya. Di luar itu, tidak ada hubungan apa-apa lagi. Lance sama sekali tidak berminat mengenalnya.

Lance menceritakan bagaimana pertemuannya dengan salah salah peyakit paling mematikan ‘kanker’. Bagaimana rasanya seseorang yang sedang berada di puncak prestasi, ketenaran, dan kelimpahan materi tiba-tiba harus berhadapan dengan kenyataan karir yang membesarkan namanya sudah tamat. Dalam suasana kalut tersebut yang diingatnya, bukan bagaimana kalau penyakit tersebut membuatnya meninggal, tetapi bagaimana kalau ia tidak bersepeda lagi. Menurut saya, inilah wujud dari kecintaan yang luar biasa terhadap profesinya. Baginya, yang lebih penting bukan “adanya” tapi “apanya”.

Saya memang belum tuntas membaca buku tersebut. Namun, ledakan yang hebat dari buku itu membuat saya pagi ini mengulas kisah yang belum selesai. Lihatlah ungkapan yang meletup-letup dari penggalan beberapa paragraf di buku ini:

 Orang-orang yang baik dan kuat terjangkit kanker, dan mereka melakukan segala hal yang benar untuk melakukannya, tetapi mereka tetap meninggal.
 Profesiku telah mengajariku untuk bersaing melawan ketidakmungkinan dan tantangan-tantangan besar.
 Pertanyaannya bukan bagaimana kanker telah mengubah dirimu, tetapi sejauh mana kanker tidak mengubah dirimu.
 Orang akan hidup, dengan berbagai cara yang paling menakjubkan.
 Ketika aku sakit, aku melihat lebih banyak keindahan, kemenangan, dan kebenaran setiap harinya dibandingkan saat aku masih berbalap sepeda.
 Para atlet, terutama pesepeda, selalu berada dalam pusaran penolakan atas semua rasa sakit dan nyeri, karena itulah yang kau butuhkan agar bisa menyelesaikan perlombaan.
 Setiap kali dia berkata, “Buatlah hambatan menjadi kesempatan, buatlah negatif menjadi positif”.

Bagi sahabat, saya sarankan membaca buku ini. Meski sudah cukup lama, spiritnya dapat mendorong kita untuk melalui kenyataan hari ini dan esok dengan kepala tegak dan jiwa besar. Mungkin akan ada kesulitan dan musibah yang kita hadapi kelak. Namun, yakinlah bahwa musibah itu sebenarnya merupakan ujian yang akan membuat E,S, I (emosional, spiritual, dan intelektual) kita “naik kelas”. Kualitas yang baik tidak akan terlihat tanpa ada ujian. Bukankah Tuhan berkata, “Kamu belum beriman hingga kamu diuji”. Jadi, seperti Lance, mari kita kepalkan tangan, munculkan keberanian, keteguhan hati, dan kesabaran. Live strong, live strong !!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kisah yang menyentuh..

Posting Komentar