Negosiasi dengan Takdir

Selasa, 04 Agustus 2009

Oleh Iim Imadudin

Menarik sekali menyimak uraian Komaruddin Hidayat dalam acara “Great Lecture” yang ditayangkan Metro TV Minggu (8/10). Komaruddin menyebut ada takdir yang absolut yang sudah digariskan Allah, dan adapula wilayah yang manusia bisa merubahnya. Ia mencontohkan bahwa takdir air adalah mengalir, takdirnya matahari adalah menerangi, takdirnya api, panas. Semua itu takdir yang manusia tidak kuasa atasnya. Takdir yang manusia dapat mengubahnya, adalah misalnya takdir siang itu panas, maka manusia harus menegosiasikan takdirnya dengan mencipta payung agar tidak kepanasan.

Saya ingat dahulu, Khalifah Umar ibn Khattab pernah bermaksud berkunjung ke Basyrah (Syam?). Kunjungannya urung dilakukan, karena di sana berjangkit penyakit. Umar bilang kita berpindah dari takdir buruk menuju takdir baik.

Perkara takdir, kita akan ingat kepada perdebatan sejarah antara jabbariyah dengan kodaryiyah. Yang satu menyatakan bahwa bahwa takdir itu mutlak, dan manusia sama sekali tidak mengubahnya. Aliran ini disebut fatalism. Sementara yang kedua menyatakan bahwa manusia memiliki kuasa untuk mengubah takdir. Di tengah-tengah antara jabbariyah dengan kodariyah, ada kelompok ahlussunnah waljamaah. Ada pula kaum mu’tazilah yang menganggap bahwa akal adalah segalanya.

Kemunduran Islam pada masa lalu, menurut para ahli, disebabkan kefanatikannya kepada jabbariyah. Sementara Barat yang Kristen maju karena mereka mengubah takdirnya, menjadi bangsa yang unggul. Jan Romein, ahli Indonesia orang Belanda, menyebut bahwa kemajuan Barat merupakan penyimpangan dari pola umum peradaban. Romein ingin menyebut bahwa penghambaan terhadap materialisme dan humanisme dengan semangat antroposentrisnya yang membuat mereka maju. Syeikh Syakib Arsalan dalam risalahnya “lima dza taakhorol muslimun, walimadza taqodama ghoiruhum”, menjelaskan ketertinggalan umat Islam sebagai kurang dioptimalkannya penggunaan rasionalitas, meski Syakib agak enggan menyebutkannya.

Saya sedang mencoba melakukan dialektika dengan takdir. Apa sih yang disebut takdir itu? Pada wilayah mana saya harus menempatkan rasio dan iman sebenarnya?

Takdir berasal dari kata “qodaro, yaqdaru, qodron, taqdiron”, asal mula kata artinya ukuran, perkiraan. Menyimak dari unsur pembentuk katanya, takdir berarti ukuran atau garis yang sudah ditetapkan. Firman Allah menyebutkan, manusia diberikan dua jalan (wahadaynahun najdain). Jalan tersebut Allah berikan dengan pilihan-pilihan. Ada lagi kalam ilahi yang sangat populer, “innallaha la yughoyyiru ma biqowmin hatta yughoyyiru ma bi anfusihim” (Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib kaum, sampai mereka mengubah nasib mereka sendiri).

Dalam sejarah Indonesia, salah satu unsur pengobar semangat nasionalisme melawan penjajahan adalah pendidikan. Pramudya Ananta toer menggambarkan pendidikan pribumi di tengah kalangan Eropa dalam “Bumi Manusia”. Minke digambarkan sebagai pemuda pribumi yang langka mengikuti pendidikan Belanda. Ia harus menanggung beban psikologis bangsa terjajah. Ketika itu pemerintah Belanda membawa aparat administrasi sedikit jumlahnya. Untuk keperluan administrasi, Belanda membuka keran pendidikan bagi pribumi. Model pendidikannya dibuat bertingkat-tingkat, mulai dari volkschool yang paling rendah, HIS, MULO, sampai OSVIA atau STOVIA yang paling bergengsi. Pendidikan yang pada awalnya dipersiapkan sebagai tenaga teknis administrasi, pada akhirnya memunculkan sosok intelektual yang sadar dengan keadaannya. Ada kehendak dan tanggung jawab yang besar untuk menarik bangsa dari pusaran kemiskinan, kehinaan, dan penindasan. Sebuah nagari di Sumatera Barat, Koto Gadang, sebagian besar penduduknya merupakan tokoh intelektual, sehingga terkenal sebutan “angku doto dari Koto Gadang” (Tuan dokter dari Koto Gadang).

Pendidikan merupakan sarana manusia mengubah takdirnya. Para pemuda pribumi ketika itu sadar bahwa hanya dengan pendidikan mereka menjadi manusia yang cerdas. Kecerdasan membuat mereka menjadi kritis tanpa kehilangan identitasnya.
Negosiasi dengan takdir sebetulnya menyangkut penalaran, pertimbangan, dan tindakan. Tiga unsur itu mewakili akal, rasa, dan aksi. Agar ketiga unsur tersebut tidak melenceng, iman memandunya. Rasa dekat dengan humanisme. Kesadaran terhadap kesejatian diri membuat orang akan berempati dengan nasib orang.

Dalam bahasa saya, takdir merupakan perpaduan do’a dan ikhtiar yang penuh harap. Selama hayat masih dikandung badan, takdir bukan saja dapat, tetapi harus diperjuangkan. Kehidupan manusia merupakan pergulatan tanpa akhir, karena menyangkut wilayah duniawi dan ukhrawi. Aneka cobaan dan musibah yang menimpa kita sesungguhnya merupakan arena mentrasnformasikan takdir kita lebih baik dan bermakna.***

0 komentar:

Posting Komentar