Minggu, 02 Agustus 2009
Oleh Iim ImadudinPada tahun 2001 sejarahwan Minangkabau Mestika Zed dan Hasril Chaniago menulis biografi tokoh PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Ahmad Husein. Ketika itu, buku telah disusun tinggal penetapan judulnya. Terjadi perdebatan antara penulis dan pihak keluarga Husein, apakah memakai kata “pahlawan” atau “pejuang”. Akhirnya, diputuskan kata “pejuang” hingga judul bukunya “Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang”. Alasan Mestika Zed, istilah pahlawan sudah sarat dengan muatan politis. Pemerintah Orde Baru telah melakukan politisasi makna. Saya tidak tahu persis apakah penulis tersebut menimbang sosok Ahmad Husein yang dalam teks-teks sejarah dianggap pemberontak karena melakukan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di tahun 1958. Sekali lagi, mungkin saja kata pejuang dianggap lebih netral dari kata pahlawan karena belum mengalami “pemerkosaan” makna.
Istilah pahlawan, pejuang, atau apapun namanya tumbuh sebagai kebutuhan kultural masyarakat. Menurut sejarahwan Taufik Abdullah, masyarakat memerlukan simbol-simbol heroisme. Dalam sosok pahlawan terdapat keteladanan tentang nilai-nilai luhur: semangat pengorbanan, keberanian, loyalitas, dan nasionalisme yang tinggi. Dalam sejarah bangsa-bangsa muncul pahlawan-pahlawan besar. Dalam penulisan sejarah ada yang disebut “great man theory” yang mengatakan sejarah digerakkan oleh orang-orang besar. Kemudian lahirlah pemujaan terhadap para pahlawan.
Sekarang masalahnya, apakah kita memerlukan pahlawan? Bagaimana merelevansikannya dengan konteks kekinian? Salah satu kecenderungan yang menarik untuk diamati adalah menguatnya keinginan masing-masing daerah untuk memunculkan pahlawannya. Era otonomi daerah memang bukan sekedar merevitalisasikan potensi lokal dan jenius lokal, tapi sebuah prestise bagi eksistensi di tengah-tengah masyarakat yang lain. Seolah-olah jika tidak memiliki pahlawan, tidak ada perjuangan merebut kemerdekaan. Maka masyarakat Bengkulu mengusulkan Ir. Indera Tjaja menjadi pahlawan nasional. Masyarakat Sumatera Barat mengajukan nama Siti Manggopoh.
Kenyataan bahwa kebanyakan pahlawan nasional adalah laki-laki mungkin menjadi pekerjaan rumah bagi kaum feminis. Secara ideologis, kepahlawanan memang lekat dengan maskulinitas. Itu memang soal yang akan terus melelahkan.
Dulu pada masa Orde Baru, pak Harto disebut Bapak Pembangunan –jika tidak maksudnya “Pahlawan pembangunan”. Para mahasiswa yang gugur dalam tragedi Semanggi di tahun 1998 disebut “pahlawan reformasi”. Sekarang ketika eranya kenaikan BBM, harusnya ada pahlawanan kenaikan BBM atau sebaliknya pejuang penolak kenaikan BBM.
Yang paling penting sekarang adalah bagaimana kita menghargai pahlawan. Cobalah lihat para veteran. Kebanyakan para pejuang ’45 hidup dalam kemiskinan. Mereka hanya hadir ketika peringatan proklamasi kemerdekaan. Sebagian yang lain menjadi kaya berkat koneksi mereka, selain tentunya bakat individual yang mereka miliki. Ada juga pahlawan masa kini, mereka yang dihargai tidak sepantasnya. Merekalah yang mengharumkan nama bangsa ketika korupsi dan krisis semakin hebat. Para olahragawan, pemenang olimpiade fisika, dan sebagainya.
Berkaca dari narasi pada awal tulisan ini ada beberapa solusi pemikiran yang mungkin dapat didiskusikan. Pertama, perlunya dialog yang intens antar generasi. Semangat ’45 bukan cuma soal bagaimana diwariskan, tetapi juga mentransformasikanya ke dalam tantangan zaman masa kini. Kedua, kepahlawanan bukan semata soal kekuatan fisik dan maskulinitas. Tentu yang lebih penting, makna pahlawan harus didemokratisasikan sehingga tidak lagi elitis. Seseorang dari strata manapun asal memiliki keikhlasan dan kesungguhan untuk mendarmabaktikan tenaga dan pikirannya bagi kemaslahatan umat dan kemajuan bangsanya, juga seorang pahlawan. Pahlawan masa kini bukanlah status yang diberikan, tetapi ia bersemayam di hati rakyat.****
0 komentar:
Posting Komentar