Pergeseran Konsep Jihad dan Sikap Umat Islam Indonesia

Sabtu, 25 Juli 2009

Oleh Iim Imadudin


Menyimak perkembangan kasus teror bom akhir-akhir ini semakin dinamis. Berdasarkan temuan vcd oleh polisi pada saat penyerbuan ke markas teroris di Batu, Malang, tiga tahun lalu terekam pengakuan sejumlah pengikut Azahari. Mereka mengakui teror bom bunuh diri yang dilakukan semata-mata karena jihad melawan musuh Allah. Dalam tayangan vcd tersebut, seorang dengan penutup kepala yang ditengarai polisi adalah Noordin Mohd Top menyatakan mereka akan terus berjihad melawan Amerika, Australia, Inggris, dan Italia sampai mereka hengkang dari Irak dan Afganistan.

Perdebatan tentang makna sesungguhnya dari jihad memang sudah menjadi klasik. Secara garis besar debat tersebut dapat dipetakan menjadi dua, yaitu mereka yang memahami jihad sebagai perang melawan musuh Allah sebagaimana terjadi zaman Rasulullah SAW dan kelompok yang memahami jihad secara lebih luas.

Kelompok pertama sudah terang mengambil nash Al-Qur’an, “walan tardho ‘ankal yahudu walannashoro hatta tattabi’a millatahum” (Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridlo sampai kaum muslimin mengikuti agama mereka). Oleh karena itu peperangan melawan kaum musyrikin akan terus terjadi sepanjang sejarah.

Kelompok kedua menyebut jihad mengangkat senjata hanyalah sebahagian dari pengertian jihad. Nabi Muhammad ketika kembali dari sebuah peperangan mengatakan kepada sahabat, “Roja’na min jihadil ashgor ila jihadil akbar” (Kami kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Sahabat bertanya apa yang dimaksud jihad besar. Jawab Rasulullah, “Memerangi hawa nafsu”. Jihad itu artinya bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu yang baik. Sebagian menyebut ada tiga tahapan, yaitu jihad, ijtihad, dan mujahadah.

Menarik sekali komentar Ahmad Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, tentang jihad ala kelompok pelaku peledakan bom. Ia mengatakan orang-orang itu memahami jihad secara salah. Tegasnya, lanjut Syafi’i, mereka telah mengkhianati seluruh ajaran Islam. Buya yang urang awak itu menyitir ayat Al-Qur’an, “Barangsiapa membunuh satu jiwa sama artinya dengan membunuh seluruh umat manusia”. Para teroris itu telah membunuh kemanusiaan.

Tarik menarik mengenai konsep jihad akarnya memang tidak semata-mata soal teologis. Konstruksi sosial telah membentuk pandangan dunia individu dan kelompok. Di dalamnya terdapat realitas kemiskinan, ketersingkiran, dan ketidakberdayaan. Para pelaku merupakan orang-orang biasa yang hidup seadanya. Mereka bukannya tidak mengerti agama. Malahan mampu membaca Al-Qur’an dengan fasihnya. Indoktrinasi menurut sebuah informasi yang berlangsung beberapa bulan oleh Noordin Mohd Top kepada calon pengikutnya menggambarkan besaran daya pikat gerakan teror ini.

Pengalaman historis umat Islam dalam persentuhannya dengan (kolonialisme) Barat memang terus membuka luka. Setelah perang Salib terjadi kolonialisme Barat terhadap negara-negara dunia ketiga yang notabene adalah umat Islam. Kemerdekaan negara-negara jajahan diraih dengan terlebih dahulu Barat mencabik-cabik negara kaum muslim menjadi negara-negara yang lebih kecil. Pada perkembangan selanjutnya bantuan Barat terhadap negara-negara Islam telah menciptakan tesis ketergantungan dan keterbelakangan. Gerakan intifadah umat Islam di Palestina melawan Yahudi terus berlangsung walau proses perdamaian dengan AS sebagai mediator tidak lantas menciptakan ketentraman. Intervensi AS di Afganistan dan Irak terus mengejar pejuang Islam radikal. Ujungnya muncul organisasi Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden sebagai pelaku teror paling ditakuti di seluruh dunia. Karyanya terbesarnya adalah peledakan Gedung WTC di Amerika Serikat beberapa tahun silam.

Sekarang pertanyaan adalah kapankah gerakan teror yang dilakukan (Sebagian kecil) umat Islam radikal akan berakhir? Jawaban terhadap persoalan itu artinya sama saja dengan pertanyaan kapan kolonialisme Global yang disponsori AS selesai. Sepanjang AS terus menerapkan standar ganda dalam kebijakan luar negerinya, perlawanan akan terus berlangsung. Pada satu sisi mereka memberi bantuan jutaan dolar, di sisi lain mencipta kelompok-kelompok radikal.

Selanjutnya, bagaimana sikap umat Islam di Indonesia? Sebagai bangsa dengan komunitas muslim terbesar di dunia tentu saja jelas. Tindak teror meski mengatasnamakan agama tidak dapat ditoleransi. Apalagi beberapa tahun belakang ini negara kita menjadi medan teror bom Bom Bali I, peledakan Hotel J.W. Marriot, dan Bom Bali II, dan Ritz Charlton sudah lebih dari cukup menyentuh rasa kemanusiaan kita. Tentu saja sekarang cara terbaik tidak selesai dengan mengutuk dan sikap apologetik. Polisi terus memburu Noordin Mohd Top dan beberapa pengikutnya yang belum tertangkap. Pemerintah melalui Wapres Jusuf Kalla mengajak ulama memberi penerangan (pemahaman) kepada masyarakat tentang pengertian jihad yang benar.

Kita harus melihat sikap yang melahirkan teror dari akarnya. Rasa frustasi, bosan, dan ketersingkiran memang seperti ranting kering yang siap dibakar. Radikalisasi yang tercipta dalam struktur yang tidak berkeadilan jelas akan sangat berbahaya. Ketika krisis ekonomi akibat kenaikan BBM kian menghebat muncul orang-orang miskin baru yang makin menambah beban sosial. Cara terbaik tentu dengan mengangkat ekonomi umat Islam sebagai mayoritas bangsa. Pelaku teror jelas tidak merepresentasikan meningkatnya radikalisme umat Islam Indonesia.****

0 komentar:

Posting Komentar