Minggu, 19 Juli 2009
Seorang filsuf berkata, "Hidup dilalui ke depan, tetapi dipahami ke belakang". Maknanya, cara agar masa depan menjadi lebih baik adalah dengan menemukan kearifan dari peristiwa yang yang telah dialami.
Keberhasilan, kemenangan, kegagalan, kekalahan, bencana, dan seterusnya merupakan bagian dari kelampauan yang tidak mungkin diubah, karena terjadi hanya satu kali (einmalig). Dengan kata lain, pelajaran itu adalah hikmah. Sabda nabi, "Sesuatu yang hilang dari kaum muslimin adalah hikmah, ambillah di manapun ia berada".
Belajar sejarah itu ibarat orang naik kereta. Ia hanya melihat perjalanan dan stasiun yang telah dilewati. Melihat ke depan hanya sebatas pada mata memandang. Namun, dengan pengalaman dan kenangan, ia dapat memprediksi ke stasiun terakhir mana kereta akan berhenti.
Berkenaan dengan itu, pada tanggal 20 Mei kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Hari yang mulai diperingati sejak tahun 1938. Saat itu bertepatan dengan didirikannya Partai Indonesia Raya (Parindra) setelah dibubarkannya Boedi Oetomo (selanjutnya disingkat BO) dan tiga partai lainnya.
Peringatan kedua berlangsung pada tahun 1948, ketika Republik yang masih amat muda berada dalam intaian Agresi Militer Belanda. Praktis, terkecuali tahun 1949, Hari Kebangkitan Nasional selalu dirayakan setiap tahunnya.
Dinamika Pergerakan Kebangsaan
Fase permulaan pergerakan nasional dimulai oleh adanya krisis terhadap identitas lama. Tradisi mencipta moralitas, moralitas mendukung konservatisme, yang prostatus quo. Setiap penyimpangan dari kemapanan dianggap sebagai perlawanan terhadap tradisi. Namun, penetrasi sistem kolonial dan dinamika internal masyarakat Hindia membuat perubahan sosial tidak terelakkan lagi.
Orang-orang pribumi dapat belajar di sekolah Barat. Kesempatan yang hampir-hampir mustahil bagi rakyat kebanyakan. Kesempatan bergaul dengan bangsa lain, mengenal adat istiadat dan peradaban lain, dan seterusnya.
Hal-hal demikian menimbulkan persepsi baru terahdap keterbatasan dan relativitas kebudayaan. Dalam kondisi tersebut--meminjam ungkapan Sartono Kartodirdjo (1990)--kejutan-kejutan kultural terjadi. Nilai-nilai lama digugat dan banyak lambang kehilangan makna dan relevansinya. Dan, tentu saja pendidikan menjadi motor dari segala perubahan yang terjadi.
Kaum Terpelajar Menjadi Agent of Social Change.
Pada tahun 1906/1907, Dokter Wahidin mengambil inisiatif mengumpulkan dana untuk beasiswa (studiefonds). Sejumlah siswa Stovia di Kwitang membentuk asosiasi. Tentu saja, tidak dapat dilupakan berdirinya BO pada tanggal 20 mei 1908 yang berlangsung secara sederhana.
Hal yang patut dicermati ketika itu ialah munculnya pertentangan antara kelompok konservatif yang terdiri dari kaum priyayi ningrat atau aristokrat dengan kaum terpelajar yang mewakili kelompok progresif. Kenyataan itu terekam dalam Kongres Jong Java pada tanggal 5 Oktober 1908 di Yogyakarta.
Pada kesempatan itu berlangsung perdebatan antara pemakaian bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Di BO, konflik tersebut diwakili oleh sosok Dokter Radjiman Wediodiningrat dan Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo.
Radjiman, dokter Kraton Surakarta, berpendirian bahwa peradaban Timur dan Barat memiliki perbedaan yang tidak dapat dipertemukan. Semboyannya, "Bangsa Jawa tetap Jawa".
Menurut Tjipto, bangsa Hindia perlu menyerap kemajuan dari peradaban Barat. Sejak Tjipto meninggalkan BO, tidak ada kontroversi mengenai sikap kultural tersebut. Namun, BO kehilangan watak progresifnya. Selanjutnya, BO didominasi oleh kaum priyayi. BO terkungkung dalam subkultur regional (Jawa) dan priyayi.
Dinamika yang terjadi dalam BO kemudian direspons dengan munculnya organisasi sejenis yang merupakan manifestasi dari identitas golongan, subkultur etnis, kelas, atau golongan sosial, seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan lain-lain pada satu pihak; dan Sedio Tomo, Narpo Wandowo, Paguyuban Pasundan, Sarekat Islam (SI), dan lain-lain di pihak lain (Kartodirdjo, 1990: 105).
Sarekat Islam mengambil peran yang progresif dalam memobilisasi massa. Berbeda dengan BO, meski memanifestasikan golongan sosial, Sarekat Islam terbuka bagi semua strata sosial.
Aktivitasnya mencakup banyak bidang mulai dari ekonomi, sosial, politik, dan kultural. Setelah keluar dari BO, Tjipto mendirikan Indische Partij pada tahun 1922, bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat.
Partai ini tidak mendapat restu pemerintah, tetapi gagasan yang ditinggalkannya--terutama definisi komunitas--penting dalam kerangka perjuangan bangsa, khususnya pencarian identitas nasional. "Tiga Serangkai" yang dibuang ke Belanda memengaruhi sikap politik Indische Vereeniging menjadi radikal.
Hatta berperan besar ketika pada tahun 1924, mengubah Indische Vereeniging menjadi Perhimpunan Indonesia, dengan slogannya "Indonesia Merdeka, Sekarang". Berturut-turut kemudian berdiri Indonesische Studieclub, yang pada tahun 1927 berganti menjadi Perserikatan Nasional Indonesia. Klimaksnya, Oktober 1928, berlangsung Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Kontekstualisasi Nilai Sejarah
Mempelajari sejarah harus memperhatikan zeitgeist (jiwa zaman). Sejarahwan Kuntowijoyo menyebutnya sebagai sense of sensibility. Pemahaman demikian diperlukan agar tidak terjadi anakronisme historis. Sekarang ini berlangsung pemitosan terhadap tanggal 20 Mei. Seolah-olah hanya tanggal itulah yang membangkitkan kesadaran nasional. Akan tetapi, itulah sejarah. Ada yang diingat dan dilupakan.
Katakanlah semacam kesepakatan bersama anak bangsa. Ada momen yang harus dikenang. Sejarah memang berbeda dengan mitos. Namun, mitos integratif diperlukan untuk mengukuhkan keyakinan dalam kehidupan berbangsa-bernegara.
Bahwa pada masa lalu, kita menghadapi common enemy secara kolektif, yaitu kolonialisme. Beberapa dekade lalu berlangsung perdebatan sesama sejarahwan, Abdurahman Surjomihardjo dan Ahmad Mansur Suryanegara. Debat keduanya berpumpun pada organisasi mana yang sejatinya menjadi pelopor pergerakan nasional, apakah BO yang mengusung "nasionalisme etnis" atau SI yang membawa bendera "nasionalisme religius".
Dari sisi kepeloporan, BO telah merintis jalan bagi kesadaran berorganisasi di kalangan pribumi. Meski, akhirnya BO menjadi semakin elitis. Sementara, SI telah menyelaraskan kebangsaan dan agama dalam satu tarikan napas.
Bagi yang berminat melanjutkannya, polemik tersebut sebaiknya dihentikan saja karena akan menjadi kontraproduktif bagi sosialisasi nilai-nilai sejarah. Sekarang, yang lebih penting, adalah bagaimana kita menghayati dan memaknai nilai sejarah yang terkandung dalam spirit kebangkitan nasional.
Meski memiliki banyak momen nasional yang diperingati setiap tahunnya, kita sering kehilangan momentum untuk memaknainya sebagai cara untuk mencari solusi keluar dari krisis yang mendera bangsa.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kita berharap kemerdekaan merupakan akhir dari proses kebangkitan nasional. Kenyataannya, pada masa Demokrasi Terpimpin, ekonomi terpuruk, keadilan sosial tidak tewujud karena instabilitas politik. Pada masa Orde Baru, ekspektasi akan segera tumbuhnya "Kebangkitan Nasional Kedua" membuncah.
Percepatan pembangunan di berbagai bidang mulai membawa kemajuan dan kesejahteraan. Sentralisme, krisis ekonomi, dan kekerasan politik meruntuhkan cita kebangkitan itu. Pesawat baru saja take off, dan tidak lama kemudian jatuh menghunjam bumi.
Orde baru tumbang, berganti Orde Reformasi yang dipelopori mahasiswa dan pemuda. Asa kebangkitan menyeruak kembali. Presiden silih berganti, tetapi harapan tidak kunjung menuai hasil. Pada masa kepemimpinan SBY-JK belum ada tanda-tanda kebangkitan yang nyata. "Bersama kita maju, bersama kita bisa" masih merupakan slogan yang tidak memiliki daya gugah.
Sebagai bangsa, kita pandai merangkai kata-kata menjadi kalimat yang indah. Barangkali, bangsa kita termasuk bangsa dengan perbendaharaan slogan dan pamflet terkaya di dunia. Kata kunci yang dapat diambil dari peringatan Hari Kebangkitan Nasional adalah "kemandirian" dan "kepeloporan".
Kemandirian lahir dari jiwa-jiwa yang merdeka. Pembebasan dari belenggu intervensi dan hegemoni kekuatan di luar dirinya. Dahulu, dalam telikung politik rust en Orde Belanda, kaum terpelajar mampu mengidentifikasi masalah dan menjawab tantangan zamannya.
Mereka mampu membebaskan jiwa mereka, meski raga terpenjara atau dibuang ke pengasingan. Bagi kita yang hidup di alam demokrasi sekarang ini, spirit kemandirian memiliki makna yang kontekstual. Bagi aparatur pemerintahan, kemandirian berarti keberanian untuk bersikap konsisten berpihak pada kepentingan rakyat.
Bagi anak bangsa, kemandirian bermakna kesanggupan mengurus diri sendiri tanpa harus bergantung pada kekuasaan. Kemandirian merupakan lahan bagi tumbuh suburnya kepeloporan. Orang-orang muda terpelajar dengan kemandirian dan kreativitasnya niscaya dapat membuat perubahan-perubahan besar. Minoritas kreatif memang sedikit jumlahnya. Tidak jarang kehadiran mereka dianggap sebagai ancaman, meski kiprah mereka bergerak di akar rumput.
Kemandirian dan kepeloporan menjadi barang berharga yang sulit dijumpai sekarang. Mindset anak-anak muda sudah serba rutin dan bergerak menurut alur suprastruktur.
Seperti halnya era kebangkitan nasional pertama, kualitas pendidikan memegang peranan penting dalam mendidik manusia-manusia merdeka. Mereka harus dilepaskan dari keharusan textbook thinking. Pendidikan solving problem yang hendaknya ditekankan.
Kehidupan di luar sekolah sarat dengan tantangan yang sering tidak sejalan dengan teori dan konsep. Selain sekolah, tentu yang diharapkan berperan adalah lembaga-lembaga sosial-budaya dan keagamaan yang mendorong tumbuhnya local genious. Nilai-nilai lokal akan membantu orang muda bagaimana memahami kemajemukan sekaligus mencerna kemodernan.
Pada akhirnya, kesadaran sejarah membantu orang memahami masa lalu, memaknai masa kini, dan merumuskan masa depan. "Menjadi tua itu pasti, tetapi menjadi dewasa adalah pilihan", demikian bunyi iklan sebuah produk. Jangan sampai seperti iklan lain yang sedang populer, "Yang muda yang gak bisa dipercaya". Kalau itu yang terjadi, bangsa ini bergerak kembali ke titik nol.
(Iim Imadudin, Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung)
0 komentar:
Posting Komentar